Advertisement

Jelajah Kuliner: Gudeg Mbah Harto Gunungkidul, Piye, Enak Gudegku Tho?

Sirojul Khafid
Kamis, 13 Oktober 2022 - 05:27 WIB
Budi Cahyana
Jelajah Kuliner: Gudeg Mbah Harto Gunungkidul, Piye, Enak Gudegku Tho? Warung Gudeg Mbah Harto di di Desa Blimbing, Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul, Rabu (5/10/2022). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Semisal Anda berlibur ke pantai di sekitar Gunungkidul dan berangkat malam hari, menjajal Gudeg Mbah Harto bisa menjadi salah satu pilihan. Ini satu-satunya warung gudeg yang berjualan malam hari di Gunungkidul. Bagaimana nuansanya? Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Sirojul Khafid.

Gudeg Mbah Harto. Setidaknya itu nama resmi yang terpampang di papan warung. Namun jauh sebelumnya, nama gudeg milik suami-istri Fitriyaningsih dan Ganjar kustanto ini dikenal dengan Gudeg Peksa. Kata peksa dalam bahasa Jawa berarti paksa dalam bahasa Indonesia.

Advertisement

Ini bermula saat Ganjar menjadi peternak ayam. Musim pancaroba membuat ternaknya bergelimpangan. Beberapa yang masih sehat akhirnya disembelih, agar tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.

Daging ayam diolah menjadi berbagai jenis masakan. Ganjar kemudian menambahkan gori dalam masakannya. Dia membuat lebih dari 50 nasi gudeg yang dikemas menggunakan besek.

“Di bulan puasa tahun 2021, sekitar bulan April, bikin gudeg pakai besek. Saya antar ke temen, tetangga, sampai keluarga. Saya bilang kalau enggak ada duit enggak usah bayar dulu, utang dulu, dimakan dulu. Kalau cocok dibayar,” kata Ganjar saat ditemui tim Jelajah Kuliner: Merawat Masakan Warisan Leluhur. Jelajah Kuliner merupakan program Harian Jogja yang didukung Badan Otorita Borobudur dan Alfamart.

Tentu banyak orang yang kaget. “Enggak pesen kok dipaksa buat beli,” kata Ganjar menirukan reaksi beberapa orang yang dia beri gudeg di Desa Blimbing, Karangrejek, Wonosari, Gunungkidul, Rabu (5/10/2022).

Ternyata banyak orang yang merasa gudeg milik Ganjar dan Fitri ini cukup enak. Meski menerima respons bagus, Ganjar belum menerima uang di awal-awal. Kabar enaknya gudeg ini menjalar dari mulut ke mulut. Bahkan dalam sebuah acara di desa, si punya hajat memesan gudeg yang belum bernama ini. Lantaran dirasa perlu memberikan nama, munculnya bercandaan Gudeg Pekso.

Reaksi positif ‘korban’ paksaan gudeg ini membuat Ganjar dan Fitri merasa percaya diri untuk membuka warung. Meski yang mungkin tidak banyak orang tahu, resep pembuatan gudeg ini sudah cukup lama. Ada trial and error. Ganjar dan Fitri juga berhasil menyesuaikan selera masyarakat sekitar dengan produk miliknya.

“Berbeda dengan gudeg di Kota Jogja, gudeg kami rasanya gurih, tidak manis. Masyarakat sini lebih seneng gurih, terlebih orang-orang tua,” kata Fitri.

Selain kekhasan rasa gurih, pembeda lain berupa tambahan serundeng dan areh putih. Areh putih adalah pengganti blondo. Usut punya usut, ternyata areh putih sudah dibuat dan dipasarkan nenek Ganjar saat masih berjualan nasi. Ganjar belum lahir kala itu. Namun dia mendapat resep areh putih dari orang tuanya.

Sebenarnya Ganjar pernah memakai blondo untuk campuran gudeg. Dia membuat sendiri. Namun dari belasan kelapa, hanya menghasilkan sedikit blondo. Belum lagi waktu pembuatan blondo yang membutuhkan waktu sekitar tujuh jam. Ada potensi rugi waktu dan biaya.

Blondo memang dijual di pasar. Namun Ganjar dan Fitri tetap menggunakan areh putih sebagai ciri khas gudeg mereka. “Penggunaan areh putih dan tambahan serundeng sebenarnya berdasarkan selera bapak. Saat dipasarkan ternyata pada suka, ya alhamdulillah,” kata Fitri.

BACA JUGA: Jelajah Kuliner: Cerita Presiden Sampai Legenda Komedian di Tahu Pojok Magelang

Berawal dari Gudeg Peksa, secara resmi produk Ganjar dan Fitri bernama Gudeg Mbah Harto. Harto diambil dari nama ayah Ganjar. Namun tantangan penjualan nyatanya masih tetap ada. Lantaran belum banyak orang tahu, Ganjar harus ekstra dalam memperkenalkan produknya, setidaknya agar banyak orang mau mencoba.

Agar jangkauan lebih luas, tidak hanya di desanya, Ganjar bersedia mengantarkan gudeg sampai ke rumah pelanggan di luar Desa Karangrejek. Pengantaran ke wilayah yang dekat seperti Wonosari dan Playen, tidak ada biaya kirim. Lantaran warung dibuka saat Ramadan, kebanyakan pemesan memakannya untuk sahur. Pengantaran berlangsung dini hari, antara pukul 00.00-03.00 WIB.

Namun ternyata penjualan untuk sahur menjadi titik baik ke depannya. “Di Gunungkidul itu kalau malam cuma ada bakmi atau warung lesehan. Nah kami pengen buat yang khas, yaitu gudeg. Warung kami satu-satunya gudeg yang buka malam hari,” kata Ganjar.

“Sekarang masih biasa nganter untuk sahur, terutama puasa sunnah Senin dan Kamis.”

Secara perlahan, penjualan Gudeg Mbah Harto terus membaik. Dari pesana antar, sekarang banyak yang berkunjung ke warung. Namun perkembangan pelanggan dari luar desa tidak bergerak signifikan. Salah satu sebabnya lantaran lokasi warung yang agak masuk ke gang di desa.

Problem ini sedikit terurai, setelah ada salah satu influencer media sosial bernama Adhitya Putratama, berkunjung ke warung Ganjar. Postingan-nya tentang Gudeg Mbah Harto sampai hari ini ditonton lebih dari 180.000 orang. Sejak saat itu, seringkali pengunjung berduyun-duyun mampir ke tempat ini. Adhitya juga meyakinkan Ganjar untuk tidak mempermasalahkan lokasi warungnya.

“Justru lokasi yang masuk-masuk ini, yang bikin orang seneng. Ada nuansa nyari tempatnya,” kata Ganjar menirukan pesan Adhitya.

Pengunjung datang dari berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, sampai Semarang. Bahkan ada juga konsumen dari Malaysia. Mereka biasanya wisatawan yang hendak ke pantai di Gunungkidul. Ramainya warung membuat jam operasional juga berubah. Dari yang sebelumnya buka pukul 10.00 WIB sampai sekitar subuh, berubah menjadi pukul 07.00-12.00 WIB.

“Kadang istri saya kewalahan kalau lagi ramai. Jadi jam operasional awal enggak kuat,” kata Ganjar.

Awalnya, dalam sehari Ganjar dan Fitri menghabiskan 1-2 kilogram telur. Semakin berkembang, penjualan gudeg meningkat sampai sehari bisa menghabiskan 6-7 kilogram telur. Pada akhir pekan, penjualan bisa mencapai 10 kilogram. Ganjar lebih mudah menghitung penjualan dengan patokan telur. Dia tidak begitu menghitung jumlah porsinya.

Gudeg dengan lauk telur seharga Rp10.000. Gudeng lauk telur plus irisan daging ayam Rp18.000. Sementara untuk gudeg dengan lauk telur dan potongan ayam harganya Rp23.000. Apabila dibandingkan dengan gudeg di Kota Jogja, harga Gudeg Mbah Harto lebih murah. Di salah satu warung gudeg di Kota Jogja misalnya, harga untuk lauk telur sekitar Rp14.000.

“Kami menyesuaikan dengan situasi daerah sini, kalau mahal kan susah. Yang penting laku saja, enggak rugi, diterima di masyarakat,” kata Ganjar.

“Semoga jualan gudegnya langgeng terus, sampai anak cucu, keturunan kami bisa nerusin usaha ini,” kata Fitri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Satuan Pendidikan Diwajibkan Memperhatikan Kebutuhan Siswa dengan Kondisi Khusus

News
| Jum'at, 26 April 2024, 10:57 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement