Advertisement

Kisah Jito Mengawinkan Lobster dengan Tiwul Gunungkidul

Sirojul Khafid
Kamis, 13 Oktober 2022 - 18:37 WIB
Budi Cahyana
Kisah Jito Mengawinkan Lobster dengan Tiwul Gunungkidul Hasil masakan tiwul dan lobster di Dusun Ngandong, Purwodadi, Tepus, Gunungkidul, Kamis (6/10/2022). - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Penggabungan sesuatu yang dianggap kontras biasanya menarik perhatian masyarakat. Tiwul dan lobster contohnya. Tiwul dianggap makanan desa, sementara lobster adalah menu yang sudah mendunia. Di Gunungkidul, perkawinan ini terjadi. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Sirojul Khafid.

Anda bisa saja langsung menuju warung ini tanpa memberi tahu pemiliknya. Toh di tempat ini ada penangkaran lobster. Jadi stok selalu aman. Namun kami rekomendasikan, sebelum menuju ke warung yang menyediakan tiwul lobster ini, alangkah baiknya Anda membuat janji.

Advertisement

Pertama, waktu pembuatan tiwul, memasak lobster, dan segala perangkatnya cukup lama, sekitar setengah jam. Durasi ini belum termasuk menyiapkan bahan-bahannya. Tentu akan lebih nikmat saat Anda sampai, masakan juga sudah siap untuk disantap. Kedua, warung yang berada di RT 2 RW 16 Dusun Ngandong, Purwodadi, Tepus, Gunungkidul cukup masuk ke tengah kampung, sekitar 28 kilometer dari Alun-Alun Wonosari, Gunungkidul.

Kan ada Google Maps? Sayangnya, tidak semua sinyal provider tersedia di tempat ini. Jadi nanti konsumen akan dijemput di titik kesepakatan agar tidak tersesat.

“Saya masak tiwul dan lobster setelah ada yang memesan. Bisa dinikmati langsung di rumah saya, atau bisa juga dibawa ke Pantai Nglambor,” kata Jito Lobster, panggilan akrab pria pemilik warung ini. “Kalau mau ke sini janjian dulu, kalau tiba-tiba ke sini juga bisa saja, tapi waktu masaknya lama, takutnya konsumen suntuk waktu menunggu.”

Misal sudah janjian, Jito bisa memasak jam berapa pun, alias 24 jam. Kala itu sekitar pukul 01.00 WIB, Jito dan istri memasak lobster untuk Tim Jelajah Kuliner: Merawat Masakan Warisan Leluhur. Jelajah Kuliner ini merupakan program Harian Jogja yang didukung oleh Badan Otorita Borobudur dan Alfamart.

Dalam dunia per-lobster-an, Jito bukan orang baru. Dia sudah mulai akrab dengan lobster sejak 1997. Setelah lama menjadi pegawai orang, sejak 2008 Jito mulai mandiri dalam usaha lobster. Dia membeli lobster dari nelayan dan menjualnya ke warung-warung.

Sempat juga pada 2013, Jito menyajikan lobster dalam bentuk masakan. Namun sayang, tidak adanya sinyal di sekitar Pantai Nglambor membuat penjualannya lesu. Kala itu, lobster disajikan bersama nasi putih.

“Sementara menyajikan masakan lobster dengan tiwul baru dimulai tahun 2022 ini. Namun sebelumnya, resep lobster dengan tiwul sudah diuji coba selama setahun,” kata Jito saat ditemui di rumahnya, Kamis (6/10/2022).

Selama setahun tersebut, Jito memberikan sampel masakan lobster dan tiwul pada saudara, teman, dan tetangga. Awalnya ada yang mengatakan kurang manis, asin, dan sebagainya. Lantaran disandingkan dengan tiwul, maka rasa dari lobster tidak disarankan terlalu asin.

Setelah beberapa tester merasa masakannya enak, mulailah Jito percaya diri untuk menjualnya pada masyarakat umum. Kenapa tiwul disandingkan dengan lobster? “Tiwul itu makanan lokal khas Gunungkidul, sementara lobster makanan yang sudah mendunia. Saya pengin buat kuliner lokal yang ikut mendunia juga, agar tiwulnya juga terangkat ke dunia internasional,” katanya.

BACA JUGA: Jelajah Kuliner: Gudeg Mbah Harto Gunungkidul, Piye, Enak Gudegku Tho?

Dalam mendapatkan lobster, Jito bekerja sama dengan nelayan dari sekitar pantai di Pacitan sampai Gunungkidul. Lobster akan melimpah di saat musim penghujan. Setelah ditangkap, untuk kemudian dimasak, lobster perlu dibunuh terlebih dahulu. Pasti lah ya.

Setelah itu, lobster akan direbus dan kemudian ditiriskan. Proses selanjutnya, lobster dibelah. Setelah urusan lobster selesai, Jito dan istri menyiapkan bumbu. Semua bumbu dicampur dengan cara manual atau diulek. Dia tidak menggunakan blender, lantaran rasa yang akan berbeda. Lebih enak dengan cara diulek.

“Di tempat kami tidak boleh nyampur bumbu pakai blender, harus manual, rasanya beda. Semua bahan baku sifatnya alami, tidak pakai MSG,” katanya.

Jito mengenal lobster karena pekerjaan, sementara tiwul kenal karena lingkungan. Sejak kecil, dia sudah sering makan tiwul. Bahkan sampai saat ini, tiwul masih menjadi makanan pokok keluarganya. Pembuatan tiwul, menurut Jito, cukup mudah. Hanya bermodal melihat proses produksi oleh orangtua, dia sudah bisa melakukannya. Belum lagi sumber daya ketela, yang menjadi bahan baku tiwul, tersedia banyak di Gunungkidul.

Untuk satu kilogram lobster beserta perlengkapnya, Jito memasang tarif Rp600.000. Selain lobster dan tiwul, konsumen juga akan mendapat nasi putih, tempe, tahu, sambal, minuman air putih dan teh, serta sayuran. Satu kilogram lobster bisa dimakan untuk 5-6 orang.

“Bulan ini, saya sudah memasak sembilan kali, atau sembilan kilogram lobster. Tujuh kilogram untuk konsumen yang datang ke rumah, dua kilogram untuk penjualan secara online,” kata Jito.

Jito berharap usaha tiwul lobsternya bisa berjalan dengan baik. “Karena ini menurut saya menyangkut hajat hidup orang banyak. Penjualan masakan tiwul lobster menjadi tumpuan ekonomi dari nelayan sampai pegawai yang membantu memasak lobster. Semoga semuanya tetap bisa berbagi manfaat,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Dipimpin Nana Sudjana, Ini Sederet Penghargaan Yang Diterima Pemprov Jateng

News
| Kamis, 25 April 2024, 17:17 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement