Advertisement

Mengenal Legomoro, Kuliner Wajib saat Hajatan di Kotagede Jogja

CRH 22
Selasa, 06 Desember 2022 - 02:27 WIB
Budi Cahyana
Mengenal Legomoro, Kuliner Wajib saat Hajatan di Kotagede Jogja Subarno, salah satu penjual jajanan pasar di Kotagede menunjukkan legomoro. - Harian Jogja/Hadid Husaini

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kotagede menjadi salah satu wilayah di Kota Jogja yang menyimpan peninggalan bersejarah. Tak hanya bangunan cagar budaya, kuliner di Kotagede masih terus terjaga cita rasanya dan kualitasnya hingga kini. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Hadid Husaini.

Salah satu penjual jajanan pasar di Kotagede yang masih eksis adalah Subarno, warga Kampung Basen, Purbayan, Kotagede. Persisnya dari PKU Muhammadiyah Kotagede ke arah timur.

Advertisement

Subarno setiap hari sibuk dengan banyaknya pesanan jajanan pasar seperti lemper, legomoro, dan arem-arem. Terkadang ia juga menjual jadah dan wajik di saat-saat tertentu. Meski begitu banyak orang lebih mengenal istrinya daripada Subarno. Hal tersebut dikarenakan usahanya yang dia buka tidak menggunakan namanya melainkan nama istrinya. Usahanya tersebut diberi nama “Bu Menuk”.

Tidak hanya sekadar menjual makanan, Subarno juga orang yang masih terampil membuat jajanan pasar. Jajanan khas Kotagede andalan Subarno adalah Legomoro. Makanan yang terbuat dari ketan ini dijual seharga Rp10.000 per ikat, tetapi di pasar harganya naik menjadi Rp12.000 per ikat.

Jika dibandingkan dengan lemper yang terbuat dari bahan yang sama, harganya legomoro lebih mahal sedikit. Menurut Suparno, hal tersebut karena legomoro tidak dijual setiap hari. Selain itu juga karena proses pembuatanya yang agak ribet menjadikan harga legomoro layak dijual dengan harga yang lebih tinggi.

Subarno menyampaikan legomoro bisa dinikmati kebanyakan pada saat musim kawin dan hajatan berlangsung. "Legomoro bisa dipakai buat suguhan saat ada hajatan, apalagi pas lamaran, legomoro sudah jadi makanan wajib di Kotagede," ucap Subarno.

Bapak dua orang anak ini menyampaikan asal nama legomoro sendiri merupakan kebiasaan menjamu dayoh atau dalam bahasa Indonesia berarti tamu. Ketika tamu memakan apa yang disuguhkan pemilik rumah, akan ada rasa lega atau lego karena rasa senangnya.

Meskipun secara bahan legomoro memiliki bahan yang sama dengan lemper, ternyata legomoro memiliki perbedaan. Hal tersebut menurut Subarno terletak pada bentuk dan kemasan nya. “Secara ukuran legomoro punya ukuran lebih besar, dan kemasannya diikat dengan tali [bambu]”.

Subarno mengaku dalam sehari bisa menjual 500 hingga 800 biji legomoro. Bahkan, ia kerap mendapat pesanan dari seseorang untuk dibagikan saat Jumat. “Kalau Jumat biasanya ada orang yang pesan bisa sampai 800 sampai 500 biji, ini saja tenaganya sudah tidak memadai,” ujarnya.

Kemasan Legomoro yang berasal dan daun pisang menjadi tantangan tersendiri. Musim yang ekstrem terkadang membuat suplai daun pisang terganggu.

Untuk menjual jajanan tersebut, Subarno mengaku tidak pernah melakukan promosi seperti kebanyakan penjual konvensional yang lain. “Kita enggak pernah promosi, yang sudah beli mereka ngenalin ke orang lain, Alhamdulillah pembeli datang sendiri," ucap Subarno.

Meskipun begitu dirinya tetap melayani pembeli melalui WhatsApp. Subarno mengaku memulai usaha jualan jajanan pasar ini dimulai ketika krisis pada 1998. Pada waktu tersebut Indonesia sedang mengalami krisis moneter yang menyebabkan harga naik. Hal tersebut membuat Subarno dan orang-orang di sekelilingnya yang sebelumnya berjualan kerajinan perak dan tembaga beramai-ramai beralih usaha kuliner.

Sebelumnya, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Yetti Martanti, dalam Podcast Live bertajuk Apresiasi Kelestarian dan Keterawatan WBCB mengaku sudah mengusulkan tiga makanan tradisional dari Kotegede menjadi warisan budaya tak benda. Makanan tersebut yakni legomoro, kipo, dan ukel.

Istri Suberno, Sumirah atau yang biasa di panggil Bu Menuk, mengatakan pembeli legomoro kebanyakan dari wilayah Kotagede. Sumirah menyampaikan legomoro yang diperuntukkan sajian hajatan tidak disamakan dengan legomoro yang biasa dijual ke pembeli biasa.

“Biasanya kalau buat lamaran harga per bijinya Rp3.000, lebih mahal. kebanyakan kalau legomoro yang lebih mahal dipakai untuk acara lamaran,” ujarnya.

Harga yang lebih mahal dari dari legomoro yang biasa menurutnya disebabkan proses pembuatannya yang lebih rumit dan memakan waktu yang lebih lama. Selain itu, dirinya mengatakan yang perlu diperhatikan dalam produksi legomoro adalah kemasanya. Daun pisang yang digunakan untuk membungkus legomoro tidak sembarangan.

Menurutnya daun pisang yang digunakan harus dari daun pisang kluthuk. “Harus dari daun pisang kluthuk, Kalau pisang ambon beda lagi. kalau pakai pisang ambon nanti rasanya pahit,” ungkap Sumirah.

Sumirah menyebut daun pisang harus pesan ke penjual daun pisang terlebih dahulu. Dirinya sering memesan daun pisang yang ada di pasar Kotagede atau di Gondomanan yang ia sebut sebagai pusat jualan daun pisang. Meskipun banyak penjual legomoro di wilayah Kotagede, Sumirah meyakinkan legomoro yang ia jual berbeda dari yang lain terutama dari kualitas rasanya. Dirinya menyebut bahwa legomoronya selalu dalam kondisi fresh. “Kalau legomoro di sini dijual langsung ke pembeli enggak dititipin di pasar,” kata Sumirah

Dirinya pun tidak pelit untuk membagikan proses pembuatan makanan khas Kotagede yang juga merupakan warisan budaya tak benda ini. Proses pembuatan legomoro diawali dengan merendam ketan paling lama satu jam. Setelah direndam, ketan kemudian dicuci hingga bersih dan dikukus selama setengah jam. Untuk mendapatkan cita rasa yang pas, ketan kemudian diproses dengan cara dikaru atau dicampur dengan santan sehingga rasanya menjadi gurih.

Setelah itu, ketan yang sudah dikaru tersebut kukus kembali selama satu jam hingga benar-benar matang. Proses selanjutnya adalah ketan yang sudah dikukus kemudian diangkat dan dikepeli untuk membentuk legomoro.

Tidak lupa, di dalam legomoro yang dikepal tersebut dimasukkan daging ayam. Proses terakhir adalah membungkus legomoro dengan gaun pisang dan diikat dengan tali dari bambu. Tidak berhenti sampai di situ, legomoro yang sudah dibungkus tersebut dikukus kembali agar aromanya makin meresap.

Darini, salah satu pembeli setia legomoro, menyampaikan dirinya tidak hanya membeli legomoro di tempat Subarno. “Biasanya kalau beli legomoro enggak hanya satu tempat, tapi paling cocok yang di tempat Pak Barno,” ujarnya.

Ia mengatakan jika jualan legomoro memiliki tahan lama dan tidak cepat basi. Legomoro menurutnya bisa tahan hingga 24 jam. “Saya kadang juga mengkritik Pak Barno, kok pas nyokot  dua kali isinya belum ketemu [isi ayam],” ucap Darini.

Jika pesanan kurang sesuai dirinya menyampaikan langsung menghubungi Subarno. “Yang membedakan Pak Barno itu kalau sudah mendapat keluhan biasanya langsung diperbaiki,” kata pensiunan guru SMA swasta di Jogja ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemerintah Perpanjang Kenaikan HET Beras Premium untuk Jaga Stok di Pasaran

News
| Selasa, 19 Maret 2024, 14:47 WIB

Advertisement

alt

Ribuan Wisatawan Saksikan Pawai Ogoh-Ogoh Rangkaian Hari Raya Nyepi d Badung Bali

Wisata
| Senin, 11 Maret 2024, 06:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement