Harga Rumah Bersubsidi Naik, REI: Tak Sebanding dengan Kenaikan Inflasi & Harga Tanah di DIY
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA– Rencana kenaikan harga rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) antara 4-5% dikritisi oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) DIY. Kenaikan harga rumah sebesar itu dinilai jauh dari harapan dari pengembang.
Ketua REI DIY Ilham Muhammad Nur mengatakan rencana kenaikan harga rumah bersubsidi 4-5% jauh dari harapan para pengembang. Padahal tahun lalu, pengembang sudah mengusulkan kenaikan di angka 10%. "Pada November/Desember 2022 lalu, REI dengan kementerian terkait kayaknya memberi sinyal naik 10% tapi di awal tahun ini justru naik di angka 4,89%. Ya kami prihatin, mungkin BKF punya pertimbangan lain kok cuma naik 4,89%," katanya kepada Harianjogja.com, Jumat (24/2/2023).
Advertisement
Dijelaskan Ilham, harga rumah bersubsidi sejak 2019 lalu memang belum ada kenaikan. Pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan harga terjadi 7%. Sejak tiga tahun terakhir, katanya, praktis tidak ada kenaikan harga untuk rumah bersubsidi. Padahal di sisi lain, inflasi selama tiga tahun terakhir sudah mencapai sekitar 17%.
Selain masalah harga tanah di DIY yang tinggi, harga material yang terus naik menjadi pertimbangan REI DIY agar kenaikan harga rumah subsidi bisa sesuai dengan kondisi saat ini. "Awalnya [dulu] naik 10 perseb tapi mengerucut tujuh persen. Harga terakhir 2019, Rp150,5 juta, kalau bicara inflasi jadi tidak sebanding dengan inflasi selama tiga tahun terakhir. Ya idealnya [naik] 10-12 persen," katanya.
Meski begitu, Ilham berharap agar kenaikan harga rumah bersubsidi tidak menyurutkan niat para pengembang untuk menyediakan rumah bagi kalangan MBR. Padahal, REI sudah menyampaikan ke kementerian terkait jika harga rumah subsidi tidak ideal dengan kondisi saat ini maka dikhawatirkan akan menurunkan kualitas rumah.
"Nah sikap kami, sesuai arahan Ketum DPP REI, kami akan mengirim surat ke DPP agar meminta kenaikan harga lagi. Nanti DPP REI akan melanjutkan ke kementerian terkait," katanya.
Menurut Ilham, memang tidak ada kewajiban pengembang perumahan di suatu daerah menyediakan rumah bagi MBR, meski hal itu bisa merugikan kalangan MBR. "Pernah anggota REI DIY, awalnya menyediakan rumah bersubsidi, tapi karena harganya tidak sebanding ya akhirnya dijadikan rumah non subsidi. Akhirnya yang rugi masyarakat MBR," ujarnya.
Salah satu pengembang perumahan MBR, Direktur PT Drihatra Kertagriya Arthaka Hajar Pamundi mengatakan kenaikan harga rumah subsidi sebesar 5% kurang ideal. Alasannya, komponen membangun rumah paling mahal didominasi komponen tanah selain kenaikan material. "Harga tanah di Jogja mahal, makanya rumah subsidi ini kebanyakan dibangun jauh dari kota Jogja. Seperti Gunungkidul dan Kulonprogo. Dari dulu itu masalahnya," kata Hajar.
BACA JUGA: Dinilai Layak Jual, Sarkem Jadi Destinasi Wisata Utama Jogja
Keberadaan rumah bersubdisi di kawasan terpencil, lanjutnya, tidak banyak diminati oleh masyarakat. Apalagi pertumbuhan ekonomi di DIY masih terpusat di Kota Jogja dan sekitarnya. Kondisi itu juga tidak didukung dengan alat transportasi yang ideal. "Jogja kan bukan daerah industri dan pertumbuhannya masih terpusat di Jogja. Tidak ada kota satelit. Jadi kalau dibangung terlalu jauh, satu sisi kebutuhan masyarakat kurang seimbang. Kecuali masalah transportasi terintegrasi dibenahi," katanya.
Dengan kenaikan harga 5% tersebut, lanjut Hajar, maka harga rumah bersubsidi tahun ini bisa dipatok sebesar Rp158 juta. Harga tersebut untuk membangun tipe rumah 27 atau 30 dengan dua kamar sementara luas tanah 60 meter persegi. Sayangnya banyak yang tidak tertarik. "Bisa saja kami bangun rumah tipe 21, hanya satu kamar, padahal rata-rata peminat rumah MBR ini keluarga kecil. Kalau hanya satu kamar ya tidak ada peminatnya," ujar Hajar.
Wakil Ketua Bidang Rumah Subsidi & MBR REI DIY ini menambahkan, pada tahun lalu jumlah rumah bersubsidi di DIY hanya tercatat 400 unit. Jumlah tersebut masuk tiga besar terendah penjualan rumah subsidi secara nasional. "Yang diberi kouta bank penyalur, pengembang hanya menyediakan. Ada sekitar 30 bank yang menjadi penyalur," katanya.
BACA JUGA: Susahnya Buruh Murah Punya Rumah di Jogja
Dijelaskan Hajar, peminat rumah bersubsidi seperti Bantul dan Gunungkidul hanya yang berdekatan dengan pusat-pusat ekonomi. Tingginya kebutuhan rumah di DIY, katanya, tidak sebanding dengan keberadaan lahan yang ada. Angka backlog rumah di DIY sangat tinggi. "Pada 2018, angka backlog perumahan atau tingkat kebutuhan pemukiman dulu saja 250.000, sekarang mesti bertambah," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Kejaksaan Tahan Panglima Komando Pertahanan Korsel, Diduga Terlibat Kudeta
Advertisement
Mingguan (Jalan-Jalan 14 Desember) - Jogja Selalu Merayakan Buku
Advertisement
Berita Populer
- Libur Akhir Tahun, Kendaraan Roda 4 dari Simpang Cambahan menuju Watu Kodok Dilarang ke Selatan
- Puluhan Unit Rusak, Tahun Depan Cuma 1 Puskesmas Pembantu di Bantul Diperbaiki Tahun Depan
- Popularitas Diakui Warga, 2 Tersangka Jual Beli Bayi Jogja Ternyata Tak Punya SIP Bidan
- Minimarket di Paliyan Dibobol Maling, Karyawan Temukan Etalase Rokok Kosong
- Ini Dia Nama-Nama Pemenang Kompetisi Foto dan Videografi Sumbu Filosofi Jogja
Advertisement
Advertisement