Advertisement

Jadi Rumah bagi Buku-Buku Indie, Begini Keunikan Bisnis Toko Buku Ini

Sirojul Khafid
Sabtu, 08 April 2023 - 04:57 WIB
Arief Junianto
Jadi Rumah bagi Buku-Buku Indie, Begini Keunikan Bisnis Toko Buku Ini Pemilik toko buku JBS, Indrian Koto menunjukkan beberapa buku koleksinya. - Harian Jogja/Sirojul Khafid

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Ada yang bilang, Jogja adalah surganya buku. Penerbit-penerbit indie seperti tak pernah berhenti bermunculan, seiring dengan kian menghangatnya atmosfer literasi. Salah satunya adalah Jual Buku Sastra (JBS), yang tak cuma melakoni perannya sebagai penerbit, tetapi juga menjalankan bisnisnya sebagai toko buku.

Buku-buku indie bak hutan belantara yang menyediakan segalanya. Toko buku JBS berusaha memandu para penjelajah buku untuk mendapatkan yang dia butuh atau mau.

Advertisement

Ada salah satu pengunjung toko JBS yang sengaja datang dari Bogor, Jawa Barat. Sekitar pagi hari dia sampai di stasiun. Siangnya datang ke JBS untuk melihat-lihat buku dengan sedikit perbincangan dengan pemilik toko. Sore harinya, dia langsung pulang lagi ke Bogor.

Tidak jarang orang dari luar kota yang sengaja berkunjung ke JBS. Mungkin sebatas ingin pergi sejenak dari kotanya, sesampainya di Jogja, teringat ada toko JBS.

Usia toko yang sudah 18 tahun ini tentu memiliki banyak cerita dari para pengunjungnya. Sesuatu yang mungkin bagi Indrian Koto, pemilik JBS, tidak terpikir akan melahirkan JBS pada 2005.

Kala itu, dia baru masuk Program Studi Sosiologi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jogja. Jogja menjadi tujuan lantaran kesukaan Koto pada sastra. Dia menganggap Jogja merupakan tempat yang bisa membuat kecintaannya semakin merajalela.  

BACA JUGA: Penerbit Indie di Jogja Diduga Tipu Belasan Penulis Pemula, Puluhan Juta Melayang

Pertemuan dengan banyak orang, termasuk juga aktif di sanggar, membuat Koto punya koneksi penulis atau penerbit buku independen atau indie.

Dalam beberapa acara sastra, dia membuka lapak yang berisi buku-buku tersebut. Melapak dia lakoni selama kurang lebih tiga tahun.

Pernah saat masih kuliah di kampus sementara UIN di Maguwoharjo, Depok, Sleman (kini University Hotel), setiap ke kampus, Koto membawa tas ransel besar berisi buku.

“Jualan buku sekaligus membuka ruang baca. Promosi sebagai ruang baca, [tetapi kalau] mau beli buku boleh. Dulu buku baru tidak diplastik atau disegel, jadi orang bisa baca. Seperti itu selama satu semester lebih,” kata Koto, saat ditemui di Toko JBS, Kasihan, Bantul, Selasa (4/4).

Meski lelah harus membawa banyak buku setiap kali ngampus, tetapi kegiatan membuka lapak sampai menggelar diskusi, yang membuat banyak orang mengenal JBS.

Belum lagi penulis atau penerbit yang merekomendasikan pembaca untuk membeli buku di tempat Koto.

Setelah menjual buku di kampus, acara sastra, sampai pembeli yang datang ke kos, Koto membuat toko JBS di Wijilan, Jogja pada 2011. Secara berkala, ada pula gelaran acara diskusi buku dan agenda sastra lainnya. Kini, JBS bernaung di Kasihan, Bantul.

Pola berjualan JBS memang berubah sesuai kondisi, dari melapak, membuat toko, sampai di media sosial, namun ada satu yang tetap konsisten. JBS hanya menjual buku dari penulis atau penerbit indie.

Di samping kesadaran tidak sanggup mengambil pasar buku dari penerbit mayor, banyak buku terbitan indie yang berkualitas. Dari yang serius sampai tidak serius.

Tidak hanya penerbit indie di Jogja, Koto juga menjual buku dari penerbit indie luar kota. “Dulu bisa klaim kalau JBS jual semua buku terbitan indie yang sudah diseleksi,” kata laki-laki berusia 40 tahun ini.

Tidak sembarang buku terbitan indie ada di JBS. Koto menyeleksi melalui beberapa hal, mulai dari selera, insting, potensi keterjangkauan pasar, sampai buku yang jarang dijual.

Sebagai contoh, dari 100 buku yang terbit, hanya ada satu buku tentang teater atau musik. Maka JBS pasti akan menjual buku itu. Laku tidak laku, itu urusan lain. Di samping ada orang yang mungkin butuh, “Orang akan menemukan hanya di JBS,” katanya.

Perubahan Stigma

Banyak bersinggungan dengan buku dari penerbit indie membuat Koto melihat adanya perubahan stigma.

Dahulu, banyak orang menganggap buku yang lahir dari penerbit indie merupakan penulis yang gagal masuk penerbit mayor, atau tidak lolos seleksi. Namun, saat ini mencetak buku di penerbit indie merupakan suatu pilihan.

Bukan berarti yang terbit secara indie kualitasnya tidak sebagus buku dari penerbit mayor. Buktinya, dalam lomba atau penghargaan buku sastra yang berskala lokal atau nasional lima tahun belakangan, sebagian merupakan buku dari penerbit indie.

“Enggak semua penulis mau bukunya diterbitkan di penerbit mayor. Misal terbit di penerbit indie, masih bisa mengontrol buku, pasar, dan kemana tersebar bisa dilihat. Banyak alasan memilih penerbit buku indie, sekarang menjadi pilihan,” kata pria yang juga seorang penulis itu.

Buku-buku penerbit indie ini pula yang sekarang menjadi salah satu ladang Koto mencari penghidupan.

Suasana bagian dalam toko buku JBS./Harian Jogja-Sirojul Khafid

Dari yang awalnya untuk membantu biaya kuliah, kini menjadi salah satu fondasi hidupnya. Dalam sebulan, setidaknya ada 200 buku bisa dia jual. Saat ini pasarnya lebih banyak secara online. Meski tidak jarang juga pengunjung yang datang ke tokonya. Pengunjung terbanyak dari kalangan mahasiswa dan pelaku seni.

JBS juga berkembang menjadi penerbit buku yang secara berkala menerbitkan karyanya. Buku-buku terlaris JBS juga berasal dari terbitanya.

Buku paling laris termasuk karya Aan Mansyur berjudul Sebelum Sendiri, Tokoh-Tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita, dan Aku Hendak Pindah Rumah.

Ada pula karya Saut Situmorang berjudul Politik Sastra, Sastra dan Film, Negeri Terluka, dan Khotbah Hari Minggu.

Sekitar 90% buku yang dijual JBS, kata Koto, merupakan buku rekomendasi yang sudah terseleksi. Buku-buku yang diunggah di media sosial JBS juga merupakan rekomendasi yang sudah semakin dikerucutkan lagi.

BACA BUKU: Mengurai Benang Kusut Pembelajaran Sastra Indonesia di Kampus, TBY Gelar Diskusi

Teguh dalam menjajakan buku indie, sembari mengurasi koleksi, Koto lakukan lantaran membangun JBS berlandaskan kesenangan.

Mungkin banyak yang beropini, dengan usia toko buku yang sudah bisa mendapatkan KTP apabila diibaratkan seorang anak, namun kondisinya masih “segini-gini aja”.

“Menerbitkan dan menjual buku karena kesenangan, kerjaan yang saya sukai. Bukan karena pemalas [dalam mengembangkan usaha], tapi saya [sedang] bersenang-senang,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Ditanya soal Kemungkinan Maju di Pilkada, Kaesang Memilih Ini

News
| Jum'at, 26 April 2024, 19:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement