Merekam Jejak Hunian Fotografer Pertama Indonesia, Kassian Cephas
Advertisement
JOGJA—Dari deretan rumah yang ada di Kampung Ratmakan, salah satunya merupakan bekas tempat tinggal Kassian Cephas. Dia merupakan fotografer pertama dari Indonesia, yang juga seorang abdi dalem Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Peneliti dari Badan Riset Inovasi Nasional, Darto Harnoko mengatakan rumah Kassian berubah seiring dengan perkembangan zaman. “Supaya tidak keliru, Kassian Cephas itu rumahnya panjang, dari atas situ yang sekarang kantor pos, sampai bawah. Sekarang sudah berubah sekali, persoalan perkembangan [zaman] ya,” katanya.
Advertisement
Saat ini, rumah Kassian yang tersisa hanya beberapa meter bangunan saja. Rumah itu berwarna putih dengan banyak tumbuhan di sekitarnya. Ada pembatas berupa gerbang besi yang sudah berkarat. Rumah di sampingnya sudah runtuh dan memperlihatkan kerangka bangunan.
Apabila berbicara tentang Kassian, maka kita bisa mengikuti awal kariernya di dunia fotografi. Dia memulai karier dengan menjadi asisten dari fotografer Simon William Camerik, bagian dari pemerintahan penjajahan Belanda.
Peneliti, Edial Rusli, mengatakan dalam menjalankan tugas sebagai asisten, Kassian mendapat tugas untuk mendokumentasikan kerajaan-kerajaan, raja-raja, dan situasional yang ada di Jawa, khususnya Jogja dan sekitarnya.
Dalam buku Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan (1999) karya Gerrit Knaap, Kassian menjadi asisten sekaligus belajar fotografi pada Simon sekitar 1861-1871. Dia juga belajar dengan Isidore van Kinsbergen, seorang fotografer kelahiran Belgia yang bekerja di Jawa Tengah pada 1863-1875.
Kassian semakin banyak mendokumentasikan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Tidak hanya dalam hal bangunan kerajaan, adat tradisi, sampai tokoh-tokoh penting, foto-foto pria kelahiran 15 Januari 1845 ini juga menangkap kerajaan dan penduduknya dari sisi antropologinya.
“Kassian seorang pribumi, yang dia sebagai asisten awalnya, dan juga membuka studio foto profesional, dia juga sebagai dokumentri, yang memotret raja-raja. Karena untuk memotret raja-raja kan tentunya bukan orang sembarangan, tentunya orang yang ahli di bidangnya, sehingga dia punya keleluasaan, untuk mengabadikan gambar raja-raja di waktu itu. Mungkin mulai dari Sri Sultan HB VI sampai seterusnya,” kata Edial, yang juga Dekan Fakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Jogja.
BACA JUGA: Sejarah HUT Kota Jogja, Berawal dari Perjanjian Giyanti hingga Boyongan Sultan HB I ke Kraton
Di samping banyak memotret raja-raja, karya terkenal Kassian seperti foto Taman Sari tahun 1884, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Tari Bedhaya, serta mengabadikan kunjungan Raja Siam Chulalongkorn ke Kraton. Kala itu, Raja Siam memberikan tiga kancing berhias batu permata pada Kassian.
Karya-karya Kassian masih bisa kita lihat di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dan juga di Belanda. Di Kraton, ada foto yang kemudian sudah didigitalisasi, ada pula yang belum. Melalui foto-foto ini, masyarakat zaman sekarang bisa melihat suasana serta kronikal perubahan kerajaan-kerajaan di Indonesia, termasuk Jogja.
Dalam perjalanannya, Kassian Cephas diangkat menjadi kerabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Status ini membuat dia mengundurkan diri sebagai fotografer, dan memberikan "pekerjaan" itu pada anaknya, Sem Cephas. Sem melanjutkan kerja-kerja dokumentasi ayahnya selama beberapa tahun. Sayangnya, umur Sem tidak panjang dan meninggal tidak lama setelahnya.
“Sem ini juga, jangan keliru, bahwa tidak hanya Kassian, putranya juga sebagai dokumentri, hanya usianya tidak panjang seperti Kassian,” katanya. “Inilah yang menarik, setelah [dokumentasi dilakukan] dari pihak luar [kraton], kemudian dokumentasi dilakukan oleh pihak kraton sendiri, itu sudah dimulai, mungkin sejak dari [masa] Sri Sultan Hamengku Buwono IX.”
Digitalisasi serta pengumpulan arsip masa lampau bisa menjadi ruang ilmu pengetahuan. Edial mengatakan apabila Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat juga semakin intens dalam mengelola arsip secara baik. Dengan belajar dari sejarah melalui berbagai arsip ini, masyarakat bisa tahu sesuatu yang sebelumnya abu-abu, bisa mengambil makna dan filosofi dari berbagai jejak peradaban.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Ini Dia 3 Karya Budaya Indonesia yang Diusulkan Masuk Menjadi WBTb ke UNESCO
- Ini Kegiatan Kampanye Terakhir Ketiga Calon Wali Kota Jogja Jelang Masa Tenang
- Pasangan Agung-Ambar Tutup Kampanye dengan Pesta Rakyat
- Konstruksi Tol Jogja-Bawen Seksi 1 Ruas Jogja-SS Banyurejo Capai 70,28 Persen, Ditargetkan Rampung 2026
- Lewat Film, KPU DIY Ajak Masyarakat untuk Tidak Golput di Pilada 2024
Advertisement
Advertisement