Advertisement

Sensasi Menyusuri Cerita Museum di Malam Hari

Sirojul Khafid
Minggu, 25 Februari 2024 - 09:57 WIB
Sunartono
Sensasi Menyusuri Cerita Museum di Malam Hari Para anggota Komunitas Malam Museum saat berkegiatan. - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Tidak ada museum yang sepi, selama pengelolanya bisa memberikan banyak inovasi. Komunitas Malam Museum mencoba menghidupkan cerita-cerita museum dengan gaya tersendiri, berkunjung di malam hari.

Penjaga museum baru, Larry Daleydi (Ben Stiller), mendapat tugas malam di Museum Natural of History. Dia harus memastikan semua koleksi aman, tidak ada yang berpindah atau hilang. Harusnya mudah saja menjaga museum dengan segala bendanya. Namun yang tidak Larry duga, koleksi museum dari patung orang sampai hewan ternyata hidup di malam hari. Suasana museum yang terkesan membosankan justru menjadi ‘menarik’ dengan hidupnya para koleksi itu.

Advertisement

Cerita itu ada dalam film Night at the Museum yang rilis tahun 2006. Film itu pula yang menginspirasi lima orang mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk membuat hal serupa, dalam program kreativitas mahasiswa (PKM) tahun 2012. Dengan nama yang sama, mereka ingin membuat tingkat kunjungan museum yang rendah, bisa meningkat dengan adanya event berkunjung ke museum di malam hari.

BACA JUGA : Lestarikan Tradisi, Alpajuli TNI AL Serahkan Wedding Cup ke Museum Bahari Yogyakarta

Tentunya tidak mudah membuat acara imajinatif ini. Mana ada museum di Indonesia, termasuk Jogja, yang mau buka malam hari. Untungnya, pengelola Museum Benteng Vredeburg kala itu cukup terbuka, dan memberikan kesempatan anak-anak muda itu untuk mengeksplorasi museum di malam hari. Salah satu pendiri Night at the Museum, Erwin Djunaedi, mengatakan event perdana berlangsung pada 17 Maret 2012.

“Dulu nyebar informasi masih terbatas, belum ada media sosial. Kami nempel poster di kampus-kampus,” kata Erwin.

“Ternyata yang daftar banyak banget. Ada sekitar 200-an orang yang daftar, yang diterima 40 sampai 50 orang.”

Temuan ini memberikan cahaya terang tentang anak muda dan museum. Ternyata ada pola yang Erwin lihat. Apabila museum hanya berdiri sendiri, akan terkesan membosankan. Masyarakat mungkin lebih senang berkunjung ke pantai, mal, dan sebagainya. Namun misal museum dibarengi dengan event tertentu, anak muda akan antusias berkunjung. Terlebih dalam kunjungan Night at the Museum, ada game yang bertema koleksi di museum, pertunjukan seni, dan lainnya.

Kenapa kunjungan di malam hari? Siang sampai sore, mahasiswa-mahasiswi sering beraktivitas di kampus. Sementara malam lebih luang, dan bisa diarahkan ke kegiatan positif. Kunjungan malam hari juga eksklusif, terpisah dari pengunjung di jam reguler. Kegiatan Night at the Museum mendapat respon positif dari anak-anak muda.

Namun seiring berakhirnya masa PKM yang hanya setahun, ada perubahan perkumpulan. Dari lima pendiri awal, hanya tersisa Erwin. Dia menggandeng teman-teman dekatnya untuk mengembangkan kegiatan tersebut. “Tahun 2014 saya beranikan diri keluarkan Night at the Museum dari FIB UGM, berdiri sendiri, dengan nama Komunitas Malam Museum, terjemahan dari Night at the Museum,” kata lulusan Prodi Sejarah tersebut.

Saat ini, relawan komunitas sekitar 100 orang. Semuanya mahasiswa-mahasiswi di Jogja dan lintas kampus. Tidak hanya yang berhubungan dengan sejarah, ada pula anggota komunitas dari prodi seperti komunikasi, kedokteran, geografi, sampai filsafat. Program pun semakin berkembang, dari yang sebelumnya hanya kunjungan di museum, merambah ke Kids in Museum, Kelas Heritage, Jogja Walking Tour, sampai seminar.

BACA JUGA : Wacana Pembangunan Museum Keistimewaan Jogja, Ini Komentar Komisi A DPRD DIY

Banyaknya program ini bisa menyesuaikan segmen peserta. Untuk anak muda yang suka museum dan jalan-jalan, bisa memilih Jelajah Malam Museum, yang punya anak bisa memilih Kids in Museum, yang suka bangunan bersejarah bisa ke Kelas Heritage, dan yang suka kajian akademi bisa ke seminar.

Dalam konteks kunjungan museum, Erwin dan kawan-kawan ingin mengubah paradigma museum yang object oriented menjadi public oriented. Pola pikir pengelola museum masih banyak yang hanya mementingkan cara merawat koleksi, bukan mengomunikasikannya pada masyarakat umum.

“Belum berorientasi pada pelayanan maksimal untuk masyarakat sebagai user. Ketika Malam Museum sering datang dan ngobrol bareng, mulai terbuka dari object oriented menjadi public oriented. Mulai membicarakan dan menyediakan yang publik butuhkan, kalau bisa ada WiFi-nya, ada tempat nongkrong, bangku lebih banyak, colokan listrik, toilet bersih, dan lainnya,” katanya.

BACA JUGA : Wah, Ada Museum Horor Indonesia di Malioboro, Alternatif Menikmati Liburan Nataru di Jogja

Kabar baiknya, semakin banyak museum yang berbenah. Peserta dari berbagai program Malam Museum juga meningkat. Pernah pada beberapa penjelajahan museum, pendaftar mencapai 1.000-an orang. Sementara yang diterima sekitar 150 peserta. Tidak hanya dari Jogja, peserta juga datang dari luar kota seperti Jakarta, Semarang, sampai Surabaya. “Mereka datang khusus ke Jogja untuk ikut kegiatan ini. Pengen pengalaman baru,” kata Erwin.

Ke depan, laki-laki berusia 32 tahun ini berharap Komunitas Malam Museum tetap eksis. Menjadi ruang belajar dan berkreasi para pecinta sejarah. “Enggak semua orang suka masa lalu, banyak yang bilang kan itu sesuatu yang sudah terjadi. Kami punya prinsip, orang yang tidak mau belajar dari masa lalu, akan dikutuk untuk mengulangi kejadian tersebut,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Buruan Beli! Harga Tiket MotoGP Diskon 50 Persen

News
| Sabtu, 27 April 2024, 13:17 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement