Advertisement
60 Ribu Ha Lahan di Gunungkidul dalam Kondisi Kritis, Terbanyak di Kapanewon Ini

Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Sebanyak 60.917,24 hektare (ha) lahan di Bumi Handayani masuk kategori kritis. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) perlu mengoptimalkan lahan ini agar memiliki nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat.
Kepala Bidang Konservasi dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gunungkidul, Hana Kedaton Adinoto mengatakan lahan kritis terbagi menjadi dua kategori, yaitu kecamatan/ kapanewon hutan kritis dengan total luas 4.930,91 ha dan non hutan kritis 55.986,33 ha. “Data dari BPDAS [Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai] Serayu Opak Progo itu pada 2022. Data terbaru kami belum terima,” kata Adinoto, Senin (14/10/2024).
Advertisement
Ada lima kapanewon masuk lima besar wilayah dengan lahan nonhutan kritis. Urutan pertama ada Kapanewon Tepus dengan 6.780,26 ha, lalu Panggang 5.617,97 ha, Girisubo 5.440,39 ha, Rongkop 5.196,54 ha, dan Ponjong 5.095,01 ha.
Adapun lima kapanewon masuk lima besar wilayah hutan kritis, secara berurutan, yaitu Paliyan dengan 1.308,03 ha, Playen 1.195,53 ha, Panggang 801,89 ha, Saptosari 429,6 ha, dan Semanu 245,09 ha.
Menurut Undang-undang (UU) No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.
BACA JUGA: Masyarakat Adat Hidup dalam Ketidakpastian
Sedangkan menurut Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10/2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air daerah aliran sungai (DAS). “Ada juga definisi dari Kementerian Pertanian terkait lahan kritis. Tapi maksudnya sama saja, yaitu lahan tidak subur, marginal, atau fungsi produktivitasnya sangat rendah,” katanya.
Apabila melihat dari sisi topografi, lahan dengan kemiringan lebih dari 15% masuk kategori kritis. Adinoto mengatakan penanganan lahan kritis tidak sekadar atau terbatas pada penghijauan melalui penanaman.
Hal yang lebih penting adalah perbaikan unsur-unsur tanah dan air agar kualitas tanah kembali menjadi subur atau setidaknya dapat ditanami. Dengan begitu, fungsi lahan sebagai salah satu media tanam dapat kembali. “Khusus lahan non hutan kritis, penanganannya menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah daerah dan sektor swasta. Masyarakat juga dapat ikut dalam penanganan lahan kritis,” ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

7 Orang Tewas dan Puluhan Luka dalam Tragedi Runtuhnya Jembatan yang Menimpa Kereta di Rusia
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Razia Miras Oplosan di Bantul, Polisi Hanya Beri Teguran dan Imbau Pedagang Tak Lagi Menjual
- Long Weekend Kenaikan Yesus Kristus, Kawasan Malioboro Jogja Dipadati Wisatawan
- Per 1 Juni, Daops 6 Jogja Tambah KA dengan Tarif Khusus, Berikut Daftarnya
- Hujan Lebat Disertai Angin Kencang Melanda Jogja Petang Ini, Berikut Laporan Kerusakan Sementara dari Pusdalops BPBD DIY
- 7 ASN di Lingkungan Pemkab Bantul Terancam Sanksi Ringan hingga Berat
Advertisement
Advertisement