Advertisement

60 Ribu Ha Lahan di Gunungkidul dalam Kondisi Kritis, Terbanyak di Kapanewon Ini

Andreas Yuda Pramono
Senin, 14 Oktober 2024 - 18:07 WIB
Arief Junianto
60 Ribu Ha Lahan di Gunungkidul dalam Kondisi Kritis, Terbanyak di Kapanewon Ini Ilustrasi lahan kritis. - Foto dibuat oleh AI/StockCake

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Sebanyak 60.917,24 hektare (ha) lahan di Bumi Handayani masuk kategori kritis. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) perlu mengoptimalkan lahan ini agar memiliki nilai tambah terhadap ekonomi masyarakat.

Kepala Bidang Konservasi dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Gunungkidul, Hana Kedaton Adinoto mengatakan lahan kritis terbagi menjadi dua kategori, yaitu kecamatan/ kapanewon hutan kritis dengan total luas 4.930,91 ha dan non hutan kritis 55.986,33 ha. “Data dari BPDAS [Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai] Serayu Opak Progo itu pada 2022. Data terbaru kami belum terima,” kata Adinoto, Senin (14/10/2024).

Advertisement

Ada lima kapanewon masuk lima besar wilayah dengan lahan nonhutan kritis. Urutan pertama ada Kapanewon Tepus dengan 6.780,26 ha, lalu Panggang 5.617,97 ha, Girisubo 5.440,39 ha, Rongkop 5.196,54 ha, dan Ponjong 5.095,01 ha.

Adapun lima kapanewon masuk lima besar wilayah hutan kritis, secara berurutan, yaitu Paliyan dengan 1.308,03 ha, Playen 1.195,53 ha, Panggang 801,89 ha, Saptosari 429,6 ha, dan Semanu 245,09 ha.

Menurut Undang-undang (UU) No. 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan atau yang tidak dibudidayakan.

BACA JUGA: Masyarakat Adat Hidup dalam Ketidakpastian

Sedangkan menurut Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 10/2022 tentang Penyusunan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai dan Rencana Tahunan Rehabilitasi Hutan dan Lahan, lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media pengatur tata air daerah aliran sungai (DAS). “Ada juga definisi dari Kementerian Pertanian terkait lahan kritis. Tapi maksudnya sama saja, yaitu lahan tidak subur, marginal, atau fungsi produktivitasnya sangat rendah,” katanya.

Apabila melihat dari sisi topografi, lahan dengan kemiringan lebih dari 15% masuk kategori kritis. Adinoto mengatakan  penanganan lahan kritis tidak sekadar atau terbatas pada penghijauan melalui penanaman.

Hal yang lebih penting adalah perbaikan unsur-unsur tanah dan air agar kualitas tanah kembali menjadi subur atau setidaknya dapat ditanami. Dengan begitu, fungsi lahan sebagai salah satu media tanam dapat kembali. “Khusus lahan non hutan kritis, penanganannya menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah daerah dan sektor swasta. Masyarakat juga dapat ikut dalam penanganan lahan kritis,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Calon Menteri Kabinet Prabowo Akan Jalan Pembekalan di Hambalang Besok

News
| Senin, 14 Oktober 2024, 20:02 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Tempat Wisata Paling Populer di Thailand, Cek Daftarnya

Wisata
| Sabtu, 12 Oktober 2024, 13:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement