Advertisement

Sebuah Catatan Pameran Azimat-Siasat, Mengenali Diri lewat Kekuatan Benda

Arief Junianto
Jum'at, 18 Oktober 2024 - 13:07 WIB
Arief Junianto
Sebuah Catatan Pameran Azimat-Siasat, Mengenali Diri lewat Kekuatan Benda Pengunjung melihat karya-karya dalam pameran lukisan bertajuk Azimat-Siasat yang digelar di MCC Tepi Sabin, Kalurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Bantul. - Instagram/infofky

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL—Membaca makna benda yang menjadi objek dari sebuah karya seni, tak bisa hanya lewat satu sisi. Sebuah benda, memiliki dua sisi di dalamnya, di sisi objektivitasnya berupa benda budaya yang memiliki bentuk, serta sisi subjektivitasnya yang melekat pada manusia yang berinteraksi dengan benda tersebut.

Sinarkara pangawikan gaib/nora liya mung Allah ingkang Sa/dupi lair sang gaibe/panggawe kang rahayu//Sastra lip endi jatine/kadya gigiring punglu/tanpa cucuk tan ngarsa wuri/tan gatra tan satmata//

Advertisement

Potongan kalimat berbahasa Jawa yang terdapat di sebuah lukisan berwarna latar kuning dan berukuran 50 x 50 sentimeter itu sontak menyita perhatian saya. 

Dilukis dengan teknik handwriting, kalimat yang ternyata penggalan dari Serat Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma seolah kian menegaskan pemaknaan saya sebagai pengunjung terhadap karya lukisan yang berjudul Pindai dengan Al Patekah (Nisan Hanyokrokusuman) tersebut. 

Gambar objek berupa nisan yang berlumut menjadi pusat perhatian saya sebagai pengunjung. Berbeda dengan 51 lukisan lain yang banyak menampilkan objek-objek profan, Irvan justru menampilkan objek yang bersifat sakral—bahkan mistis, yakni berupa nisan. 

Seketika dahi saya mengernyit ketika memandang gambar nisan tersebut. Betapa tidak, dari 52 karya yang ditampilkan dalam pameran Azimat-Siasat, karya Irvan merupakan sedikit karya yang menampilkan objek benda yang tak biasa, yang tak profan. 

Terlebih dalam judul lukisannya, Irvan menuliskan Nisan Hanyokrokusuman. Dari judul ini,  ingatan saya sebagai pengunjung sontak mengarah pada sosok Sultan Agung Hanyakrakusuma (1593-1645).

Tak asing bagi masyarakat DIY, sosok Pahlawan Nasional tersebut merupakan ikon leluhur yang paling disanjung, dipuji, dan dihormati. Raden Mas Jatmika atau Raden Mas Rangsang, nama kecilnya, mulai memerintah tlatah Mataram pada usia 20 tahun, tepatnya pada 1613. 

Semasa pemerintahannya, unsur-unsur kebudayaan Islam dari pengalamannya mengaji dari ulama bernama Kyai Jejer,  ia sesuaikan dengan kebudayaan Nusantara yang telah ada sebelumnya, yakni Hindu dan Buddha.

Sebut saja misalnya Hari Raya Idul Fitri dan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan tradisi garebek (Grebeg) yang masing-masing menjadi Grebeg Syawal dan Grebeg Maulud. Selain itu, Sultan Agung juga mengenalkan tradisi penanggalan tahun Saka dan juga kitab filsafat bertajuk Sastra Gendhing,

Tak hanya itu, dalam masa pemerintahannya, Sultan Agung Hanyakrakusuma juga menciptakan simbol-simbol dalam aktivitas permakaman sebagai bentuk penghormatannya kepada leluhur.

Hal itulah yang coba ditangkap oleh Irvan dan ia tampilkan dalam karyanya. Dalam karyanya itu, sebuah nisan dengan motif tumpal (segitiga) dengan bunga awan di tepiannya, sengaja ditonjolkan dengan memberikan pewarnaan yang berbeda. 

Sedangkan tiga nisan lainnya di lukisan itu, ditampilkan dalam bentuk siluet. Akan tetapi yang menarik perhatian kemudian adalah munculnya simbol-simbol macam bulan sabit (wulan tumanggal), bulan purnama (purnama sidhi), dan matahari (surya sumunar). 

Jika mengacu pada hasil penelitian yang dilakukan oleh akademisi UIN Sunan Kalijaga, M. Yaser Arafat yang berjudul Nisan Hanyakrakusuman (2021), simbol-simbol itu erat kaitannya dengan masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. 

Atas dasar itulah memang kemudian Irvan menyematkan “label” Hanyokrokusumo dalam karyanya, selain tentu saja adanya simbol wulan tumanggal dan purnama sidhi di dua nisan lainnya.

Sementara objek sulur dan warna kehijauan di gambar nisan yang menonjol seolah menyiratkan bahwa nisan itu telah melewati sekian waktu dan abad lamanya. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa objek benda yang ditampilkan oleh Irvan dalam lukisannya itu bukan objek profan yang bisa ia jumpai sehari-hari.

Begitu pula dengan dua kalimat panjang berbahasa Jawa yang dituliskan Irvan dengan format handwriting, seolah menjadi penegas bahwa nisan itu memang merupakan nisan yang sudah ada sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma. 

Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia, kurang lebih kedua kalimat yang dinukil dari padha 1 dan padha 4 pupuh 3 Sarkara di kitab Sastra Gendhing karya Sultan Agung Hanyakrakusuma tersebut bermakna tentang penegasan akan keesaan Tuhan sebagai Zat Yang Mulia.

Irvan Muhammad berfoto bersama lukisan karyanya, Pindai dengan Al Patekah (Nisan Hanyokrokusuman). (Istimewa)

Sebagai pengunjung, saya pun semakin yakin bahwa objek kebendaan yang ditampilkan Irvan dalam lukisannya itu memang kental akan nuansa sakral. Salah satu yang meyakinkan saya adalah penempatan kanvas yang dibingkai dan dipasang dalam bentuk belah ketupat. 

Untuk hal ini, saya jadi teringat penjelasan di buku Ensiklopedia Islam Nusantara yang diterbitkan Direktorat Dikti Keagamaan Islam Kementerian Agama pada 2018. Di situ saya pernah membaca bahwa bentuk segi empat belah ketupat melambangkan empat penjuru mata angin dan satu pusat. Bentuk ini mencerminkan kesimbangan alam. Secara religius bermakna bahwa ke manapun manusia itu berjalan pasti selalu menuju ke satu arah yaitu Allah, Sang Khalik. 

Sedangkan secara akhlak, mencerminkan empat macam nafsu manusia, yaitu amarah (nafsu emosional) aluamah (nafsu untuk memuaskan rasa lapar), supiah (nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah), dan mutmainah (nafsu untuk memaksakan diri).

Dari sekian objek sakral yang ada di lukisan karya Irvan itu, ternyata ornamen modern tetap muncul, yakni sebuah kode QR. Hal ini seolah menandakan kesakralan nisan diharapkan tetap bisa relevan dan berkorelasi dengan masa kini.

Keberadaan kode pindai itu bisa menjadi simbol jalur cepat untuk tetap bisa terhubung dengan jiwa-jiwa leluhur, seperti yang jamak menjadi konsep dan falsafah hidup masyarakat Jawa. “Tetapi karena ini bicara soal religiusitas Islam, maka memindai kode itu dengan Al-Fatihah,” kata Irvan saat mendampingi saya mencermati lukisannya.

Soal lukisannya itu, Irvan memang menegaskan bahwa objek nisan ia pilih bukan tanpa sebab. “Nisan itu kami percaya sebagai nisannya Nyai Guntur Geni, istri Kyai Guntur Geni, tokoh penting yang ‘membuka’ dusun tempat saya tinggal, Dusun Sorogenen [Kalurahan Timbulharjo, Sewon, Bantul],” ucap Irvan.

Setidaknya, kata dia, penemuan nisan itu menjadi tonggak bersejarah bagi dusunnya. Dengan ditemukannya nisan itu, masyarakat kini menjadi semakin memiliki keterikatan dengan leluhur mereka. 

Bagi Irvan, lewat batu nisan, warga masyarakat memiliki rasa keterhubungan tentang leluhurnya. Makna sebuah nisan bagi masyarakat Jawa ternyata tidak hanya sebatas penanda tempat untuk menyimpan jasad. 

Melainkan juga menjadi tempat belajar, menjadi bagian yang menyatu dengan kepercayaan dan pandangan hidup di tengah masyarakat. “Nisan adalah benda yang diciptakan manusia berlandaskan alam pikiran tertentu,” kata pria yang juga sebagai Kepala Dusun tersebut.

“Setidaknya, warga kini tak lagi bertanya-tanya, siapa leluhur mereka, di mana makamnya.”

Kematian, kata dia, hanya membatasi secara ragawi, namun tidak secara batin. Bahkan keduanya masih bisa melakukan komunikasi dengan cara-cara khusus. Ziarah kubur bagi orang Jawa seolah menjadi keharusan, agar mereka bisa saling terhubung dan berdialog dengan leluhur. “Mengirim Al-Fatihah menjadi cara paling sederhana keterhubungan itu.”

Keajaiban Bendawi

Lukisan karya Irvan itu tergantung di dinding bercat putih, bersama 51 lukisan lain yang dipajang di MCC Tepi Sabin, Kalurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Bantul dalam pameran yang bertajuk Azimat-Siasat yang digelar sejak 10 Oktober 2024 hingga 18 Oktober 2024.

Salah satu karya yang dipamerkan di pameran Azimat-Siasat. (Harian Jogja/Arief Junianto)

Dalam pameran yang digelar sebagai bagian dari gelaran Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024 tersebut, pameran Azimat-Siasat mengambil topik benda sebagai materi eksplorasi 52 seniman. 

Dalam catatan kuratorialnya, salah satu Programmer Pameran, Karen Hardini memang menuliskan bahwa representasi karya seni dalam konteks warisan budaya benda (tangible) dan takbenda (intangible) menyimpan “daya” hidup dan menghidupi pencipta serta penggunanya.

Dari situlah, jelas terlihat bahwa ke-52 karya seni yang dipamerkan dalam Azimat-Siasat, semua tampak mengeksplorasi sebuah benda, baik dalam konteks artefak maupun “spirit kebendaan” yang dianggap memengaruhi budaya dan pola hidup sebuah kelompok masyarakat.

Tema Azimat-Siasat mempertemukan realitas, angan, dan keinginan. Seluruhnya difungsikan secara beriringan. Dengan demikian, keberadaan benda seni tidak hanya hadir sebagai sesuatu yang konkret dan abstrak semata, tetapi memiliki dampak nyata dalam budaya, intelektualitas, hingga ekonomi pada masyarakat,” tulis Karen dalam catatan kuratorialnya.

Selain lukisan pameran tersebut juga menampilkan pameran arsip sastra bertajuk Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra

Bicara soal tema pameran, eksplorasi benda memang menjadi spirit utama dari setiap karya yang dipamerkan. Dengan begitu, manusia diharapkan tetap mengingat dan memuliakan kisah masa lalu se 

Sebut saja misalnya Perjalanan Tapal Kuda karya seniman muda Bantul, Aan Yuliyanto. Dalam karyanya itu, Aan mengeksplorasi tapal kuda yang bagi masyarakat Jawa, termasuk salah satu benda yang memiliki keistimewaan. 

Tapal kuda dianggap sebagai sebuah azimat, terutama dalam hal pencarian keselamatan dan keberuntungan. Posisi pemasangan tapal kuda di rumah, menjadi suatu hal yang penting. Pemasangan tapal kuda yang digantung di dinding, jika menyerupai huruf U, maka dipercaya mampu menyerap keberuntungan dan keselamatan, bagi si pemilik.

Sementara bila pemasangan tapal kuda menyerupai huruf N (bagian lengkung berada di atas) maka dipercaya memiliki arti menebar keberuntungan dan keselamatan bagi tamu yang berkunjung ke rumah si empunya tapal kuda.

Konsep yang sama juga dituangkan dalam karya berbeda. Adalah M. Ryan Nh lewat lukisannya yang berjudul Menggantung Keberuntungan, juga mengeksplorasi objek tapal kuda sebagai simbol azimat keberuntungan.

Benda lainnya yang juga menjadi materi eksplorasi seniman dalam Azimat-Siasat adalah konde dan tusuk konde. Melalui karya yang berjudul Condroso, seniman Laila Tifah memajang 4 lukisan panel yang masing-masing berukuran 35 x 35 sentimeter. Keempat lukisan itu menampilkan gambar konde dan tusuk konde dalam berbagai latar. 

Lewat Condroso, Laila seolah ingin menegaskan bahwa konde bukan sekadar benda sebagai simbol perempuan Jawa. Lebih dari itu, masyarakat Jawa percaya bahwa konde adalah simbol perempuan berdaya yang mampu menyimpan erat rahasia dan memiliki kekuatan yang luar biasa dalam menanggung beban kehidupan.

Sementara tusuk konde lebih dianggap sebagai simbol kemandirian seorang perempuan Jawa. Pasalnya, dalam sejarahnya, tusuk konde yang berujung lancip acap dipakai sebagai senjata kecil oleh seorang perempuan Jawa saat dia berada dalam kondisi yang terdesak.

Selain azimat yang diterjemahkan dalam bentuk benda, sejumlah seniman ternyata juga memaknai azimat sebagai sebuah spirit tak benda yang juga memiliki kekuatan yang sama.

Salah satunya adalah yang ditampilkan oleh Umar Faruq lewat karyanya Mi’raj. Dalam karyanya itu, Umar menjadikan aktivitas sujud sebagai sebuah azimat ampuh dalam menyelesaikan semua masalah.

“Satu-satunya azimat yang dimiliki seorang hamba hanyalah sujud. Sebab sujud adalah jembatan yang mempertemukan hamba dengan Tuhannya. Dalam ruang sunyi, sholat adalah cara bermikrajnya ruh kepada Penciptanya. Ruang bercengkrama antara makhluk dengan sang Khaliq,” kata Umar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemimpin Hamas Yahya Sinwar Tewas Dibunuh Israel

News
| Jum'at, 18 Oktober 2024, 14:07 WIB

Advertisement

alt

Komunitas Vespa di Jogja Memulai Perjalanan ke Sabang Demi Mendapatkan Biji Kopi Lokal Setiap Daerah

Wisata
| Rabu, 16 Oktober 2024, 11:17 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement