Advertisement

Kisah Toko Mahasiswa di Jogja: Awal Jualan Malu Layani Pembeli, Kini Berkembang Pesat

Sirojul Khafid
Minggu, 01 Desember 2024 - 06:37 WIB
Sunartono
Kisah Toko Mahasiswa di Jogja: Awal Jualan Malu Layani Pembeli, Kini Berkembang Pesat Suradi saat berada di Toko Mahasiswa. - Harian Jogja - Sirojul Khafid

Advertisement

Hariajogja.com, JOGJA—Punya usaha cafe estetik bisa jadi menaikkan ‘gengsi’ ownernya. Namun membuka usaha kelontong pinggir jalan, ternyata bisa menghidupi keuangan keluarga dengan layak.

Namanya memang Toko Mahasiswa. Namun barang-barang yang dijual tidak berhubungan langsung dengan mahasiswa. Maksudnya toko itu tidak menjual peralatan tulis dan sejenisnya. Justru lebih banyak barang-barang sembako, rokok, hingga perlengkapan rumah tangga.

Advertisement

Pemilik Toko Mahasiswa, Suradi, tahu betul, nama dan jenis dagangan tidak sinkron. “Ini usaha sudah lama, waktu pertama kali buka pada 2003, pengelolanya mahasiswa, jadilah nama Toko Mahasiswa. Dan tetap pakai nama itu hingga saat ini, karena di kalangan supplier sudah familiar,” kata Suradi, Rabu (20/11/2024).

Usaha toko kelontong ini Suradi bangun bersama teman-temannya sejak masih mahasiswa. Kuliah sambil kerja menjadi pilihan yang paling rasional kala itu. Kondisi ekonomi membuat segala pembiayaan kuliah, dari biaya hidup sampai kampus harus Suradi tanggung sendiri.

Pengalaman sulitnya ekonomi dalam mengakses pendidikan sudah Suradi rasakan sejak sekolah dasar. Setelah lulus SMP pun, dia harus bekerja, belum bisa langsung melanjutkan sekolah. Dari Temanggung, Suradi merantau ke Jogja. Tujuan utamanya bekerja. Setelah beberapa bulan bekerja, ada keinginan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas. Bermodal informasi dari kenalannya, Suradi bisa mendapat fasilitas pendidikan dari Yayasan Realino Jogja. Dia pun mendapat fasilitas asrama.

Masuk kuliah, Suradi mendapat beasiswa di Universitas Sanata Dharma (USD) Jogja. Sembari menjalani perkuliahan di Program Studi Pendidikan Ekonomi, dia kerja serabutan untuk biaya hidup. Semua pekerjaan Suradi lakoni, dari menjual buku, jasa fotocopy, membantu penelitian dosen, bekerja di perpustakaan dosen, sampai bersih-bersih kaca di kampus.

Semua aman-aman saja, sampai ada study tour ke Bali, yang membutuhkan biaya besar. “Selama SMK sampai kuliah semester tiga belum bilang sama orang tua kalau saya sekolah, sampai ada studi tour ke Bali, butuh uang, minta tambahan uang saku ke orang tua. Mereka bilang, ‘kerja kok minta uang’,” kata Suradi. “Barulah setelah itu mengaku.”

Bertemu Orang Baik

Kondisi dan juga semangat Suradi selama kuliah mendapat perhatian dari Bismoko, dosen yang juga sempat menjabat sebagai pembantu rektor USD. Bersama empat mahasiswa lain yang juga kurang baik secara ekonomi, Bismoko menawarkan ruko serta modal usaha untuk mereka.

Dosen itu membebaskan mahasiswanya untuk membuka jenis usaha apapun. Ini caranya untuk melatih kreativitas Suradi dan teman-teman dalam mencari uang. Usaha pertama berupa pembuatan dan penjualan gorengan. Selama tiga bulan berjalan, ternyata banyak kendala. Mulai dari pembagian kerja dan kuliah, manajemen keuangan, sampai rasa gorengan yang tidak cocok ke semua jenis konsumen. Usaha gorengan pun tutup buku.

“Sempat kepikiran jasa antar jemput, tapi butuh armada dan modal gede. Akhirnya bikin toko sembako, lebih simpel, enggak butuh ini itu. Cukup misalnya beli beras terus jual, margin berapa,” kata Suradi.

Lahirlah usaha sembako bernama Toko Mahasiswa pada 2003. “Awalnya kami malu-malu. Kami jualan beras tapi kok namanya Toko Mahasiswa. Bahkan awal-awal kami harus dorong-dorongan untuk melayani pembeli, kamu saja, kamu saja,” katanya.

Membuka usaha toko kelontong mengharuskan Suradi dan teman-temannya belajar banyak hal, dari pemasaran sampai laporan keuangan. Tidak ada yang berlatar belakang pengusaha. Suradi memang kuliah ekonomi, tapi lebih fokus pada bidang pendidikannya. Teman-temannya yang lain berasal dari jurusan Pendidikan Sejarah, Otomotif, sampai Geologi.

Namun semua berprogres seiring berjalannya waktu. Meski fluktuatif, pendapatan dari Toko Mahasiswa bisa menopang kehidupan para mahasiswa tersebut. Memasuki tahun 2005, atau dua tahun setelah menjalankan toko kelontong, mereka sudah masuk fase skripsi di perkuliahan. Kesibukan membuat toko kadang tutup kadang buka.

Merasa kasihan dengan pelanggan atas tidak konsistennya jam operasional toko, Suradi dan teman-temannya memutuskan menutup Toko Mahasiswa. Semua barang dijual dan hasilnya dibagi rata. Setelah lulus, semua punya jalan masing-masing. Suradi bekerja di Jakarta, menjadi marketing di lembaga kursus bahasa. Temannya yang lain menjadi dosen di Surabaya, kerja di Pertamina, sampai pertambangan di Kalimantan.

Kembali Lagi ke Jogja

“Pak, kalau saya pulang, saya buka tokonya lagi boleh?” tanya Suradi pada Bismoko.

Pertanyaan itu menjadi permulaan Suradi pulang dari Jakarta ke Jogja. Dia hanya kuat tiga bulan bekerja di Jakarta. Suradi lebih nyaman bekerja di Jogja. Bismoko membolehkan Suradi untuk kembali menggunakan rukonya.

Namun berbeda dengan 2003, dia membuka sendiri toko kelontongnya pada 2006. Usaha toko kelontong ini yang kemudian menjadi penopang hidup Suradi sampai dia berkeluarga dan tinggal permanen di Jogja. Tidak hanya toko sembako, kini Suradi juga memiliki empat kantor layanan keuangan, perpanjangan dari sebuah bank milik negara.

Suradi memulai usaha sejak masa mahasiswa. Sekarang, dia sering menerima magang atau pekerja paruh waktu dari mahasiswa. Ini sebagainya cara ‘mengganti’ segala kebaikan yang dia terima semasa kuliah.

Pernah Tertipu Ibu-Ibu

Saat masih menjalankan Toko Mahasiswa semasa kuliah, pernah ada pelanggan ibu-ibu yang datang. Suatu hari, ibu tersebut hendak membeli rokok dalam jumlah banyak. Sebagian rokok sudah dibungkus. Sisanya, ibu itu meminta Suradi dan teman-teman untuk mengantarkan ke sebuah warung yang tidak jauh dari Toko Mahasiswa.

Pembayaran akan dilakukan di warung itu. Syaratnya, semua barang yang dipesan sudah harus lengkap dulu. Proyeksi keuntungan dari penjualan barang yang banyak sudah tertanam di benak Suradi dan teman-temannya.

Sayangnya, saat Suradi sudah sampai di warung, ibu yang membeli rokok itu tidak ada. Pemilik warung pun tidak merasa memesan rokok. Kondisi itu mengarah pada penipuan yang baru Suradi sadari belakangan.

“Saya sempat naik motor keliling warung itu, tapi tetap tidak menemukan ibu-ibu yang membeli rokok saya,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Prediksi BMKG: Sebagian Besar Wilayah Indonesia Diguyur Hujan 1 Desember 2024

News
| Minggu, 01 Desember 2024, 08:57 WIB

Advertisement

alt

Lima Satwa Berbagai Spesies Lahir di Beberapa Taman Safari di Indonesia

Wisata
| Sabtu, 30 November 2024, 05:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement