Advertisement

Belasan Juta Lansia Indonesia Tetap Bekerja di Usia Senja

Sirojul Khafid
Senin, 20 Januari 2025 - 06:57 WIB
Sunartono
Belasan Juta Lansia Indonesia Tetap Bekerja di Usia Senja Warga lansia - ilustrasi - Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Angka pekerja lanjut usia (lansia) di Indonesia terus meningkat. Memasuki 2024, setidaknya terdapat 17,53 juta orang berusia di atas 60 tahun yang masih bekerja.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah tersebut meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2014, yang hanya mencatatkan 9,99 juta orang. Mayoritas dari pekerja lansia tersebut bekerja di sektor informal, dengan persentase 85,25%. Sebagian besar dari jumlah tersebut (sekitar 76,29%) terjebak dalam jenis pekerjaan rentan. Sementara 17,65% lainnya bekerja sebagai pekerja tidak tetap.

Advertisement

Ketergantungan pada sektor informal ini menunjukkan bahwa lansia sering kali terpinggirkan dari perlindungan kerja formal, yang biasanya menawarkan keamanan dan kesejahteraan lebih baik. Lebih dari setengah pekerja lansia di Indonesia merupakan petani, dengan persentase mencapai 52,82%.

Jam kerja para lansia rata-rata melebihi pekerja muda, yaitu sekitar 48 jam per pekan. Kondisi ini bisa menggambarkan bahwa banyak lansia bekerja lebih lama dari batas jam kerja normal 40 jam sepekan. Adapun rata-rata penghasilan para pekerja lansia Rp1,71 juta per bulan, jauh di bawah upah minimum yang ditetapkan di beberapa daerah.

BACA JUGA : Belanja Pakai Uang Mainan, Lansia Nyaris Diamuk Massa

Data BPS menunjukkan bahwa 55% lansia masih memegang peran sebagai kepala rumah tangga pada 2023. Ini berarti lebih dari separuh lansia bertanggung jawab atas kebutuhan keluarga mereka, baik secara ekonomi maupun pengambilan keputusan. Namun di tengah peran besar ini, banyak dari mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan lansia tercatat sebesar 10,04% pada 2023, hanya sedikit lebih rendah dari target pemerintah sebesar 10%.

Data dari BPS tersebut diperkuat dengan temuan penelitian berjudul Variabel-Variabel yang Memengaruhi Lansia Bekerja Penuh Waktu di Indonesia Tahun 2020. Para penelitinya yaitu Kezia Sibuea dan Suryanto Aloysius dari Politeknik Statistika STIS.

Penelitian tersebut menemukan bahwa lansia yang bekerja penuh waktu di Indonesia pada tahun 2020 sebagian besar dicirikan dengan jenis kelamin laki-laki, usia 60-64 tahun, status perkawinan kawin, tingkat pendidikan pendidikan tertinggi lebih rendah atau setingkat SMP, status dalam keluarga sebagai kepala rumah tangga, tempat tinggal di wilayah perkotaan, serta tidak mengalami disabilitas.

“Kemudian, dapat diketahui variabel-variabel yang memengaruhi keputusan lansia bekerja penuh waktu di Indonesia pada tahun 2020 yaitu jenis kelamin, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, status kepala rumah tangga, wilayah tempat tinggal, dan status disabilitas. Semua variabel tersebut berpengaruh signifikan terhadap keputusan lansia bekerja penuh waktu,” tulis dalam penelitian tersebut.

Usia Pensiun Pekerja Naik Jadi 59 Tahun

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun, usia pensiun pekerja Indonesia naik satu tahun menjadi 59 tahun mulai Januari 2025. Usia pensiun ini tersebut menjadi landasan pemanfaatan program jaminan pensiun yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK).

“Usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai usia pensiun 65 (enam puluh lima) tahun,” sebagaimana bunyi dalam Pasal 15 ayat 3 PP Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang dikutip di Jakarta, Selasa.

Adapun batas usia pensiun pekerja di Indonesia untuk pertama kalinya ditetapkan adalah 56 tahun lewat PP 45 Tahun 2015. Kemudian pada 1 Januari 2019 usia pensiun menjadi 57 tahun dan bertambah satu tahun setiap tiga tahun kemudian. Dengan demikian, merujuk aturan itu, maka usia pensiun pekerja Indonesia pada 2025 menjadi 59 tahun, sehingga masih bisa memanfaatkan program jaminan pensiun BPJS TK.

Jaminan pensiun berdasarkan aturan tersebut merupakan jaminan sosial yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli waris dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia. Lewat perpanjangan batas usia pensiun pekerja Indonesia, maka kesempatan menyiapkan uang pensiun lebih panjang dan bisa meningkatkan jumlah tabungan pensiun.

PP Nomor 45 Tahun 2015 itu ditandatangani oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) pada 30 Juni 2015 lalu. “Pada usia tersebut, pekerja yang terdaftar dalam program Jaminan Pensiun (JP) berhak menerima manfaat dari BPJS Ketenagakerjaan, baik saat masih bekerja maupun setelah tidak bekerja,” kata Kepala Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Sunardi, Kamis (9/1/2025).

Menurut Sunardi, kebijakan ini telah dikaji mendalam. Angka harapan hidup masyarakat Indonesia yang terus meningkat serta membaiknya kondisi kesehatan masyarakat menjadi pertimbangan pemerintah.

Sunardi juga menjelaskan, usia pensiun pekerja dimaknai sebagai batas usia maksimal untuk berhenti bekerja. Namun, batasan ini harus disesuaikan dengan karakteristik pekerjaan dan beban kerja. Misalnya, terkait dengan pekerjaan yang membutuhkan energi lebih, kesehatan fisik, ketelitian, serta aspek lainnya.

Akan tetapi, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bagi kalangan pekerja yang tergabung dalam Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi). Presiden Aspirasi Mirah, Sumirat, mengatakan penetapan usia pensiun menjadi 59 tahun mulai 1 Januari 2025 dikhawatirkan berpengaruh pada produktivitas, terutama bagi pekerja yang mengandalkan fisik.

Mirah juga mempertanyakan nasib pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK sebelum memasuki usia pensiun. “Pekerja atau buruh tentu harus menunggu lama untuk bisa menerima dana pensiun,” kata Mirah.

Artinya, pekerja kehilangan peluang untuk mendapat bantuan finansial dan membangun ekonomi. Karena itu, ia meminta pemerintah memberi solusi yang tidak merugikan. Persoalan lainnya, menurut Mirah, masih banyak perusahaan yang belum mematuhi peraturan tentang penetapan usia pensiun. Ia berujar, ada perusahaan yang menetapkan usia pensiun pekerja di usia 40 tahun, 45 tahun, 50 tahun, serta 55 tahun. Ia pun meminta pemerintah bertindak tegas.

Lansia yang Rentan Alami Gangguan Mental

Kelompok lanjut usia (lansia) sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Apalagi, jika pasangan hidupnya telah meninggal dunia terlebih dahulu.

Tak cuma itu, lansia juga bisa mengalami depresi yang disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya soal pekerjaan. Menurut hasil riset Konsultan Pakar, Lilis Heri Mis Cicih, dan BKKBN tahun 2004, prevalensi depresi lansia sebesar 64,4% dengan berbagai faktor pemicu.

BACA JUGA : Jemaah Haji Kulonprogo 2025 Berkurang, Kuota 10 Lansia Belum Mengonfirmasi

Salah satu faktornya, karena mereka yang sudah berusia 60 tahun ke atas masih bekerja dengan berbagai tekanan. Hal ini memicu depresi, sebab di masa tuanya mereka harus banting tulang demi mencukupi kebutuhan hidupnya. “Kalau dilihat dari kasus depresi, memang banyak juga para lansia yang bekerja dan mengalami depresi. Tapi kalau tidak bekerja, mereka akan bingung mau makan dari mana,” kata Lilis, beberapa waktu lalu.

Namun tidak semua lansia yang bekerja akan mengalami depresi. Lilis mengatakan kondisi ini berbeda pada lansia yang bekerja atas keinginannya sendiri, tanpa dipaksakan oleh keadaan maupun anggota keluarga lainnya. Lansia yang bekerja tanpa tuntutan kebutuhan hidup, akan merasa bahagia ketika bekerja atau aktif berkegiatan.

“Sebetulnya kalau mereka ingin bekerja dan berdaya karena merasa bahagia tidak masalah. Jadi, jangan sampai pekerjaan tersebut membuat lansia tidak bahagia sampai depresi,” kata Lilis yang juga dosen di FEB UI.

Meski begitu, ia mengimbau agar tidak memberikan jenis pekerjaan yang terlalu berat untuk kelompok lansia. Bekerja di usia lansia seharusnya tidak lagi sebagai tulang punggung, melainkan sebagai media untuk melatih kemampuan ingatan dan motoriknya. “Tentunya ini yang harus menjadi perhatian, bagaimana agar lansia tetap berdaya, tapi tidak depresi karena tekanan pekerjaan,” kata Lilis.

Akses Teknologi Lansia

Dalam penelitiannya, akses teknologi lansia di Indonesia, terhadap teknologi informasi dan komunikasi telepon genggam sebanyak 46,68%, internet 11,44%, dan komputer 1,47% persen. Angka tersebut menggambarkan literasi digital lansia masih cukup rendah.

Kelompok ini perlu mendapat perhatian dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memanfaatkannya. Apalagi jika mengacu pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan prinsip tak meninggalkan satu orang pun (leave no one behind). Langkah untuk memanfaatkan momentum ini salah satunya melalui perubahan paradigma terkait lansia.

Sampai saat ini masih berkembang persepsi salah terhadap lansia, dengan menganggap mereka sebagai beban. “Juga terjadi pengucilan sosial, dan berkembangnya ageism (tindakan yang berupa stereotip, prasangka, dan diskriminasi terhadap lansia). Bahkan, disinyalir tindakan tersebut cenderung meningkat saat pandemi ini,” kata Lilis.

Kejadian ini tidak terlepas dari orang yang dekat dengan lansia, misal pasangan, anak, menantu, cucu, atau pendampingnya. Dengan demikian, perlu peningkatan pemahaman terkait lansia bahwa mereka masih berharga, bukan hanya tinggal menunggu giliran dipanggil Tuhan. Mereka yang sehat masih berharga di dalam keluarga, pekerjaan sukarela, bisnis, politik, atau berbagi pengalamannya yang berharga untuk generasi muda.

“Hal lain yang penting dalam kehidupan lansia adalah hubungan antar generasi yang harmonis. Jika tidak harmonis, adanya perbedaan kohor kelahiran dapat menyebabkan konflik dan komunikasi yang tidak lancar,” katanya.

Terkait dengan pemanfaatan teknologi, harapannya generasi muda dapat menjadi mitra. Umumnya lansia masih banyak yang ‘gaptek’ karena tingkat pendidikannya rendah. Mereka yang lebih muda dapat memberikan bantuan cara menggunakan teknologi digital dan kemudahan mengaksesnya. Di sisi lain, pemerintah juga perlu upaya untuk peningkatan mutu jaringan sehingga semua wilayah dapat mengakses teknologi digital dengan baik.

Menurut Lilis, memiliki literasi digital dan akses terhadap teknologi merupakan keharusan dan tidak bisa ditunda. Ini juga hal yang sangat diperlukan terutama jika ingin mencapai 5.0 society. Saat ini Jepang sedang mengupayakan ke arah itu. Pada era ini, teknologi digital diaplikasikan dan berpusat pada kehidupan manusia. Setiap orang, termasuk lansia, diharapkan dapat bertransformasi mengaksesnya sehingga memudahkan dalam berinteraksi dan melakukan kegiatan sehari-hari.

Jika melihat kondisi negara kita yang sedang mengupayakan industri 4.0, tentunya ini merupakan tantangan yang cukup besar. “Persoalan kepemilikan dan akses terhadap teknologi digital seiring dengan adanya ketimpangan (pendapatan, desa-kota, jender) perlu ditangani dengan baik oleh pemerintah. Harmonisasi antara pusat dan daerah suatu hal yang menjadi keharusan, dan perlu implementasi nyata dalam menyelesaikan persoalan tersebut,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Aku Pagar Laut di Tangerang Bersertifikat HGB

News
| Senin, 20 Januari 2025, 12:47 WIB

Advertisement

alt

Bali Masuk Urutan Dua Wisata Terbaik di Dunia Menurut TripAdvisor

Wisata
| Sabtu, 18 Januari 2025, 20:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement