Advertisement
Kegigihan Orang-rang yang Tidak Sekolah Formal
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Beberapa orang memutuskan keluar dari sekolah formal. Alasannya bisa sesederhana karena malas, atau pendidikan formal dianggap tidak mewadahi kebutuhan anak.
“Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru,” kata Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.
Advertisement
Kalimat itu terasa indah. Namun apakah benar-benar bisa dilakukan? Atau pertanyaannya, berani kah masyarakat Indonesia menerapkannya? Anggap saja semua tempat adalah sekolah, maka anak-anak sebenarnya tidak harus pergi sekolah. Dia cukup belajar di universitas alam semesta fakultas kehidupan.
Namun rasa-rasanya belum banyak orang tua dan anak yang berani melakukannya. Meski tetap saja ada contoh-contoh kisah yang perlu kita ikuti, tentang orang-orang yang memutuskan keluar dari sekolah formal. Ignasius Satrio Krissuseno salah satunya.
Dia hanya betah sekolah hingga kelas tiga sekolah dasar. Satrio merasa malas untuk sekolah. Perasaan itu dia sampaikan pada orang tuanya. Setelah orang tuanya diskusi, Satrio tidak perlu lagi melanjutkan sekolah formalnya. Dia cukup belajar apapun dari orang tua dan masyarakat di sekitarnya.
“Guru [belajar saya] dari komunitas-komunitas [yang ada di Jogja]. Secara belajar liar juga,” kata Satrio, Senin (20/1/2025).
Semua ilmu Satrio dalami. Meski dalam perjalanannya, dia lebih fokus dan intens belajar fotografi dan flora. Khusus untuk flora, Satrio banyak memerhatikan tanaman ramban, atau tanaman ‘jalanan’ yang bisa menjadi sayur. Ketertarikan itu membuat Satrio sering meramban, atau mencari tanaman di lingkungan sekitar untuk menjadi bahan makanan.
Salah satu ‘sekolahnya’ untuk belajar tanaman berada di Lembah Progo, Minggir, Sleman, area di sekitar rumahnya. Satrio belajar meramban melalui buku, internet, dan bertanya dengan orang yang dijumpainya. “Kadang dapet hasanah [tentang ilmu] tanaman dari mana-mana, dari simbah-simbah yang ditemui di jalan,” kata laki-laki yang kini berusia 20 tahun tersebut.
Kebiasaan ini membawa Satrio untuk mendokumentasikan temuan-temuan tanaman rambannya. Dokumentasi melalui unggahan di media sosial dan juga menerbitkan buku. Kini, Satrio mengelola Komunitas Kotaogi (Koleksi Tanam Olah Bagi) yang berdiri sejak 2016.
Kegagalan Sekolah Formal
Permintaan anak untuk keluar dari sekolah formal tidak selalu mulus, seperti yang Satrio alami. Pengalaman serupa, namun dari sisi orang tua, pernah di alami oleh Sumiyar Mahanani.
Beberapa tahun lalu, Miya, panggilan akrabnya, melihat perubahan perilaku pada anak pertamanya. Anaknya takut ketinggian sampai takut keramaian. Saat Miya mengajak anaknya ke mal, si buah hati seperti hendak pingsan. Kondisi ini mengkhawatirkan Miya sebagai ibu.
BACA JUGA: Siswa SD Tumbuh 4 Tampilkan Pentas Seni dalam Tumbuh Fair
Dugaan perubahan perilaku mengarah pada tidak cocoknya lingkungan sekolah. Miya sempat memindahkan anaknya dari satu sekolah ke sekolah lain. Sekolah itu berbasis kurikulum nasional dan internasional. Sayangnya kondisi tetap sama. Justru saat anaknya mendapat pemeriksaan secara psikologi, ada potensi gangguan depresi.
Miya mencoba mengurangi kesibukannya sehari-hari, lebih dekat dengan anak, dan lebih banyak mendengar. Usut punya usut, anak Miya tidak merasa cocok dengan sistem sekolah yang belajar dari pagi sampai sore dengan banyak materi. Belum lagi les sampai ujian, yang setelahnya tidak terasa membekas.
“Gimana kalau aku belajar yang aku suka aja, boleh enggak dibebaskan dan dimerdekakan memilih kurikulumku sendiri? Aku tahu blue print-ku, aku bukan robot yang bisa di-programming orang lain atau sekolah, dan program itu pemberian dari Tuhan,” kata Miya, menirukan perkataan anaknya.
Anak Miya memang cukup spesial atau gifted. Pemikirannya lebih dewasa dan lebih cepat dari umurnya. Puncaknya saat ada ujian kenaikan kelas di jenjang 1 SMP. Miya mendapati anaknya tidak belajar, justru banyak membaca jurnal tentang bakteri, sesuatu yang dia suka. Miya komplain kenapa anaknya tidak belajar untuk ujian.
“Anak saya bilang, ‘kayaknya kita perlu bicara empat mata, cara ini tidak akan berhasil, aku akan lebih buruk, seharian belajar sesuatu yang enggak aku suka, aku introvert, aku jadi orang aneh di sekolah. Ini justru peluang dan kesempatan buat mama, untuk membuat sekolah’,” katanya.
Miya memang punya tempat kursus. Melihat kebutuhan anaknya, dia membaca banyak materi tentang sekolah, dari sekolah formal, homeschooling, sampai pola anak yang tidak sekolah sama sekali dan sepenuhnya belajar di rumah. Miya mengeluarkan anaknya dari sekolah dan mengajarnya sendiri sejak 2019.
Perlu Mengenal Diri Sendiri
Semua ilmu yang Miya pelajari tentang pendidikan dia terapkan di tempat kursusnya. Anak pertama Miya menjadi murid pertama cikal bakal sekolah yang kemudian bernama Sekolah Merdeka Yogyakarta (SMY).
Selama tiga bulan membersamai anak sekolah di tempat kursusnya, ternyata anak Miya bisa sembuh. Anaknya semakin tahu dan mendalami yang dia sukai. Progresnya juga cepat. Dia juga tidak takut dicap aneh atau predikat lainnya yang pernah didapatkan di sekolah.
Keberhasilan ini membuat si anak menyarankan ibunya untuk membuat sekolah semi homeschooling. “Pasti banyak yang kaya aku,” kata Miya, menirukan anaknya.
Psikolog, Wresti Wrediningsih, mengatakan tidak semua anak cocok dengan sistem sekolah yang seragam. Bahkan anak dengan kebutuhan khusus pun tidak selalu cocok dengan sistem sekolah luar biasa (SLB). Banyak karakter anak yang tidak masuk ke kriteria yang difasilitasi SLB.
Kebutuhan pendidikan di luar sekolah formal itulah, lanjut Wresti, yang menjadi latar belakang munculnya Sekolah Tumbuh di Jogja. Wresti mengatakan Sekolah Tumbuh memegang filosofi bahwa anak adalah pembelajar alamiah.
“[Anak-anak perlu] belajar dengan cara mengalami, menjadi center, student center, bukan teacher atau curriculum center. [Sekolah Tumbuh] didesain mengikuti karakter muridnya,” kata Wresti yang juga Pengelola Yayasan Edukasi Anak Nusantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Soal Polemik LPG 3 Kg, Ada Sejumlah Pihak Ingin Mengadu Domba Partai Golkar dengan Partai Gerindra
Advertisement
Liburan ke Garut, Ini Lima Tempat Wisata Alam Tersembunyi yang Layak Dinikmati
Advertisement
Berita Populer
- Ruwatan di Kaki Gunung Merapi, Komunitas Pasar Kumandhang Merevitalisasi Peran Pasar Tradisional
- Sultan HB X Sebut PBTY 2025 Jadi Momentum Integrasi dan Toleransi Budaya
- Jembatan Srandakan Lama Putus, Berpotensi Mengancam Konstruksi Jembatan Baru
- Kementerian Hukum DIY Terima Kunjungan Kerja Komisi XIII DPR RI, Perkuat Perlindungan Hak Paten di Yogyakarta
- Belum Jadi Sasaran MBG, SDN 4 Wates Biasakan Siswanya Makan Bersama
Advertisement
Advertisement