Advertisement
Sektor Pendidikan Ternyata Bisa Jadi Ladang Korupsi

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI memaparkan data pendidikan yang terjadi di Indonesia. Dunia yang seharusnya menjadi contoh penegakan integritas ini masih menjadi ladang terjadinya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Laporan KPK dalam Data Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 menunjukkan berbagai permasalahan terkait integritas di dunia pendidikan. Dari sisi kejujuran akademik, terdapat 43% murid dan 58% mahasiswa yang mengaku pernah menyontek. Praktik plagiarisme oleh tenaga pendidik juga masih terjadi.
Advertisement
Sementara untuk ketidakdisiplinan akademik, terdapat 45% murid dan 84% mahasiswa mengaku pernah terlambat ke sekolah atau kampus. Sebanyak 43% tenaga pendidik mengalami ketidakhadiran tanpa alasan jelas. Beralih ke gratifikasi, sebanyak 65% sekolah masih memiliki kebiasaan memberikan hadiah kepada guru saat kenaikan kelas atau hari raya, yang berpotensi menjadi praktik gratifikasi.
Dari sisi pengadaan barang dan jasa, terdapat 26% sekolah dan 68% universitas, mengungkapkan adanya campur tangan pribadi dalam pemilihan vendor pengadaan barang dan jasa. Di tahun 2023, SPI Pendidikan mencatatkan nilai rata-rata integritas di level nasional sebesar 73,7 poin.
Masih dalam catatan KPK, sepanjang 2022, terdapat tiga kasus besar dugaan korupsi di sektor pendidikan yang berhasil ditindak. Empat modus utama yang umum terjadi meliputi penyelewengan anggaran, suap dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru, korupsi pembangunan infrastruktur, serta pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan.
Inspektur I Kemendiktisaintek, Lindung Saut Maruli Sirait, menyoroti masih maraknya perilaku koruptif di perguruan tinggi swasta, terutama terkait penerimaan KIP. Pada tahun 2024, Kemendiktisaintek mencabut delapan izin perguruan tinggi swasta sebagai bentuk penindakan terhadap pelanggaran tersebut.
“Banyak sasaran-sasaran yang tidak tepat, apalagi ada kampus-kampus yang proses pendidikannya tidak berjalan tapi tetap menerima KIP. Sehingga pendidikan antikorupsi ini menjadi penting untuk terus diperkuat di sektor pendidikan,” kata Lindung, Jumat (14/2/2025), dikutip dari laman resmi KPK RI.
Sekretaris Jenderal Kemendikdasmen, Suharti, mengatakan perlunya referensi pembelajaran antikorupsi dan berupaya memperkuat pemanfaatannya oleh guru melalui integrasi dalam platform pembelajaran serta peningkatan standar kompetensi pengajar. “Ini tinggal memperkuat bagaimana materi-materi tersebut betul-betul bisa digunakan oleh guru untuk proses pembelajaran,” kata Suharti.
Bukan Hanya Penindakan, Tapi Juga Pencegahan
Tidak hanya perlu penindakan, pemberantasan korupsi juga perlu dari sisi pencegahan. Ketua KPK RI, Setyo Budiyanto, mengatakan bahwa pemberantasan korupsi di sektor pendidikan membutuhkan dukungan dari semua lini, terutama kementerian dan lembaga terkait.
Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan melalui penindakan, lanjut Setyo, tetapi juga melalui pendidikan dan pencegahan. "Pendidikan menjadi kunci utama dalam membangun budaya antikorupsi sejak dini, dan pemerintah kini harus semakin fokus pada perbaikan pendidikan di berbagai levelnya, dengan tujuan utama meningkatkan kualitas dan integritas di sektor ini," katanya, Jumat (14/2/2025), dikutip dari laman resmi KPK RI.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, menambahkan bahwa meski nilai rata-rata integritas sektor pendidikan di Indonesia cukup tinggi, implementasi Pendidikan Antikorupsi (PAK) masih menghadapi tantangan. Hal ini mencakup ketidaksesuaian kebijakan, kurangnya regulasi payung, belum adanya standar kompetensi pengajar, serta kurangnya monitoring dan evaluasi akibat keterbatasan data, sumber daya manusia, dan dukungan anggaran
“KPK terus berkomitmen untuk berkolaborasi demi mengimplementasikan pendidikan karakter dan budaya antikorupsi melalui sembilan nilai utama [jujur, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, peduli, disiplin, adil, dan kerja keras]. Hingga saat ini, 83% daerah telah memiliki regulasi terkait pendidikan antikorupsi,” kata Wawan.
Untuk menjawab berbagai tantangan di atas, KPK RI menggandeng enam kementerian untuk memperkuat integrasi nilai-nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat anak usia dini hingga perguruan tinggi. Keenam kementerian tersebut adalah Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah; Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi; Kementerian Dalam Negeri; serta Kementerian PPN/Bappenas.
Melalui kerja sama ini, KPK berharap kesadaran akan bahaya korupsi semakin meningkat di kalangan peserta didik, tenaga pendidik, serta seluruh elemen masyarakat. Dengan demikian, sektor pendidikan dapat terbebas dari praktik korupsi dan mampu mencetak generasi yang berintegritas serta berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa.
“Pendidikan adalah investasi bagi masa depan, dan kita semua memiliki peran dalam memastikan bahwa generasi mendatang tumbuh dengan nilai-nilai antikorupsi yang kuat,” kata Wawan.
Beberapa kesepakatan yang akan mereka tindaklanjuti yaitu dari sisi regulasi, terdapat penyusunan nota kesepahaman (MoU) dan perjanjian kerja sama (PKS) baru untuk mengatur implementasi pendidikan antikorupsi (PAK) di berbagai jenjang pendidikan. Dari sisi implementasi, terdapat integrasi PAK dalam kurikulum pendidikan; penyusunan standar materi PAK bagi guru, orang tua, dan siswa; penyelarasan sembilan nilai antikorupsi dengan nilai-nilai karakter bangsa agar selaras dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada monitoring dan evaluasi, akan ada pembangunan interkoneksi sistem dan data antara KPK dengan kementerian terkait, serta menetapkan indikator PAK dalam Monitoring Center for Prevention (MCP). KPK juga akan segera merilis hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 pada 24 April 2025. Survei ini diharapkan dapat memberikan gambaran komprehensif mengenai kondisi integritas di sektor pendidikan dan menjadi dasar dalam merumuskan kebijakan perbaikan.
Pelaku Korupsi Mayoritas Berpendidikan Tinggi
Pelaku korupsi di Indonesia mayoritas berpendidikan tinggi. Dua tahun lalu, saat masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan bahwa dari total koruptor di Tanah Air, sebanyak 84% merupakan lulusan perguruan tinggi.
"Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi, 84 persen dari koruptor di Indonesia itu adalah lulusan perguruan tinggi," kata Mahfud, dikutip dari Antara.
BACA JUGA : Profil Hevearita Wali Kota Semarang Ditahan KPK Terkait Korupsi
Masih dalam data yang sama, Mahfud menyebutkan saat ini jumlah koruptor di Tanah Air sekitar 1.300-an yang telah ditangkap atau sudah diadili oleh pengadilan. Artinya, sekitar 900 koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi atau sarjana.
Di satu sisi, Mahfud mengemukakan perguruan tinggi tidak gagal meskipun angka koruptor dari kalangan sarjana terbilang tinggi karena hingga saat ini jumlah lulusan perguruan tinggi jauh lebih banyak, yakni lebih kurang 17,6 juta orang. "Jadi, kalau jumlah lulusan 17,6 juta orang dan yang koruptor 900 orang, kira-kira hanya 0,05 persen. Artinya perguruan tinggi masih baik," katanya.
Mengenai ratusan koruptor lulusan perguruan tinggi tersebut, menteri kelahiran Sampang itu menilai para koruptor hanya pintar dari segi otak, namun wataknya tumpul. Dengan kata lain, ada ketidakseimbangan antara kecerdasan kognitif dengan kemuliaan watak
Pengamat Kriminal Ekonomi Korupsi, Rimawan Pradiptyo, mengatakan pelaku korupsi di Indonesia didominasi mereka yang berpenghasilan tinggi dan berasal dari lulusan pendidikan tinggi, “Meski korupsi juga tidak tidak mengenal batasan usia,” katanya.
Dia menambahkan, pola korupsi yang dilakukan selama ini menggunakan teknik yang sangat canggih agar tidak diketahui oleh aparat penegak hukum. Kalau pun tengah dicurigai atau disorot oleh penegak hukum, para pelaku korupsi tidak segan-segan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk mencegah adanya proses investigasi. “Mereka menggunakan kekuasaan untuk mencegah investigasi,” kata Rimawan, dikutip dari laman resmi UGM, beberapa waktu lalu.
Berbeda dengan negara maju, lanjut Rimawan, pencegahan korupsi dilakukan dengan melakukan penguatan lembaga. Sebaliknya, di negara berkembang sep
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Kementerian Ajak Perguruan Tinggi Jadi Motor Penggerak UMKM
Advertisement

Menikmati Gua-Gua yang Tidak Boleh Dilewatkan saat Berwisata ke Turki
Advertisement
Berita Populer
- Museum Anak Kolong Tangga Kembali Buka, Lokasi di Bangunjiwo Bantul
- MTsN 6 Bantul Borong Empat Trofi Kejuaraan di Masaba Fest
- Seminggu Berjalan, Ini Catatan Disdikpora Soal Program MBG di Wilayah DIY
- Harga Jual Rendah, Durian Lokal Gunungkidul Kencono Rukmi Mulai Kalah Pamor dengan Varietas Lain
- Tingkat Kehadiran Masih Rendah, Dinkes Kulonprogo Gencarkan Sosialisasi CKG
Advertisement
Advertisement