Advertisement
Hidup Segreng di Lahan Karst, Cara Khas Petani Berdaya

Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Padi Segreng lokal Gunungkidul terus ditanam petani meski minim subsidi pemerintah alasanya tahan perubahan iklim dan tak butuh air banyak. Praktik pertanian yang digunakannya masih menggunakan pengetahuan lokal dan terbukti terhindari dari gagal panen, generasi mudanya juga makin tertarik.
Segreng dalam sepetak sawah 150 meter persegi dikerubungi tujuh orang yang berkeringat deras dari wajahnya. Keringat yang mengucur tak menutupi kebahagian tujuh petani yang tengah panen padi itu. Para petani di Kalurahan Girimulyo, Kapanewon Panggang ini merasa tak pernah dikecewakan dengan varietas padi lokal di wilayahnya, Segreng yang selalu bisa beradaptasi di berbagai kondisi dan perubahan iklim.
Advertisement
Lahan yang tengah dipanen itu milik Rubiyono, ia menanam Segreng sejak 20 tahun terakhir. Kondisi lahan pertaniannya berbeda dengan sawah pada umumnya. Sawahnya memiliki kemiringan dengan ketinggian yang variatif, tiap ketinggian ada batas batu berundaknya.
Puluhan pohon jati mengitari lahan sawah milik Rubiyono di lingkar paling luarnya. Tekstur tanah di lahannya lebih keras karena dipenuhi batuan karst khas pesisir selatan Gunungkidul. “Daripada disebut tanah berbatu, lebih pas disebut batu bertanah. Tapi masih bisa produktif dan hasil panennya lumayan,” katanya sambil membabat padi Segreng untuk dipanen.
Hujan jarang turun di sana sejak 20 tahun terakhir sekalipun musim sudah tak lagi kemarau. Meski begitu, Rubiyono tak pernah merasa khawatir dengan pertanian padi Segrengnya. Ia punya banyak pengalaman menghadapi krisis air tapi tetap bisa panen tiap musimnya.
Serangan hama di sawahnya juga kian meningkat, terbaru monyet ikut menyerang pertaniannya. “Khawatir itu ada tapi tidak begitu takut, kami punya cara mengatasinya yang diwariskan simbah-simbah dulu tetap kami prakitikan sampai sekarang,” tuturnya, awal Februari lalu.
Siang makin terik, enam petani lain turut berteduh di gubuk pinggir lahan itu. Mereka istirahat sambil mengumpulkan belalang yang berhasil ditangkap saat memanen padi Segreng tadi. Rubiyono menyebut praktik pertanian nenek moyangnya yang masih dilakukan hingga kini sambil menunjuk enam orang lain yang duduk melingkar di gubuknya itu. “Gotong royong begini saat panen,” ungkapnya sambil tertawa.
Mereka yang membantu panen padi Rubiyono bukan buruh tani, melainkan tetangga di lahan sawahnya. Kelompok ini akan secara bergantian membantu panen orang lain tanpa imbalan dengan balas jasa dibantu saat gilirannya. Seluruh petani ini juga menanam Segreng sebagai sumber pangan utama keluarganya.
Pilihan padi Segreng juga tidak lepas dari praktik pengetahuan lokal yang dimiliki petani di Padukuhan Wintaos, Girimulyo itu. Nenek moyang mereka sudah menanam varietas ini sejak ratusan tahun yang lalu tapi sempat terhenti saat Revolusi Hijau dipaksakan Orde Baru.
Rubiyono meninggalkan benih padi anjuran pemerintah pada 2005 silam yang sudah ditanamnya sejak 1980. Ia mendapatkan Segreng lagi dari petani kenalannya di Kapanewon Temon. “Benih dari pemerintah hasil panennya jelek karena tidak sesuai dengan lahan pertanian kami, sering gagal panen juga, lalu lebih boros pupuk dan pestisida jadi ongkosnya mahal,” jelasnya.
Benih padi kiriman pemerintah yang pernah ditanam Rubiyono dari IR-64, Ciherang, hingga Inpari-32. Meski benih-benih itu lebih murah karena mendapat subsidi, petani di Wintaos tetap beralih ke Segreng. “Harga jual gabah Segreng juga lebih mahal daripada padi dari pemerintah,” tuturnya.
Dari semua pertimbangan itu alasan utama Rubiyono dan petani Wintaos lain menanam Segreng adalah kebutuhan airnya sedikit. Kemarau panjang 2023 silam jadi contohnya, saat itu seluruh tanaman pangan mati tapi padi lokal Gunungkidul ini tetap hidup. Mereka tak pernah dibikin gagal panen olehnya.
Serangan hama juga dapat dikendalikan jika padi yang ditanam adalah Segreng. Rubiyono menjelaskan batang tanaman ini cukup besar dan kokoh sehingga tahan jamur, padinya juga liat dan tak mudah dimakan wereng, akarnya juga menancap kuat sehingga tak mudah diserang uret.
Petani Wintaos juga punya ramuan khusus berupa tumbukan daun sirsak yang dicampur dengan bunga-bunga liar agar hama tidak mudah mampir di ladangnya. “Saat menanamnya kami juga punya penanggalan khusus, selain pranata mansa juga tiap keluarga pakai tanggal baik dan menghindari hari meninggalnya leluhur,” paparnya.
Kini yang jadi tantangan adalah tingginya harga benih Segreng yang dibandrol rata-rata Rp150 ribu untuk lima kilogramnya. Rubiyono menyayangkan tidak adanya subsidi pemerintah untuk padi lokal itu dibanding varietas lain.
Untungnya petani di Wintaos masih saling berbagi benih Segreng. Upaya pembenihan sudah dilakukan tapi hasilnya tidak maksimal. “Khawatirnya kedepan masih dilestarikan enggak benih Segreng ini,” tanyanya.
Pengetahuan Lokal yang Menghidupkan Segreng
Segreng tidak hanya dibudidayakan di barat Gunungkidul, di bagian timurnya juga turut menanam varietas lokal ini. Seperti di Kalurahan Purwodadi, Kapanewon Tepus, karakteristik lahan di wilayah ini seperti di Wintaos, Panggang yaitu berbatu dan kesulitan mengakses air.
Petani yang sudah cukup lama menanam Segreng di Purwodadi adalah Bambang Sulur, saat Revolusi Hijau pun ia tak benar-benar mengikutinya dan kerap menanam varietas padi lokal saat itu. Puluhan paceklik dari yang berskala lokal hingga global pernah ia lalui, dari masa Sukarno pada 1963 ke Orde Baru pada 1972 hingga 2023 silam dengan kemarau berkepanjangannya.
Lahir sejak 1952, Bambang menyebut Segreng sebagai padi yang paling unggul dalam menghadapi musim paceklik. Ia juga masih melakukan pembenihan varietas lokal itu hingga kini dengan cara nenek moyangnya. Hasil panen yang terbaik akan dipilihnya, kemudian ia simpan bersama abu hasil pembakaran dapurnya yang dicampur garam grosok sebagai alasnya. “Abu sama garam dicampur lalu dilapisi karung setelahnya baru diatasnya benih ini,” terangnya.
Saat hendak menanamnya, jelas Bambang, benih Segreng juga akan dipilih lagi yang paling unggul. Caranya memasukan benih kedalam wadah yang sudah terisi air garam. Bibit yang mengambang akan disisihkannya, lalu yang tenggelam akan digunakannya.
Saat menanamnya pun ada cara khusus yang masih dipraktikan Bambang hingga kini. Benih yang akan ditanam akan dicampur dengan abu, batu koral laut selatan, dan kunyit. Saat mencampurkannya dengan benih juga dinyayikan Kidung Rumeksa Ing Wengi milik Sunan Kalijaga.
Puluhan tahun praktik itu dilakukan Bambang dan hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Prinsip saya itu yang penting cukup dan seimbang dengan alam, makhluk lain juga butuh makan makanya kalau ada hama saya juga enggak pakai pestisida kimia,” tuturnya.
Dalam pakuwon yang digunakan Bambang dalam penanggalan pertanian terdapat tahun tanam yang perlu diwaspadai meningkatnya hama. Momen ini terjadi setiap empat tahun sekali berdasarkan pranata mangsa. Ia selalu mewaspadai tahun hama tersebut yang terbaru akan terjadi pada masa tanam pertengahan 2025 nanti.
Bambang menjelaskan tahun hama ini bagian dari siklus alam. “Biasanya ditandai dengan serangan tikus yang banyak, terkahir terjadi pada 2021 kemarin. Lahan di samping punya saya sampai gagal panen, untungnya saya bisa mengantisipasi,” ungkapnya.
Cara mengantisipasinya dengan menyebar abu dapur yang dicampur garam dan bunga kenikir selepas matahari terbenam. Saat menyebarnya ke lahan sambil menembang Kidung Rumeksa Ing Wengi, menurut Bambang, bunga kenikir yang menyengat juga tidak disukai tikus.
Kekayaan pengetahuan lokal yang melebur jadi budaya itu dikhawatirkan Bambang akan punah jika tidak ada yang melestarikan. “Minat bertani juga makin sedikit sekarang, eman-eman kalau semua itu nanti punah,” ujarnya.
Minat Menanam Segreng Menurun
Berbeda dengan wilayah selatan Gunungkidul, petani di kawasan utara justru sudah meninggalkan padi lokal ini. Padahal kondisi lahannya sama yaitu berbatu dan minim air. Bukannya tak mengetahui keunggulan Segreng, para petani ini meninggalkan Segreng karena arahan petugas penyuluh pertanian. Seperti yang dialami Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Makmur Jaya di Kalurahan Pundongsari, Kapanewon Semin.
Ketua Gapoktan Makmur Jaya, Wasinto mengaku sudah tidak menanam Segreng sejak 2014 silam. Ia paham betul bahwa Segreng tahan hama dan butuh sedikit air sampai panennya. “Tapi arahannya begitu, lalu harganya juga mahal benihnya. Sekarang kami tanamnya Inpari-32,”
Pengalaman Wasinto menanam Segreng menunjukan hasil panen juga lebih banyak. Satu karung gabah kering dari padi lokal ini beratnya bisa mencapai 45 kilogram, sedangkan varietas lain dengan volume yang sama hanya 38 kilogram.Sebab bulir padinya lebih liat dan berbobot dibanding varietas lain.
Beras Segreng, menurut Wasinto, juga lebih berkualitas seperti tidak mudah basi.”Sebanarnya anak-anak saya juga lebih suka beras itu, lebih pulen juga. Sampai kalau dijadikan intip atau kerak yang dijemur lalu digoreng itu juga lebih enak,” jelasnya.
Meski begitu Ketua Gapoktan Makmur Jaya ini menyebut varietas Inpari-32 yang sudah beberapa tahun terakhir ditanamnya bisa mengimbangi produktivitas Segreng. “Inpari-32 itu satu hekatarnya 7 ton, kalau Segereng 6,5 ton kadang imbang yang sebenarnya bisa ditingkatkan lagi kalau pupuknya pas,” jelasnya.
Perhitungan panen itu yang memantapkan Wasinto untuk tidak menanam Segreng lagi seperti petani lain di wilayahnya. Sementara Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Semin menyebut membebaskan petani di wilayahnya untuk memilih sendiri varietas yang ditanamnya.
Petugas BPP Semin, Astria Istiani membenarkan banyak petani yang meninggalkan Segreng di wilayahnya. Menurutnya penyebabnya lahan tegalan yang cocok untuk padi lokal ini sedikit jumlahnya.
Padahal datanya terdapat 2.125 hektar lahan padi gogo di Semin yang cocok untuk Segreng. “Tapi memang sudah banyak yang tidak menanamnya, kami sekarang malah mencoba menangkarkannya di lahan praktik kami,” jelas Astria.
Penangkaran benih Segreng oleh BPP Semin ini arahan dari Dinas Pertanian dan Pangan (DPP) Gunungkidul. Astria mengaku tidak tahu alasan pasti kenapa lahan praktiknya yang dipilih meski sedikit petani di sisi utara ini yang menanam padi lokal.
BPP Semin juga tidak ada upaya tambahan untuk mengajak petani di sana untuk menanam Segreng lagi. “Upaya khusus tidak ada, kami bebaskan saja yang ikut pembenihan ini juga petani sekitar lahan praktik saja,” katanya.
Pembenihan Jadi Tantangan
Tantangan utama budidaya padi Segreng di Gunungkidul adalah Benih. Dalam setahun pemerintah di sana hanya mampu menyediakan benih sebesar 10-20 ton, padahal kebutuhan petani lebih dari itu. Sisa benih yang dibutuhkan itu dipasok swasta.
Kebutuhan benih Segreng di Kapanewon Panggang saja–tempat Rubiyono bertani–sebanyak 107,25 ton. Kalkulasi itu dihitung oleh petugas BPP Panggang, Hendra Yuni Fitriantoko yang menurutnya satu hektar lahan membutuhkan 50 kilogram benih segreng. Sementara jumlah lahan yang ditanam padi lokal ini disana seluas 2.145 hektar.
Tingginya kebutuhan yang tidak terpenuhi membuat Hendra berupaya mengajak para petani untuk menggunakan jarak tanam agar lebih hemat. “Selama ini petani di Panggang ini tidak pakai jarak tanam karena kebiasaan yang ada,” jelasnya.
Padahal jika pakai jarak tanam produktivitas Segreng tidak akan menurun, jelas Hendra, bahkan bisa lebih meningkat. Ia telah melakukan uji coba di lahan praktiknya, hasilnya satu ubinan dengan 220 rumpun padi menghasilkan 2,2 kilogram. Sedangkan yang hanya 170 rumpun Segreng dengan jarak tanam panen 2,5 kilogram gabah.
Meski begitu belum banyak petani Segreng di Panggang yang tertarik menggunakan jarak tanam itu. “Benih Segreng paling mahal disini, tapi karena kebanyakan pembenihan sendiri jadi mungkin tidak masalah dengan menyebar begitu yang lebih boros,” terangnya.
Sementara Kepala DPP Gunungkidul, Rismiyadi menyebut anggaran yang terbatas jadi sebab pembenihan yang tak maksimal. Solusi yang selama ini dipakai untuk mengatasi tantangan ini dengan meningkatkan kemandirian petani.
Rismiyadi menyebut sudah ada 15 kelompok tani di Gunungkidul yang bermitra dengannya untuk melakukan pembenihan Segreng. “Jumlahnya memang masih sedikit, tapi akan terus kami tingkatkan karena memang anggaran juga terbatas,” ujarnya.
Anggaran untuk pembenihan padi di Gunungkidul sekitar Rp100an juta dalam setahunnya, itupun tidak terkhusus pada Segreng saja. Semetara kemitraan dengan petani dalam pembibitan, jelas Rismiyadi, dengan memberikan bantuan dan stimulus seperti benih, pupuk, hingga sertifikasi hasilnya.
Alasan pembenihan Segreng tidak dilakukan di wilayah yang banyak petaninya menanam padi lokal ini, menurut Rismiyadi, dimana kebanyakan di wilayah tengah dan utara karena sarana prasarana pertaniannya lebih menunjang daripada yang selatan. “Nanti akan kami kaji lagi agar lebih tepat sasarannya,” ucapnya.
Menjaga Benih Lokal Mengajarkannya ke Anak
Di bawah bukit karst, rumah panggung di Wintaos, Panggang itu nampak ramai oleh anak-anak pada Minggu (15/2). Mereka belajar dan praktik langsung pertanian dengan sistem pengetahuan lokal. Sekolah Pagesangan jadi wadah puluhan anak-anak ini belajar mengelola aneka benih lokal, termasuk Segreng sebagai sumber pangannya.
Berdiri sejak 2008 silam, Sekolah Pagesangan terbukti mampu menjaga eksistensi benih lokal. Lulusan pertama pendidikan informal ini salah satunya adalah Murni Atun yang kini jadi petani di WIntaos.
Perempuan 27 tahun ini kini juga turut serta jadi pengajar dan pengelola Sekolah Pagesangan. Belajar pertanian dengan benih lokal sejak usia 10 tahun, Murni sudah akrab dengan Segreng. “Sekarang nanam itu, benih lokal non padi lain juga saya tanam secara tumpang sari,” katanya.
Pangan lokal yang ditanam Murni itu dari jenis umbi seperti gembili, ganyong, garut, gadung, suweg, sampai kimpul hingga jenis kacang seperti koro, benguk, dan gude. Praktik pertaniannya juga masih mengandalkan pengetahuan lokal yang dikombinasikan berbagai sumber.
Murin menyebut selama di Sekolah Pagesangan ia mendapat banyak pengetahuan terkait pembenihan, pengelolaan kesuburan tanah, pengendalian hama, dan perubahan iklim. “Temen-teman saya angkatan pertama juga banyak yang memutuskan bertani, setelah awal lulus sekolah merantau tapi akhirnya tetap balik ke rumahnya,” terangnya.
Pertanian generasi muda Wintaos dari Sekolah Pagesangan ini, menurut Murni, juga cukup mensejahterakannya. Mereka kini juga tambahan pemasukan dari mengelola wisata edukasi ramah lingkungan yang sudah banyak menerima kunjungan dari berbagai penjuru Indonesia yang ingin belajar pengelolaan sumber pangan lokal.
Upaya Sekolah Pagesangan ini masih aktif hingga sekarang untuk mengajarkan anak-anak muda di Gunungkidul untuk bertani dengan benih lokal dan ramah lingkungan. Inisiatif ini jadi jawaban atas keresahan Bambang di Tepus akan pelestarian praktik pengetahuan lokal. Begitu juga Rubiyono di Panggang akan kekhawatirannya pada eksistensi benih padi Segreng.
*Artikel ini didukung LaporIklim dan Yayasan PIKUL
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

2 Jet Tempur Korsel Salah Jatuhkan Bom, 15 Orang Dilaporkan Terluka
Advertisement
Ramadan, The Phoenix Hotel, Grand Mercure & Ibis Yogyakarta Adisucipto Siapkan Menu Spesial
Advertisement
Berita Populer
- Jaga Daya Beli Masyarakat, Pemkab Sleman Gelar 36 Pasar Murah
- Waktu Imsak, Subuh dan Buka Puasa di Jogja pada Kamis 6 Maret 2025, Cek di Sini
- Pemkab Kulonprogo Gelar Safari Tarawih 14 Titik Selama Ramadan untuk Perkuat Silaturahmi
- Apdesi Bantul Ragukan Efektivitas Program Koperasi Desa Merah Putih
- Rekanan Diputus Kontrak, Pembangunan Parkir Wisata di Nglanggeran Gunungkidul Jangan Sampai Mangkrak
Advertisement
Advertisement