Advertisement
Aktivis Jogja Gelar Aksi Tolak Pemberian Gelar Pahlawan Soeharto
Sejumlah aktivis menggelar aksi menolak pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, di depan Monumen TKR Museum TNI, jalan Jendral Sudirman, Senin (10/11/2025). - ist massa aksi
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah aktivis masyarakat sipil hingga jurnalis di Jogja menggelar aksi menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Presiden kedua RI tersebut dinilai bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat masa lalu, korup membungkam kritik.
Aksi berlangsung di depan Monumen TKR Museum TNI, Jalan Jendral Sudirman, Senin (10/11/2025). Dalam pers rilisnya, mereka menyebut rezim Soeharto dibangun di atas genangan darah dan fondasi kebohongan. Mengangkatnya sebagai pahlawan adalah pengaburan terhadap sejarah Indonesia.
Advertisement
“Sejak naik hingga jatuh, kekuasaan Soearto adalah kisah pembunuhan berantai. Dari pembantaian massal 1965-66, pembunuhan aktivis 90-an, hingga pembantaian Talangsari. Perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan massal yang direncanakan pada 1998. Dia adalah penjahat kemanusiaan,” tulisnya dalam pers rilis.
Pegiat HAM Jogja, Tri Wahyu, menjelaskan tuntutan gerakan rakyat 1998 adalah adili Soeharto. “Kenapa hari ini tuntutan itu harus terus digelorakan, karena kami memandang Soeharto adalah penjahat kemanusiaan dan mewariskan korupsi, kolusi, nepotisme,” ujarnya.
BACA JUGA
Di Jogja, kasus terbunuhnya wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin pada 16 Agustus 1996 terjadi di bawah rezim otoriter Soeharto. “Yang akhirnya tidak tuntas kasusnya. Artinya sangat ironi kalau Soeharto pahlawan tapi keadilan tidak hadir untuk seorang rakyat seperti Fuad Muhammad Syafrudin,” katanya.
Hal yang sama juga terjadi dengan buruh Marsinah, yang terbunuh di bawah rezim Soeharto. “Marsinah memperjuangkan hak-hak normative buruh di perusahaannya, akhirnya terbunuh. Situasi waktu itu militerisme merepresi rakyat,” ungkapnya
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Januardi Husin, mengatakan di masa Soeharto, pers dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Suara-suara yang berseberangan dari jurnalis, seniman, aktivis, maupun mahasiswa, dipaksa diam melalui ancaman, sensor, penangkapan, hingga kekerasan.
“Di ranah media, pembungkaman dilakukan secara sistematis. Pers diwajibkan tunduk pada kontrol Departemen Penerangan, melalui instrumen seperti Surat Izin Usaha Penerbitan Pers yang sewaktu-waktu dapat dicabut bila pemberitaan dianggap mengganggu stabilitas nasional,” kata dia.
Sejumlah media diberedel pada masa Orde Baru, seperti Majalah Tempo, Harian Kompas, koran Sinar Harapan, koran Merdeka, Pelita, The Indonesian Times, dan Sinar Pagi. Beberapa jurnalis dipenjara seperti Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo karena tuduhan membuat organisasi illegal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
5 Air Terjun Terindah dari Jawa hingga Sumatra, Pesonanya Bikin Takjub
Advertisement
Berita Populer
- Beredar di Kota Jogja, Ratusan Batang Rokok Ilegal Disita Petugas
- Rapat ASN Semua OPD Kulonprogo Tanpa Snack di 2026
- Sampah di Sleman Tembus 10.300 Ton, 2 Ribu Ton Jadi Residu
- Gunungkidul Siapkan Pelaksanaan Tes Kompetensi Akademik SD-SMP
- Rusunawa Graha Bina Harapan Bocor, Hasto Minta Segera Diperbaiki
Advertisement
Advertisement




