Advertisement

Mahalnya Biaya Politik Dinilai Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah

Lugas Subarkah
Senin, 08 Desember 2025 - 18:37 WIB
Maya Herawati
Mahalnya Biaya Politik Dinilai Jadi Akar Korupsi Kepala Daerah Foto ilustrasi biaya politik. / Antara

Advertisement

Harianjogja.com, Sleman—Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Bidang Tata Kelola Kebijakan Publik, Gabriel Lele, menegaskan bahwa mahalnya biaya politik menjadi faktor kuat yang mendorong kepala daerah terjerat korupsi sejak awal masa jabatan.

Sepanjang Agustus–November 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tiga kepala daerah yang terdiri atas para gubernur dan bupati yang diketahui belum setahun menjabat. Fenomena ini dinilai sebagai dampak mahalnya biaya politik.

Advertisement

Ketiga kepala daerah tersebut meliputi Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis; Gubernur Riau, Abdul Wahid; dan Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko. Berdasarkan catatan KPK, sebanyak 51% dari kasus korupsi yang mereka tangani berasal dari pejabat daerah. Sepanjang 2004–2024 ada sebanyak 167 kepala daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi.

Menurut Gabriel motif utama yang memungkinkan para pejabat melakukan tindak pidana korupsi adalah mahalnya biaya politik ketika pencalonan dan kurangnya perlakuan adil negara dalam memperlakukan kesejahteraan kepala daerah.

“Untuk mengembalikan dana yang telah mereka gunakan dalam pencalonan. Sebagian kepala daerah pembiayaannya bukan ditanggung partai tetapi mayoritas harus mencari sendiri,” ucapnya, Senin (8/12/2025).

Pemerintah sebenarnya telah melakukan beberapa upaya untuk menurunkan tindak korupsi. Pertama dengan mengubah sistem kepartaian dari partai massa menuju partai kader. Partai kader umumnya memiliki ideologi yang jelas serta anggota yang tetap.

Kedua, pembiayaan politik untuk persiapan kampanye ditanggung oleh negara dengan risiko bahwa dana tersebut akan digunakan sebaik-baiknya. Selain dari pemerintah, idealnya masyarakat memutuskan memilih seseorang atau sebuah partai karena pertimbangan programatik calon pemimpin, bukan karena hal lain seperti politik uang.

“Kalau publiknya mau berani menolak serangan fajar misalnya, bantuan-bantuan tidak jelas dengan motif politik, saya kira partai politik juga akan memikirkan kembali hal tersebut,” katanya.

Bagi Gabriel, untuk menekan korupsi para kepala daerah, kuncinya pada kesadaran politik atau pendidikan politik masyarakat. Selama mayoritas masyarakat masih terhimpit kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah, tidak akan ada perubahan.

Dengan meningkatkan kesadaran politik, maka masyarakat semakin sadar bahwa suara mereka itu penting dan tidak bisa diperjualbelikan. “Yang berhak mendapatkan suara mereka adalah calon pemimpin yang memiliki program yang jelas,” ujarnya.

Sementara dari sisi pengawasan tindak kecurangan pemilu, Gabriel mengaku belum memiliki kepercayaan yang tinggi dalam penguatan pengawasan kecuali bentuk kecurangan itu langsung ditindak pidana dan dikategorikan sebagai pidana pemilu.

Pasalnya, sistem penegakan hukum di Indonesia masih sangat lemah sehingga pencegahan akan lebih efektif dibandingkan pengawasan. “Saya tetap meletakkan harapan pokok itu pada rakyatnya, bukan pada pemimpinnya,” tegasnya.

Gabriel menegaskan kembali bahwa akar persoalan korupsi kepala daerah tidak lepas dari mahalnya biaya politik yang terus membebani pejabat sejak proses pencalonan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Jogja Paling Diminati dalam Prediksi Mobilitas Nataru 2025

Jogja Paling Diminati dalam Prediksi Mobilitas Nataru 2025

News
| Senin, 08 Desember 2025, 18:17 WIB

Advertisement

Wisata Petik Melon Gaden Diserbu Pengunjung saat Panen Perdana

Wisata Petik Melon Gaden Diserbu Pengunjung saat Panen Perdana

Wisata
| Minggu, 07 Desember 2025, 12:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement