LONG-FORM: Menjadi Entrepreneur Dunia-Akhirat ala Suciati Saliman
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Nama Suciati Saliman mungkin masih asing bagi sebagian besar warga Jogja, tetapi tidak bagi warga kota Sleman dan sekitarnya. Namanya kini terpatri sebagai nama sebuah masjid yang cukup ikonik dan instagrammable, di ruas Jalan Gito-Gati di timur Lapangan Beran.
Advertisement
Suciati Saliman (Harian Jogja/Irwan A. Syambudi)
Merintis usahanya dari nol, dengan berjualan lima ekor karkas ayam kampung di Pasar Terban, Jogja, Suciati membuktikan bahwa kerja keras, keuletan, dan kegigihan merupakan modal utama dalam mengembangkan usaha yang sekarang menjelma sebagai imperium bisnis. Kini, usahanya merambah produk makanan olahan.
Dia adalah tipe entrepreneur sejati yang mampu mengubah bentuk usaha sederhana menjadi multiusaha nan kompleks. Kelompok usaha yang dikendalikannya bergerak dari ke hulu dan ke hilir. Ke hulu, dia berbisnis pemotongan ayam secara manual kelas rumahan yang di kemudian hari berkembang jauh hingga dia memiliki Rumah Potong Ayam (RPA) modern yang diberi nama RPA Saliman dengan brand ayam SR.
Untuk memperkuat lini usahanya, bisnis daging ayam yang dikembangkannya itu diperkuat dengan sertifikasi Halal MUI dan NKV (Nomor Kontrol Veteriner). Tidak berhenti begitu saja, pada 2009 dia mendirikan RPA Suci Raharjo di Jombang, Jawa Timur.
Adapun ke hilir, usaha yang bermula dari jualan daging ayam di pasar tersebut bertransformasi menjadi bisnis makanan olahan berbasis daging—terutama ayam dan sapi—berskala nasional, dan tak cuma merambah pasar tradisional, melainkan hadir di sejumlah gerai berbagai supermarket dan pasar swalayan.
Selanjutnya, pada 2014, Suciati mendirikan PT Sera Food Indonesia yang memproduksi makanan beku (frozen food) melalui brand Hato dan oOye.
Untuk menjamin proses produksi, kesemuanya pun tersertifikasi Halal MUI dan MD BPOM. Kedua brand itu menjual makanan olahan beku seperti nugget, sosis, bakso, patties, spicy wing, fillet, dan lain-lain. Kini, produk ayam maupun frozen food telah terdistribusi di seluruh Indonesia baik di pasar modern maupun pasar tradisional.
Di kalangan peternak setempat, nama Suciati Saliman pun sangat dikenal dengan baik, karena menampung hasil produksi mereka, juga menyediakan sarana produksinya (day-old chic/DOC dan pakan ternak). Suciati merupakan nama pemberian orang tuanya. Masyarakat sekitar lebih mengenalnya sebagai Bu Saliman, yang merupakan nama almarhum sang suami, Saliman Riyanto
Raharjo.
Hubungan bisnis yang terjalin sebagai inti-plasma itu tentu sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat. Dari pola usaha seperti ini, terbentuk hubungan saling menguntungkan antara inti dan plasma, selain strategi produksi makanan olahan yang ditempuhnya.
Dengan sejumlah fasilitas produksi yang didirikan di kawasan yang sekaligus menjadi pusat usahanya, warga setempat tentu saja merasa diuntungkan, karena sebagian besar dari mereka dapat terserap sebagai tenaga kerja tanpa harus jauh-jauh menempuh jarak ke tempat kerja.
Suciati berprinsip ingin sebanyak-banyaknya memberi manfaat bagi orang lain, dan cara yang dipandangnya efektif adalah melalui pembangunan sejumlah pabrik makanan olahan. Selain dapat menampung tenaga kerja yang berasal dari masyarakat Sleman di sekitar pabrik, upaya itu sekaligus sebagai strategi bisnis Saliman Group mengembangkan sayap bisnis ke arah hilir. Dia membeberkan kepada media bahwa pembuatan pabrik SFI tidaklah mudah.
Obsesi Lama
Akan halnya masjid baru yang mengambil inspirasi Masjid Nabawi di Madinah, kepada sejumlah media saat peresmian awal bulan ini, Suciati mengakui keinginan membangun masjid tersebut sudah diimpikannya sejak dia masih duduk di bangku SMP pada pertengahan 1960-an.
Masjid empat lantai yang dibangunnya itu sebagian besar dibiayai dari hasil tabungan pribadi. Dia kekeuh untuk tidak menyebutkan berapa angka pasti anggaran pembangunan masjid yang memadukan unsur Jawa ke struktur masjid bercorak Timur Tengah itu, sambil menambahkan bahwa beberapa rekan dekatnya juga ikut memberikan bantuan.
Mengingat masjid tersebut berlokasi di jalur alternatif menuju Kota Jogja dan beberapa tempat wisata di DIY, masjid ini dirancang senyaman mungkin bagi pengguna jalan yang melintas dan memerlukan tempat ibadah yang representatif.
Masjid ini direncanakan oleh pengelola memiliki jam operasional 24 jam tanpa henti, berada di dalamnya berasa sejuk karena selain berlokasi di kawasan yang memang berketinggian cukup—di kaki Gunung Merapi—juga dilengkapi dengan pendingin ruangan.
Tak hanya itu, demi memberikan kemudahan bagi lansia, kaum difabel atau jemaah yang sedang sakit, masjid yang didirikan di atas lahan seluas 1.700 meter persegi ini juga dilengkapi dengan lift.
Dari sisi desain, masjid ini memadukan desain khas Masjid Nabawi di Madinah yang terutama tercermin dari desain kelima menaranya yang khas itu. Ornamen pada bangunan bernuansa emas serta dinding marmer membuat masjid ini mencerminkan kemegahan dan kemewahan.
Pengunjung merasa seolah-olah sedang berada di kaki-kaki menara Masjid Nabawi, sehingga akan tergoda untuk ber-selfie ria. Sementara itu, unsur Jawa dimasukkan dalam bentuk atap masjid bercorak joglo.
Pintu masjid Suciati Saliman berjumlah sembilan buah yang menggambarkan jumlah Wali Sanga, perintis penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Menara menjulang tinggi berjumlah lima unit melambangkan Rukun Islam kedua, yakni mengerjakan salat lima waktu.
Menurut pengakuan Suciati kepada sejumlah media saat peresmian, dia memang sangat senang berumrah. Dalam setahun bisa berangkat dua hingga tiga kali, sehingga tidak mengherankan jika dirinya terobsesi untuk membangun masjid dengan desain yang menyerupai Masjid Nabawi itu.
Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid dengan daya tampung keseluruhan sekitar 1.000 jamaah ini juga dilengkapi dengan ruangan pertemuan yang dapat digunakan untuk acara resepsi pernikahan maupun keperluan pertemuan lainya.
Interior Masjid Suciati. (Harian Jogja/Irwan A. Syambudi)
Masjid Suciati dilengkapi bedug berukuran 170 cm dan diameter 130 cm terbuat dari kayu trembesi utuh berusia 127 tahun asal Majalangka. Bedug—ciri khas yang hanya terdapat di sejumlah masjid tradisional di Jawa—dibuat oleh perajin di Cirebon, menggambarkan sebagai penanda waktu salat.
Masjid Suciati Saliman terdiri dari tiga lantai dan satu basement. Lantai pertama merupakan aula serbaguna, lantai kedua dan ketiga tempat salat berjamah. Adapun, basement digunakan untuk menyimpan perlengkapan sebagai penunjang kegiatan di Masjid.
Pola entrepreneur Suciati ini merupakan perpaduan ideal untuk memperoleh dua keuntungan, yakni keuntungan materi di dunia dan keuntungan nonmateri yang akan bermanfaat bagi kehidupan di akhirat kelak.
Model entrepreneurship ini menjadi dambaan kaum muslimin di manapun mereka berada, karena menjanjikan jaminan kehidupan yang menyenangkan di saat sekarang maupun nanti, bukan model kehidupan yang ditempuh para teroris sesat itu. Output yang mereka hasilkan hanyalah kerugian di dunia dan akhirat pula.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Bawaslu Bakal Terapkan Teknologi Pengawasan Pemungutan Suara di Pilkada 2024
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Selamatkan Petani karena Harga Cabai Anjlok, Pemkab Kulonprogo Gelar Bazar dengan Harga Tinggi
- Kantor Imigrasi Yogyakarta Catat 26.632 Turis Asing Masuk Yogyakarta via YIA pada Agustus-Oktober 2024
- Bawaslu dan KPU Kulonprogo Bersiap Masuki Masa Tenang dan Pemilihan
- Terdampak Bencana Hidrometeorologi, TPS di Bantul Boleh Pindah Saat Hari Coblosan
- Proyek Taman Jalan Affandi Ditargetkan Rampung Awal Desember, Ini Jenis Pohon yang Ditanam
Advertisement
Advertisement