Advertisement

FEATURE: Bagi Siswa Tunanetra, Braille Alfabet Saja Tak Cukup

Salsabila Annisa Azmi
Selasa, 15 Januari 2019 - 08:35 WIB
Maya Herawati
FEATURE: Bagi Siswa Tunanetra, Braille Alfabet Saja Tak Cukup Janu Arlinwibowo membimbing siswa tunanetra di SMK Yaketunis menggunakan penggaris taktual rancangannya/Harian Jogja - Salsabila Annisa Azmi)

Advertisement

Harianjogja.com, JOBJA—Siswa tunanetra selama ini belajar membaca menggunakan braille huruf alfabet. Namun secara keseluruhan proses belajar mengajar alat ajar lain sangat dibutuhkan mereka. Sayangnya alat-alat ajar selain braille banyak yang masih impor dan harganya mahal. Berikut ini ulasan wartawan Harian Jogja, Lajeng Padmaratri dan Salsabila Annisa Azmi.

Setiap Rabu selepas waktu salat zuhur belasan siswa tunanetra di SLBN 1 Bantul akan berkumpul untuk belajar mengaji menggunakan Alquran braille. Alat ajar yang satu ini disediakan sekolah melengkapi ketersediaan braille untuk belajar alfabet.

Advertisement

Tak cuma itu saja menurut Koordinator Jurusan Tunanetra SLBN 1 Bantul, Abdul Adzhim, siswa tunanetra di jenjang sekolah dasar juga belajar menggunakan busur dan penggaris taktual.

Alat ajar di sekolah ini juga banyak yang sudah berbasis teknologi, seperti kaset rekaman audio, mesin ketik hingga printer braille.

"Barang-barang untuk alat ajar difabel biasanya masih impor. Hal itu terlalu mahal kalau mau pesan sedikit. Karena terlalu mahal ini kami alihkan ke bikin sendiri. Kalau lokal biasanya yang sederhana, seperti busur dan penggaris itu," ujar Abdul kepada Harian Jogja belum lama ini.

Mahalnya alat ajar impor untuk tunanetra itu yang kemudian menjadi salah satu pendorong bagi  Janu Arlinwibowo, 28, untuk merancang. Ia yang saat ini sedang menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pernah mengembangkan alat ajar yang bisa digunakan tunanetra untuk belajar matematika, antara lain penggaris taktual, busur taktual, neraca pegas, gelas ukur dan puzzle untuk tunanetra.

"Mengonversi dari bentuk visual jadi bentuk taktual. Simbol-simbol di busur dan penggaris biasa itu saya konversi jadi taktual. Taktual itu bisa diraba, bisa timbul," jelas Janu saat ditemui di sela-sela perkuliahannya di UNY beberapa waktu lalu.

Sedangkan, untuk alat ajar neraca pegas dan gelas ukur benar-benar diubah. "Kalau neraca pegas itu bentuknya kita rombak, kalau gelas ukur sistemnya kita rombak," ujarnya.

Menurutnya, alat-alat ajar untuk tunanetra perlu dimodifikasi dalam beberapa cara. Cara yang pertama bisa langsung digunakan oleh tunanetra, kedua perlu dimodifikasi dari visual menjadi taktual. Yang terakhir perlu mengubah bentuk alat supaya bisa aksesibel bagi tunanetra, maupun keempat yang perlu mengubah sistem alat ajar.

Keberadaan alat peraga, menurut Janu dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa difabel karena bisa setara dengan teman-temannya yang lain yang juga menggunakan alat serupa. "Sebelumnya kan terbatas. Mengukur sudut enggak bisa, jadi bisa. Ngukur panjang enggak bisa, jadi bisa. Itu bikin motivasi belajar meningkat," ujarnya.

Bagi Janu, braille saat ini masih sebatas dimanfaatkan dalam bentuk tulisan. Padahal ada hal lain yang bisa dimodifikasi supaya dimanfaatkan tunanetra untuk belajar. "Teman-teman difabel netra sekarang daripada baca, lebih senang cari literatur online untuk di-voice-kan," kata dia. Pemahaman untuk bisa mengoperasikan alat-alat itu akan membawa kemandirian bagi difabel.

Selain bahan ajar matematika, bahan ajar lain yang berkembang antara lain Alquran braille. SLBN 1 Bantul adalah salah satu pengguna Alquran braille. Selain itu, sebagai sekolah luar biasa, di sini terdapat berbagai bahan ajar yang berupa permainan yang bisa digunakan oleh para siswa.

Tantangan Lain

Mengajari siswa belajar selain braille alfabet membutuhkan ketelatenan tersendiri. Wali kelas 3 Sekolah Dasar SLB A Yaketunis Jogja, Dwi Nugroho mengatakan sebelum mendapatkan Alquran braile, siswa tunanetra juga harus menghadapi tantangan. Yaitu belajar kepekaan perabaan dengan meraba berbagai benda berukuran kecil. “Itu untuk memperkuat kemampuan indra perabaannya, biasanya dengan meraba biji-bijian kecil seperti biji kacang panjang, biji kacang, dan jagung, kemudian mereka suruh membedakan. Ada juga meraba tekstur kain, terus mereka harus sebutkan itu kain apa saja. Kalau sudah bisa, berarti mereka siap membaca Alquran braile,” kata Dwi.

Dalam mendampingi siswanya, Dwi mengaku harus sabar, dia sebagai tunanetra paham betul bahwa kemampuan motorik anak didiknya berbeda-beda. Jika ada gangguan motorik pada seorang anak, maka pembelajaran Alquran braille akan memakan proses lebih panjang. Sebab untuk meraba benda-benda di atas mereka butuh waktu berbulan-bulan.

“Macam-macam, ada yang sudah bisa langsung nulis arab, ada yang baru bisa baca, ada yang enggak bisa sama sekali walau sudah berbulan-bulan karena memang ada gangguan motorik, itu tantangannya, kami sebagai guru harus sabar, jangan sampai mereka patah semangat, mereka harus bisa Alquran braile,” kata Dwi.

Pengadaan Alquran braille yang terkadang langka juga menimbulkan fenomena baru di SLB A Yaketunis. Beredar hoaks lewat Whatsapp di ponsel para siswa tentang pengadaan Alquran braille gratis di suatu penerbit. Mereka pun berbondong-bondong pergi ke penerbit tersebut untuk mengantre Alquran braille.

Betapa mirisnya hati Dwi, saat tahu ternyata para siswanya dibohongi. Dwi menghimbau kepada semua penerbit agar jangan sampai hal itu terulang lagi. Sebab siswa tunanetra sudah menghadapi berbagai tantangan sebelum akhirnya bisa membaca Alquran braille.

“Mungkin kelangkaan itu, jalan satu-satunya yayasan tunanetra dan badan tunanetra seperti Pertuni itu mengajukan bantuan ke pemerintah, bisa juga ke swasta. Kemarin pertuni juga dapat bantuan dari pensiunan Telkom, itu hanya lima set Alquran braille. Kami distribusikan ke perorangan yang butuh. Kalau dari pemerintah, jujur saja sulit sekali dapatnya, biasanya kami dapatkan dari penerbit luar kota yang milik pemerintah,” kata Dwi.

Di Jogja, penerbit pelopor Alquran Braille adalah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis). Sekretaris Yaketunis Jogja, Wiyoto, menjelaskan perjalanan panjang Alquran braille untuk masuk ke Jogja.

Mula-mula Alquran braille masuk ke Indonesia pada 1958, Alquran itu dikirim dari Yordania ke Departemen Sosial. Setelah itu Alquran braille yang hanya satu set, yaitu 30 buku yang masing-masing memuat satu juz, dikirim ke Panti Tunanetra Citajaya milik Departemen Sosial. Panti ini dulunya terletak di Jalan Margoutomo.

“Alquran braille itu diterima oleh Supardi Abdul Somad selaku pihak panti, beliau ingin mengangkat harkat martabat tunanetra dengan menyetak dan menyebarkan Alquran braille lebih banyak lagi, kemudian sebagai pemenuhan syarat beliau disarankan membentuk yayasan oleh Perpustakaan Islam Yogyakarta yang dulunya ada di Jalan Margoutomo,” kata Wiyoto.

Pada 1964 Yaketunis resmi dibentuk dengan formasi awal. Setelah pada 1968 mendirikan sekolah-sekolah yayasan, pada 1967 setelah membuat pedoman Alquran braile, Yaketunis dapat mencetak dan mendistribusikan Alquran braille ke seluruh Indonesia.

“Kalau sekarang di Jogja kami menerbitkannya untuk perorangan, dana kan terbatas ya, jadi kalau ada yang pesan saja. Jadi bisa di bawa ke mana pun tunanetra bersekolah, contohnya di SLB Negeri 1 Bantul, SLB Negeri 2 Sleman, dan SLB A Yaketunis,” kata Wiyoto.

Namun diakui Wiyoto, penerbitan Alquran sering menemui kendala bahan baku. Sebab bahan baku kertas yang tebal untuk mencetak braille sangat langka. Kelangkaan itu menyebabkan harga satu set Alquran braille (30 juz) mencapai Rp6 Juta. Di mana harga tersebut tidak terjangkau jika dibeli perorangan.

Wiyoto mengatakan dalam hal ini mereka dapat mengajukan bantuan ke Departemen Sosial, namun seringnya proses itu memakan waktu yang panjang. Bahkan terkadang dana bantuan tidak bisa turun. “Kalau di Bandung ada penerbit milik pemerintah, jadi mereka lebih berkapasitas menerbitkan banyak karena dananya ada. Kami juga sering ditanyakan oleh penerbit-penerbit itu soal kebutuhan braile, biasanya kami juga bisa dibantu dari sana,” kata Wiyoto.

Kesulitan lain ditemukan Wiyoto saat siswa tunanetra mengeluhkan minimnya akses Alquran braille dan menunggu lama untuk mendapatkan Alquran braille dari penerbit. Wiyoto mengatakan sebaiknya setiap perpustakaan di Jogja dapat menerima ruang untuk menyimpan Alquran braille, sehingga siswa tunanetra hanya butuh meminjam dan tidak mengeluarkan banyak biaya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber : Lajeng Padmaratri

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Cak Imin Tetapkan Kriteria Calon Kepala Daerah yang Diusung PKB

News
| Sabtu, 20 April 2024, 21:17 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement