Advertisement

Promo November

Cerita di Balik Tradisi Ruwatan Murwakala

Salsabila Annisa Azmi
Minggu, 28 Juli 2019 - 19:17 WIB
Budi Cahyana
Cerita di Balik Tradisi Ruwatan Murwakala Shinta Mardika Utami disiram saat mengikuti Ruwatan Murwakala di halaman Kantor Harian Jogja, Sabtu (27/7/2019) malam. - Harian Jogja/Gigih M. Hanafi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA - Berbagai harapan dibawa oleh puluhan peserta Tradisi Ruwatan Murwakala yang digelar oleh Harian Jogja dan Dinas Kebudayaan Kota Jogja di halaman Kantor Harian Jogja, Sabtu (27/7/2019) malam. Mereka berharap ritual Ruwatan Sukerta dapat membentengi mereka dari hal negatif yang dekat dengan urusan bisnis, jodoh, keselamatan anak, hingga hal gaib yang selalu menguntit. Berikut laporan wartawan Harian Jogja, Salsabila Annisa Azmi. 

Selama 21 tahun menjalani hidup, Shinta Mardika Utami merasa dirinya bukan manusia normal. Setiap malam saat dia sudah menyelami alam mimpi, selalu ada bisikan-bisikan gaib yang mengingatkannya untuk mematikan lampu kamarnya. Saat dia berjalan ke sudut-sudut gelap perkotaan bahkan lapangan parkir kampusnya, seluruh tubuhnya merasakan panas bara api, bahkan dingin seperti es.

Advertisement

Saat seluruh badannya merasakan panas dingin tak menentu itulah, biasanya bikan-bisikan gaib memenuhi telinganya. Ada yang minta tolong, ada pula yang minta diantar pulang. Jika sudah begitu, Shinta hanya bisa berdoa sambil tutup telinga. Semakin bertambah umur, kejadian itu semakin jarang terjadi, hanya berubah bentuknya. 

Shinta yang sehari-hari kuliah di Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja ini kemudian mengetahui informasi acara Ruwatan Murwakala di Harian Jogja dari seorang rekannya yang tinggal di Semarang, Jawa Tengah. 

"Saya tahunya malah dari teman saya yang di Semarang kalau ada Ruwatan Murwakala. Jujur, dengan kejadian begitu, saya selak pengin ruwatan. Tadinya saya berencana gelar ruwatan di rangkaian acara nikah saya nanti. Eh, tapi enggak tahu nikahnya kapan, kebetulan ada ini ya sudah ikut saja," kata Shinta.

Sabtu malam di tengah musik gamelan yang mulai mengalun, Shinta memamerkan kebaya kuning dan jarit cokelat kesukaannya. Shinta membaca di Internet, pakaian yang dikenakan dalam menjalani tradisi Ruwatan Murwakala harus pakaian yang paling disukainya. Kebaya kuning pemberian orang tuanya adalah pakaian favoritnya. Bercerita soal kebanya membuat Shinta ingat akan nenek buyutnya. 

"Sebenarnya selain bisa mendengar bisikan gaib, saya juga dititipi dua jin pemberian nenek buyut saya. Mereka tidak jahat sih, cuma suka usil bangunin saya tadi. Mereka malah suka melindungi saya. Cuma ya gitu, saya merasa jodoh saya jadi kurang lancar. Kayaknya gara-gara mereka," kata Shinta sambil tertawa kecil dan menengok ke sisi kanan dan kirinya.

Sebelum datang ke acara Ruwatan Murwakala, Shinta telah berdiskusi dengan seluruh keluarganya dan meminta izin mereka. Dia menjelaskan alasannya ingin ikut ritual tradisional ini. Kepada ayah dan ibunya, Shinta berkata dia ingin kedua jin yang selalu mengikutinya itu tidak usil. Jadi tidak harus menghilang karena kata nenek buyutnya, itu tidak mungkin.

Shinta diantar sahabatnya di kampus untuk datang dalam ritual ini. Sejenak Shinta minta difoto di depan banner acara Ruwatan Muwakala. Setelah puas berfoto dan mengirim foto pada ayah dan ibunya, Shinta mengutarakan maksud lain dari partisipasinya. "Sekalian nguri-uri budaya sebagai generasi muda," kata dia.

Tak hanya Shinta. Puluhan peserta juga membawa banyak harapan. Setelah mengikuti ritual, mereka ingin rezeki mereka lancar, anak mereka rukun, hingga ingin anak mereka dimudahkan urusan sekolahnya.

Ritual ini tak hanya menarik perhatian para warga lokal, namun juga warga negara asing. Salah satunya Tomasz Kobylinski, warga negara asal Polandia. Kepada Harian Jogja, Tomasz mengatakan dia diajak oleh salah satu kawannya untuk menonton ritual Ruwatan Murwalala. 

"Dia jelaskan ke saya, ini gamelan dan wayang. Kalau gamelan dan wayang saya sudah tahu lama, tetapi ritual buang sial ini baru pertama kali saya tahu. Saya sangat tertarik, saya ambil foto dan video banyak, akan saya beri tahu teman-teman saya di Polandia," kata Tomasz.

Evolusi Mental

Sang pengruwat, Joko Santosa, mengatakan ritual ini merupakan ritual untuk berbagai tujuan. Tak hanya untuk membebaskan anak yang masuk dalam daftar sukerta dari berbagai hal negatif, ritual ini juga dipercaya bisa untuk membuang sial dari hidup para pesertanya. Proses pembuangan sengkala atau hal negatif salah satunya dilalui dengan refleksi diri melalui cerita pewayangan Batara Kala.

Disebutkan dalam cerita pewayangan, Batara Kala lahir dari perbuatan dosa Batara Guru dan Batara Uma di atas lembu. Batara Kala lahir sebagai raksasa menyeramkan yang ditakuti semua makhluk. Menurut Joko cerita tersebut merupakan refleksi untuk kehidupan masa kini bahwa keluarga merupakan benteng pertama untuk melindungi anak dari berbagai hal negatif. Selain itu, orang tua harus merawat luka yang mereka wariskan pada anak mereka.

Luka tersebut bisa berbentuk luka batin yang tidak disadari, atau bahkan jin warisan nenek moyang. Semua bisa dibersihkan melalui ritual ini.

"Tradisi ini merupakan evolusi mental. Artinya pembenahan mental secara perlahan dan dengan cara yang disenangi masyarakat. Kalau dilakukan semakin sering, akan lebih baik," kata Joko sebelum melalukan ritual ruwatan.

Selain itu, Joko mengatakan digelarnya Ruwatan Murwakala di Harian Jogja juga bisa membantu para generasi muda untuk kembali pada akar budaya Jawa. Layaknya permainan tradisional, ritual tradisional pun harus dilestarikan.

Setelah ritual selesai, seluruh pakaian peserta yang telah basah saat ritual mandi bunga akan dilarung di sungai atau pantai. Ritual tersebut menggambarkan sengkala atau sukerta yang dilenyapkan dari diri peserta dan dari bumi. 

Kepala Bidang Adat Seni dan Tradisi Dinas Kebudayaan Kota Jogja, Adi Murti Wulandari mengatakan sangat mengapresiasi Harian Jogja yang telah berpartisipasi menggelar acara tradisi Ruwatan Murwakala. Menurut Wulan, acara tradisional yang digelar saat ini bisa membantu generasi muda kembali pada akar budaya mereka.

"Hanya saja saya berpesan, agar tradisi kebudayaan ini juga direfleksikan dalam kehidupan beragama dan bersosial masing-masing. Tetap kembali kepada Yang Maha Kuasa," kata Wulan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

BPJS Ketenagakerjaan Tingkatkan Sinergi PLKK untuk Pelayanan Kecelakaan Kerja yang Lebih Cepat

News
| Sabtu, 23 November 2024, 05:57 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement