Advertisement

Gagasan NKRI Bersyariat Bermuatan Politis

Herlambang Jati Kusumo
Rabu, 20 Februari 2019 - 12:10 WIB
Laila Rochmatin
Gagasan NKRI Bersyariat Bermuatan Politis Dosen senior Fakultas Hukum Universitas Monash Australia Nadirsyah Hosen saat menyampaikan orasi ilmiah dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-73 Fakultas Hukum (FH) UGM, di University Club UGM, Selasa (19/2/2019). - Harian Jogja/Herlambang Jati Kusumo

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Gagasan NKRI bersyariat dinilai hanya jargon politik, karena negara telah mengakomodasi konsep syariat. Ada ruang untuk agama di ruang publik, tetapi ada juga keterbatasan di saat yang sama.

Hal tersebut diungkapkan dosen senior Fakultas Hukum Universitas Monash Australia, Nadirsyah Hosen saat orasi ilmiah dalam Rapat Senat Terbuka Dies Natalis ke-73 Fakultas Hukum (FH) UGM, di University Club UGM, Selasa (19/2/2019).

Advertisement

Dikatakan dia, Indonesia merefleksikan suatu model hubungan antara negara dan agama. Model ini menawarkan hubungan antara multikulturalisme dan pluralisme hukum, di mana hukum syariat diadopsi ke dalam sistem hukum sekuler.

Pluralisme hukum akan beroperasi secara lalai karena umat Islam akan bebas untuk menerapkan syariat dalam kehidupan sehari-hari mereka sebagai perpanjangan dari hak konstitusional untuk kebebasan beragama.

“Jika diperlakukan dengan bijaksana, kecocokan agama dan konstitusionalisme dapat meningkatkan stabilitas politik. Politisasi agama seperti yang telah kita lihat baru-baru ini di Indonesia, akan menciptakan ketidakstabilan politik. Pluralisme agama mengakui dan berupaya mempromosikan hubungan yang harmonis antara agama dan negara,” kata Nadirsyah.

Ada tantangan nyata bagi Indonesia untuk mempertahankan keharmonisan di antara orang-orang beriman berdasarkan UUD 1945. Ada sejumlah orang yang berpikir resolusi untuk setiap masalah yang kontroversial adalah aplikasi sederhana dari aturan mayoritas. Artinya, apa pun yang diinginkan mayoritas orang adalah solusi terbaik.

Dibenarkan dia, demokrasi didasarkan pada mayoritas, tetapi masyarakat juga memiliki konstitusi yang melindungi hak-hak minoritas dan membatasi kemampuan mayoritas untuk beroperasi sesuai keinginan.

“Muslim di Indonesia, seperti halnya kelompok mayoritas lainnya di masyarakat mana pun, harus belajar bagaimana melindungi kelompok minoritas. Di bawah pendekatan ini, fleksibilitas hukum Islam dijamin, dan hak-hak konstitusional warga negara dijamin,” jelas Nadirsyah.

Menurut dia, hal itu adalah cara yang signifikan untuk menunjukkan kecocokan syariat dan konstitusionalisme tidak mengarah pada kekacauan politik atau menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Sebagai gantinya, justru melindungi kepentingan umum sebagai tujuan utama syariat.

Terlepas dari manfaat pluralisme agama, masih ada kekhawatiran akomodasi ini akan memungkinkan negara untuk mengganggu interpretasi agama. Nadirsyah berpendapat intervensi negara harus dilakukan hanya ketika ketertiban umum, kesehatan atau moralitas dalam risiko.

Sebagaimana pengalaman Indonesia menyoroti ketegangan antara nilai-nilai agama dan konstitusionalisme demokrasi dapat diselesaikan di pengadilan.
“Dengan demikian, independensi peradilan sangat penting untuk melindungi hak-hak hukum dan konstitusi semua warga negara dan memfasilitasi integritas pluralisme agama serta konstitusionalisme demokrasi,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

KPK Bidik LHKPN 2 Pejabat Pemilik Kripto Miliaran Rupiah

News
| Rabu, 24 April 2024, 01:17 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement