Advertisement
Menjelajah Dunia Mistik Dayak lewat Karya Apolaagan
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA- Notasi musik nuansa Dayak yang dimainkan sekitar 40 player dengan mengenakan kostum khas Dayak, lengkap dengan topi bulu burung Ruai dan tato etnik di sekujur tubuh, menggema di Concert Hall taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jumat (31/5/2019).
Konser ini merupakan tugas akhir mahasiswa Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Seni Pertunjukan ISI Jogja, bernama Alexander Ongki Anas Pralindo. Dalam pementasan tugas akhir ini ia memilih penciptaan musik dengan idiom sesuai tempat kelahirannya, Kalimantan Barat.
Advertisement
Karya itu berdurasi sekitar 20 menit, berjudul Apolaagan. Pria dengan nama panggung Ongki Matazai ini menjelaskan, dalam kebudayaan Dayak, apolaagan merupakan tempat transisi bagi arwah manusia setelah meninggal, sebelum pergi ke surga. “kalau ada hantu-hantu gentayangan, itu karena mereka tidak menemukan cahaya di apolagaan,” katanya.
Dalam kebudayaan Dayak, tato juga menjadi salah satu tradisi leluhur. Tato ini lah yang akan menjadi cahaya penunjuk bagi arwah di apolaagan. Maka dalam visualisasi karya Ongki, ia juga menampilkan beragam tato khas Dayak yang terpacak di tubuh para pemain.
Sesuai judul karya ini, suasana mistik begitu kental tertuang dalam pertunjukan malam itu. Ongki sukses mengombinasikan berbagai instrument musik mulai dari instrument etnik nusantara, perkusi, bahkan barat seperti biola dan akorden, membentuk alam mistisisme Dayak.
Pimpinan Produksi Tugas Akhir Apolagaan, Bangkit Yudha Prastya, menjelaskan dalam studi etnomusikologi, mahasiswa dituntut untuk mempelajari berbagai instrument musik dari seluruh Nusantara. Sebab itu Ongki memasukkan berbagai instrument di luar etnik Dayak, seperti Gambang dan kromong dari Jakarta, gong dan rebab dari Jawa, dan lainnya.
Meski demikian, setiap komposisi memiliki idiom yang membuat suasana musik tersebut harmoni. Alat music gitar jika dimainkan dengan idiom Jawa, maka suasana musiknya pun akan menjadi Jawa. “nah kalau Ongki ini menggunakan idiom Kalimantan Barat,” kata dia.
Selain komposisi musik, dalam pertunjukan ini Ongki juga melibatkan mahasiswa lintas disiplin ilmu, khususnya dari Fakultas Seni Pertunjukan, seperti mahasiswa tari, teater dan musik. Bangkit mengatakan dalam tugas akhir penciptaan, biasanya memang melibatkan banyak mahasiswa dari jurusan lain.
Di jurusan Etnomusikologi, mahasiswa diberi dua pilihan untuk menyelesaikan studinya, yakni penelitian dan penciptaan. Jika penelitian maka ia hanya akan meneliti karya orang lain. Sementara di penciptaan, mahasiswa harus menciptakan karya dan meneliti sendiri karyanya.
Pilihan kedua itu lah yang diambil Ongki. Kata Bangkit, tugas akhir penciptaan meski kerjaannya dobel dan jauh lebih berat dari segi tenaga dan dana, tapi mahasiswa bisa mendapatkan eksistensi dari sana. “Jadi ajang eksistensi mahasiswa,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Satuan Pendidikan Diwajibkan Memperhatikan Kebutuhan Siswa dengan Kondisi Khusus
Advertisement
Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali
Advertisement
Berita Populer
- Biro PIWPP Setda DIY Gencarkan Kampanye Tolak Korupsi
- Anggota DPR RI Sebut Perlu Ada Honor untuk Pengambil Sampah Rumah Tangga di Jogja
- BPBD DIY Mewaspadai Lonjakan Pembuangan Sampah ke Sungai Imbas TPA Piyungan Ditutup
- Warga Terluka Saat Berdesak-desakan Buang Sampah di Depo Purawisata Jogja
- Ramai Aksi Lempar Sampah ke Truk, Pemkot Jogja Sebut Kesadaran Warga untuk Buang Sampah Tinggi
Advertisement
Advertisement