Advertisement

EKS BIOSKOP INDRA: Catatan Merah Lelang Proyek Pusat PKL Malioboro

Bhekti Suryani
Rabu, 20 November 2019 - 07:07 WIB
Nugroho Nurcahyo
EKS BIOSKOP INDRA: Catatan Merah Lelang Proyek Pusat PKL Malioboro Sejumlah pekerja memasang lantai konblok pada sentra UKM di bekas lahan eks Bioskop Indra di Jalan Malioboro, Jogja, Jumat (15/11/2019). - Harian Jogja/Desi Suryanto

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Lebih dari Rp62 miliar anggaran yang bersumber dari dana keistimewaan (Danais) DIY digelontorkan untuk tiga paket proyek gedung relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) di lahan bekas bangunan Bioskop Indra, di salah satu sudut Jalan Malioboro, Jogja. Satu tender dalam salah satu tahap proyek dikerjakan secara kilat dan melabrak rambu-rambu tentang lelang cepat. Berikut laporan yang dihimpun wartawan harianjogja.com,  Bhekti Suryani.

Panjang Jalan Palagan Tentara Pelajar yang melintasi RT 05 Dusun Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman, DIY tak sampai 500 meter. Namun mencari plakat nama PT Matra Karya di jalan raya tersebut susahnya bukan main. Dua kali Harian Jogja menyisir jalan tersebut, tak satu pun ada gedung atau bangunan berplakat PT Matra Karya. Di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemda DIY, tertulis PT Matra Karya beralamat di Jalan Palagan Tentara Pelajar RT/RW 005/035 Jongkang, Sariharjo, Ngaglik, Sleman.

Advertisement

Salah satu gang kecil yang hanya muat dilewati satu mobil akhirnya jadi petunjuk pencarian alamat perusahaan berstatus usaha besar yang biasa menggarap proyek bernilai puluhan miliar itu. Papan nama Matra Karya masih tertempel di tembok kantor perusahaan yang dipimpin Bernadus Gatot Nurcahyono sebagai Direktur Utama itu. Bangunan kantor itu tak megah. Tak ada mobil atau alat berat di sekitar lokasi layaknya markas perusahaan konstruksi besar. Bangunan kantor menempel dengan Playgroup dan Penitipan Anak Rumah Ibu Yayasan Al-Kautsar.

Sudah setahun perusahaan itu tak lagi berkantor di Jalan Palagan Tentara Pelajar. Berpegang petunjuk warga sekitar, Harian Jogja akhirnya menelusuri alamat baru PT Matra Karya di Jalan Mangunnegaran Kidul, Panembahan, Kraton, Kota Jogja, September lalu. Di jalan ini pun kantor Matra Karya sudah kosong tak berpenghuni, hanya papan namanya belum dicabut.

Menurut warga sekitar, penghuninya sudah pindah sebulan sebelumnya. Setelah berpindah-pindah mencari alamat,  Harian Jogja bersama dua wartawan media lain, menemukan alamat baru PT Matra Karya di Jalan Ateka, Bangunharjo, Sewon, Bantul.

Kendati kantor perusahaan ini berpindah-pindah dan keberadaannya sulit dilacak, nama Matra Karya dalam dunia proyek konstruksi pemerintah di DIY tidak asing lagi. Perusahaan ini kerap memenangi proyek bernilai miliaran rupiah.

Merujuk aplikasi Opentender.net yang dikembangkan Indonesia Corruption Watch (ICW), nilai proyek yang digarap PT Matra Karya terus melonjak. Pada 2014, perusahaan ini tercatat hanya mengerjakan dua paket proyek konstruksi senilai Rp5,9 miliar. Setahun setelahnya nilai proyek yang digarap melonjak dua kali lipat hingga Rp10,47 miliar (4 paket proyek), naik lagi menjadi Rp39,8 miliar (6 paket) pada 2016, kemudian melonjak lagi menjadi Rp69,3 miliar (8 paket) pada 2017. Catatan terakhir pada 2018, perusahaan ini menggarap proyek total senilai lebih dari Rp109 miliar dari lima paket proyek. Hampir semua proyek yang dikerjakan berada di DIY.

Salah satu proyek besar yang digarap Matra Karya pada 2018 yakni pembangunan tempat relokasi PKL di lahan bekas gedung Bioskop Indra di salah satu sudut Malioboro yang merupakan jantung Kota Jogja. Matra Karya menggarap proyek paket pertama senilai Rp44 miliar alias paling besar untuk konstruksi gedung utama termasuk lapak kuliner di sekitar gedung utama. Adapun proyek tahap II senilai Rp15,1 miliar mengerjakan finishing proyek tahap I. Paket kedua ini dimenangi oleh PT Ardi Tekindo Perkasa. Proyek pertama dan kedua dibiayai dengan dana keistimewaan dalam APBD DIY 2018. Sedangkan proyek paket ketiga senilai Rp3 miliar dimenangi CV Setiabudi Jaya Perkasa. Proyek ketiga ini mengerjakan lanskap gedung relokasi PKL menggunakan APBD 2019.

Proyek paket pertama senilai Rp44 miliar yang dikerjakan Matra Karya dilelang pada Februari 2018 dan digarap dalam waktu sembilan bulan. Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan ESDM (DPUP EDSM) DIY menjadi leading sector proyek ini.

Dari atas: Bekas kantor PT Matra Karya di Palagan, bekas kantor PT Matra Karya di Panembahan, Kraton, dan kantor yang kini digunakan di Sewon, Bantul.

Keterangan foto dari atas: Bekas kantor PT Matra Karya di Palagan, Mangunnegaran, dan kantor yang digunakan di Bangunharjo, Sewon, Bantul. (Foto: Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Panitia lelang memilih metode lelang cepat dalam proyek eks Bioskop Indra. Peraturan Presiden (Perpres) No.4/2015 memang membuka peluang dilakukan lelang cepat untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perpres itu lantas didetailkan melalui Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Perka LKPP) No.1/2015.

Merujuk aturan tersebut, lelang cepat bisa dilaksanakan tanpa ada penilaian kualifikasi, administrasi, dan teknis serta tanpa pembatasan nilai proyek. Tidak ada sanggah dan banding dalam lelang cepat seperti halnya lelang umum yang memakan waktu berbulan-bulan. Sistem lelang cepat memangkas waktu lelang menjadi hanya sekitar sepekan. Namun bukan berarti semua proyek pengadaan barang dan jasa bisa seenaknya menggunakan metode ini.

Sesuai Pasal 4 Perka LKPP No.1/2015, lelang cepat tak membutuhkan kualifikasi teknis. Namun ada rambu-rambu dari LKPP yang mensyaratkan apakah sebuah pekerjaan bisa dilelang secara kilat atau tidak.

“Karena tidak membutuhkan kualifikasi teknis artinya itu yang dikerjakan pekerjaan standar, cara membaca aturannya [Pasal 4 Perka LKPP No.1/2015] seperti itu. Berarti kan [yang boleh lelang cepat] pengadaan barang yang sederhana atau yang standar. Kalau membutuhkan penilaian kemampuan teknis, enggak bisa menggunakan tender cepat,” terang Kepala Seksi Keterangan Ahli Pekerjaan Konstruksi LKPP, Mira Erviana.

Dalam sosialisasinya kepada publik, LKPP bahkan menyampaikan sejumlah kriteria atau rambu-rambu proyek pengadaan yang bisa menggunakan lelang cepat. Bertolak dari penafsiran Pasal 4 Perka LKPP No.1/2015, lelang cepat dimungkinkan untuk pekerjaan dengan spesifikasi atau metode teknis yang dapat distandarkan dan tidak perlu dikompetisikan, metode kerja sederhana, serta barang/jasa yang informasi spesifikasi dan harganya sudah tersedia di pasar.

“Kalau bukan bangunan sederhana, jelas tidak bisa lelang cepat,” tegas dia saat menyosialisasikan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah, Juli lalu.

Kepala Seksi Keterangan Ahli Barang dan Jasa LKPP, Mita Astari, menyatakan memang tidak ada sanksi administratif maupun pidana dalam Perka LKPP No.1/2015 jika pelaksana proyek melanggar rambu-rambu lelang cepat. Namun demikian, kata dia, pelanggaran aturan lelang cepat bisa berdampak buruk pada hasil pekerjaan proyek ke depannya.

“Pekerjaan yang harusnya dilakukan evaluasi teknis, tapi tidak dilakukan karena lelang cepat, bagaimana nanti kalau penyedia yang terpilih tidak kompeten? Bagaimana menjamin proyek ini bisa dikerjakan dengan benar? Jadi hasil pekerjaan konstruksi itu yang berisiko buruk,” tegas dia.

Di sisi lain, menurutnya Pokja lelang dan pegawai pemerintah yang menabrak rambu-rambu dan aturan lelang atau salah memilih metode lelang   yang berakibat munculnya dampak buruk pada hasil pekerjaan, bisa dikenai sanksi administratif yakni sanksi disiplin Aparatur Sipil Negara (ASN).

Para pemenang lelang tiga tahapan proyek Sentra PKL Maliobor eks Bioskop Indra.

Proyek Berisiko

Dari penelusuran Harian Jogja,  pengadaan tempat relokasi PKL di eks bangunan Bioskop Indra tercatat di urutan kelima proyek konstruksi paling berisiko terjadinya penyalahgunaan se-nasional, versi Opentender.net pada 2018.  Skornya 19. Situs penilai lelang pemerintah ini memberi skor 16-20 untuk proyek paling berisiko atau berada di zona merah.

Adapun untuk tingkat DIY, proyek yang dikerjakan PT Matra Karya itu berada di urutan pertama sebagai proyek paling berisiko. 

“Indikator kenapa berisiko antara lain nilai proyek besar tapi partisipasi pesertanya minim. Selain itu selisih antara HPS [harga perkiraan sendiri atau alokasi anggaran pemerintah] dengan nilai kontrak tipis alias tidak efisien. Indikator lainnya jumlah kontrak yang dimenangkan perusahaan tersebut, serta biasanya proyek yang dikerjakan di kuartal keempat juga menyumbang risiko tinggi,” jelas peneliti ICW Kes Tuturoong.

Proyek eks Bioskop Indra paket pertama senilai Rp44 miliar menjadi nilai paling besar di antara dua paket lainnya di lokasi serupa. Walau nilainya tertinggi di antara tiga paket tahapan, proyek sebesar ini minim peserta. Sesuai aturan lelang cepat, hanya penyedia atau kontraktor yang terdaftar di Sistem Informasi Kinerja Penyedia (Sikap) yang bisa mengikuti proyek ini. Sistem di Sikap otomatis mengundang penyedia yang layak ikut lelang saja. Namun hingga batas penawaran lelang, hanya PT Matra Karya yang menyodorkan penawaran harga dan akhirnya memenangi proyek.

Proyek itu pun lolos dengan nilai kesangkilan anggaran yang mepet. Dari HPS yang ditawarkan pemerintah senilai Rp44,054 miliar, proyek ini lolos dengan nilai kontrak sebesar Rp43,9 miliar. Pemda DIY hanya berhemat senilai Rp100,8 juta.

Selain bertengger sebagai proyek berisiko dan minim efisiensi, gedung tempat relokasi PKL tersebut nyatanya bukan bangunan sederhana alias standar, yang menurut versi LKPP boleh dikerjakan lelang cepat. Merujuk grand design bangunan yang dibuat DPUP ESDM DIY, tempat relokasi PKL itu dibangun empat lantai. Tiga lantai buat menampung lapak jualan sekitar 400-an pedagang pakaian, suvenir hingga makanan kering, dan satu lantai lagi sebagai basement.

Ahli Bangunan dari Fakultas Teknik UGM Azhar Saputra mengatakan, jika dilihat dari konstruksi, jumlah lantai, fungsi, dan lokasinya, bangunan di bekas Bioskop Indra itu bukan termasuk kategori sederhana “Kalau seperti itu [empat lantai] apalagi untuk fungsi perdagangan, tentu ada sistem penanganan kebakaran di sana, misalnya ada jaringan pipa hidran, pasti juga ada pengolahan limbahnya.Itu termasuk bangunan kompleks. Apalagi itu berada di area pusat keramaian,” kata putra ketiga budayawan Ahmad Tohari itu.

Kepala Bidang Cipta Karya DPUP ESDM DIY, Arief Azazie Zain, juga memaparkan lebih detail kompleksnya bangunan tempat relokasi tersebut. “Ada sistem pengolahan limbah di sana terutama untuk lapak kuliner, kami juga menerapkan ecobuilding [bangunan hijau] dengan adanya lanskap yang tahun ini dikerjakan,” kata Arief Azazie Zain.

Soal apakah gedung relokasi tersebut tergolong bangunan sederhana atau tidak, Arief memberikan penegasan. “Jelas itu bukan bangunan sederhana. Kalau sederhana itu hanya dua lantai, kalau lebih dari 500 meter persegi jelas bukan sederhana. Aturan itu ada di Permen PU No.22/2018 soal bangunan [tentang pembangunan bangunan gedung negara],” kata  dia.

Kendati demikian, ihwal pemilihan metode lelang cepat untuk bangunan yang tidak sederhana sehingga menabrak rambu-rambu lelang cepat dari LKPP, Arief berkelit itu bukan tanggung jawab lembaganya. “Kami hanya membuat desain bangunan, yang melelang Bagian Pengadaan [Bagian Layanan Pengadaan(BLP) Biro Administrasi Pembangunan Setda DIY]. Biasanya yang memutuskan mekanisme lelang di Pokja [kelompok kerja] lelang yang ada di bawah BLP, meski unsur dari Pokja juga ada yang dari DPU,” jelas dia.

Arief mengatakan tak ada alasan khusus dari DPUP ESDM selaku pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek di lokasi eks Biskop Indra untuk memilih lelang cepat. Proyek tersebut, kata dia, mengalir begitu saja seiring program Pemda DIY merevitalisasi kawasan Malioboro.

Kepala Pokja Proyek Tahap I eks Bioskop Indra, Muhammad Fathurahman, mengklaim lelang cepat dipilih demi mempercepat pembangunan. Pilihan lelang cepat diputuskan melalui diskusi Pokja lelang.

“Agar di awal tahun bisa selesai [2019], toh waktu penyelesaiannya juga on time,” kata Fathurahman. Di sisi lain, menurutnya aturan lelang cepat sangat longgar. Di luar DIY, lelang model demikian menurutnya sudah banyak diterapkan.

Dia mengatakan dalam lelang cepat proyek tahap satu Bioskop Indra, Pokja tak mengetahui siapa saja pendaftar yang terundang oleh sistem, karena sistem di Sikap tak memperlihatan identitas penyedia tersebut. Pokja hanya mengetahui, siapa penyedia yang akhirnya mengajukan penawaran. Dalam proyek tahap satu, hanya ada satu kontraktor yakni PT Matra Karya yang mengajukan penawaran harga.

Fathurahman mengungkapkan ihwal lelang cepat yang menabrak rambu-rambu LKPP karena tender jenis itu khusus untuk bangunan sederhana, baru didiskusikan sekelar lelang. Alasan lainnya yang mendorong lelang cepat, yakni untuk mempercepat penyerapan danais yang digunakan membiayai pembangunan di eks Bioskop Indra. Pasalnya danais dikucurkan dalam tiga tahap. Agar tahap kedua dan ketiga cair, anggaran tahap pertama harus sudah diserap dengan baik.

Alasan mempercepat penyerapan danais ini tak lagi dilakukan dalam proyek tahap kedua dan ketiga. Ketua Pokja proyek eks Bioskop Indra tahap kedua, Sugeng Iswitana, menyatakan memilih lelang umum untuk proyek kedua dan ketiga karena lebih tepat dibanding lelang cepat.

Sugeng juga heran kenapa pada Tahap I proyek kontruksi bernilai puluhan miliar dengan kerumitan bangunan seperti itu Pokja memilih metode lelang cepat. Selama dia mengurusi lelang, belum pernah lelang cepat dipilih untuk konstruksi seperti itu. “Saya pernah lelang cepat, tapi untuk pembelian barang yang mereknya sudah jelas. Sehinggalebih baik pakai lelang cepat agar lebih cepat,” ungkap Sugeng Iswitana.

Pranata Pengadaan Barang dan Jasa di Bagian Layanan Pengadaan Biro Administrasi Pembangunan Setda DIY itu juga membantah pemilihan metode lelang dilakukan Pokja maupun Bagian Layanan Pengadaan. “Pakai kronologi dan logika saja. Metode lelang cepat itu sudah ada di RUP [Rencana Umum Pengadaan] yang di-upload DPUP ESDM sejak APBD disahkan. Baru kemudian dibawa ke BLP untuk dilelang. Jadi logikanya yang memilih metode lelang cepat itu siapa, enggak mungkin BLP,” tegas dia.

Menurutnya pemilihan metode lelang yang tidak tepat sangat mungkin membuat proyek berisiko penyalahgunaan meski pada akhirnya produk bangunan yang dihasilkan tetap menjadi yang utama.

Namun bila merujuk Pasal 17, ayat 2 Perpres No.54/2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Pokja lelang berhak memilih metode lelang yang diusulkan oleh organisasi perangkat daerah  yang menjadi leading sector sebuah proyek pembangunan.

Dalam perjalanannya, pembangunan proyek eks Bioskop Indra tak lantas berjalan mulus. Belakangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Daerah Tahun 2018 menemukan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp27 juta yang dilakukan kontraktor Matra Karya untuk pembangunan gedung relokasi PKL tersebut.

Lisa Heratami, pegawai di PT Matra Karya mengungkapkan, perusahaan tempat ia bekerja telah mengembalikan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp27 juta yang jadi temuan BPK kepada pemerintah. “Kekurangan volume pekerjaan untuk bor pile itu biasa, itu sudah selesai sudah diserahterimakan ke Pemda,” kata Lisa yang direkomendasikan oleh perusahaannya untuk menjelaskan proyek gedung relokasi PKL kepada media.

Selama ini, kata dia, proyek tersebut berjalan lancar. Ihwal lelang cepat yang dilakukan Pemda DIY, perusahaannya tak ikut campur. 

 *Laporan ini merupakan hasil kolaborasi Harian Jogja dengan dua media lainnya, Kompas dan Gatra. Reportase dilakukan pada rentang Juli-Oktober 2019.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Patahan Pemicu Gempa Membentang dari Jawa Tengah hingga Jawa Timur, BRIN: Di Dekat Kota-Kota Besar

News
| Kamis, 28 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

alt

Mengenal Pendopo Agung Kedhaton Ambarrukmo, Kediaman Sultan Hamengku Buwono VII

Wisata
| Senin, 25 Maret 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement