Advertisement

Warga Jogja Perlu Membiasakan Diri Tanpa Kendaraan Pribadi

Lajeng Padmaratri
Minggu, 18 September 2022 - 11:17 WIB
Budi Cahyana
Warga Jogja Perlu Membiasakan Diri Tanpa Kendaraan Pribadi Seorang warga Jogja melintasi trotoar sebagai jalur pedestrian di ruas Jalalan Kyai Mojo, Tegalrejo, Kota Jogja, Jumat (16/9). - Harian Jogja/Lajeng Padmaratri

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Berjalan kaki untuk mobilitas sehari-hari agaknya belum menjadi kebiasaan warga Jogja. Kendaraan pribadi masih jadi pilihan. Walhasil, fasilitas transportasi umum di kota ini pun belum jadi andalan. Berikut laporan dari wartawan Harian Jogja, Lajeng Padmaratri.

Astri, 18, mengingat-ingat kapan terakhir kali dirinya naik transportasi umum dalam kota. Mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja ini merasa sudah lama sekali merasakan pengalaman itu, saking tidak terbiasanya menggunakan transportasi umum.

Advertisement

"Kayaknya dulu terakhir zaman SMP, karena belum boleh bawa motor sendiri," kata Astri kepada Harian Jogja, Jumat (16/9/2022).

Perempuan yang tinggal di daerah Condongcatur, Sleman itu sudah diperbolehkan orang tuanya membawa kendaraan pribadi, tepatnya sejak ia menginjak bangku SMA. Sekarang, ia tak kepikiran lagi untuk ingin menggunakan transportasi umum untuk mobilitas.

Dulu saja saat SMP, Astri naik Trans Jogja tidak setiap hari. Hanya sesekali jika hari libur dan ia mengagendakan bepergian ke Kota Jogja.

Dua tahun lalu setelah Trans Jogja punya trayek ke Jalan Kaliurang, jalur yang semakin dekat dengan rumahnya, ia pun belum menjajalnya. Meskipun halte Trans Jogja makin dekat, ia masih harus berjalan kaki lebih dari 500 meter sebelum akhirnya mencapai halte. Kondisi itu membuatnya lebih mengutamakan penggunaan kendaraan pribadi karena ia anggap lebih praktis.

"Sebenarnya naik TJ [Trans Jogja] itu enak. Kan murah ya, apalagi buat pelajar. Bahkan lebih mudah daripada ojol, apalagi sekarang tarifnya naik. Tapi TJ enggak cocok buat tipe orang yang buru-buru, soalnya jalurnya jadi satu sama kendaraan lain dan macet," urainya.

Astri pun mengaku tergolong orang yang malas berjalan kaki.

"Capek, panas. Apalagi enggak semua jalan ada trotoarnya, jadi malas," kata dia.

Pengalaman berbeda diungkapkan oleh Wulan, 24. Perempuan yang tinggal di Ngaglik, Sleman itu justru mengaku terbantu dengan keberadaan transportasi umum seperti Trans Jogja. Hanya saja, pengalamannya yang pernah tinggal di Jakarta membuatnya masih kurang puas dengan pelayanan transportasi umum di Jogja.

"Kalau di Jogja aku coba lebih sering pakai Trans Jogja, meskipun kadang macet dan harus nyiapin waktu lebih biar enggak terlambat sampai di tujuan. Kalau di Jakarta, lebih nyaman ya karena Trans Jakarta nggak ikut kemacetan bareng kendaraan lain," ujarnya.

Di Jakarta, transportasi umum yang tersedia menurutnya lebih terintegrasi. Misalnya saja, halte bus yang terhubung dengan jembatan penyeberangan. Transportasi publik seperti Trans Jakarta juga menggunakan jalur sendiri sehingga tidak begitu macet seperti di Jogja.

Kebiasaannya menggunakan transportasi umum pun membuatnya terbiasa berjalan kaki. Namun, menurutnya berjalan kaki di Jakarta lebih nyaman ketimbang di Jogja karena di sana jalur pedestrian lebih banyak tersedia dengan baik.

Bagi Wulan, di Jakarta lebih banyak orang yang terbiasa berjalan kaki, seperti pegawai kantoran yang menggunakan KRL atau busway yang pada akhirnya akan melanjutkan sisa perjalanan dengan berjalan kaki. Pengalaman itu dirasanya jadi lebih nyaman karena banyak temannya.

"Kalau di Jogja, jalan kaki itu enggak enak karena trotoarnya sedikit. Turun dari Trans Jogja aja nggak semua haltenya langsung terhubung dengan trotoar," kata dia.

Malas Jalan

Studi yang dilakukan Stanford University pada 2017 menempatkan Indonesia pada posisi pertama sebagai negara yang paling malas jalan kaki. Menurut penelitian itu, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah per hari, jauh lebih sedikit dibanding catatan global yaitu rata-rata 5.000 langkah per hari.

Menanggapi hal itu, Ketua Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Ikaputra menjelaskan jika hal itu dipengaruhi oleh kebiasaan dan fasilitas lingkungan. Ketika fasilitas lingkungannya bagus, maka tinggal mengubah kebiasaan dan pola pikir untuk mau berjalan kaki.

Sayangnya, belum semua kota di Indonesia memiliki sarana dan prasarana yang memadai bagi pedestrian. Bahkan, menurutnya baru Jakarta yang menjadi kota dengan fasilitas lingkungan paling baik untuk pedestrian di Indonesia.

"Kalau orang disebut males berjalan kaki ya mungkin aja karena fasilitasnya tidak mendukung, padahal kemauan ada. Tetapi kalau fasilitas sudah baik tapi orang malas berjalan kaki, maka bisa jadi karena karakternya malas. Maka harus dimulai dari fasilitasnya dulu," urainya.

Ia menjelaskan pada prinsipnya konsep transportasi perkotaan itu yg diutamakan adalah pejalan kaki. Kemudian, yang kedua adalah kendaraan tidak bermotor, seperti sepeda atau becak. Keduanya merakyat dan mendukung lingkungan yang berkelanjutan karena tidak menimbulkan polusi.

"Tapi berjalan kaki yang nyaman kan 300-500 meter, sementara pakai sepeda atau becak bisa sampe 3 kilometer lah. Kalau kita berjalan lebih dari 10 kilometer tiap hari kan enggak mungkin saat ini, maka ada kendaraan bermotor. Tapi kalau pakai kendaraan pribadi, energinya enggak hemat. Maka sebaiknya pakai transportasi publik," terangnya.

Sayangnya, pola pikir ini dianggap Ikaputra belum dipahami banyak orang, termasuk pembuat kebijakan. Maka yang terjadi saat ini ialah penggunaan kendaraan pribadi yang meningkat drastis hingga menyebabkan kemacetan jalan. Padahal, hal itu bisa diringkas dengan mewujudkan integrasi transportasi publik dengan jalur pedestrian yang nyaman.

Berbeda dengan pengguna kendaraan pribadi, pejalan kaki tidak butuh biaya apapun untuk menempuh perjalanan, melainkan hanya butuh fasilitas yang baik. Sehingga, menurutnya masyarakat Indonesia yang disebut masih malas berjalan kaki itu tidak benar-benar malas, namun hanya kurang fasilitas.

Belum lagi, jika di trotoar yang sudah disediakan justru bermunculan rumah makan atau tempat usaha milik pribadi. Hal itu tentu akan mengganggu kenyamanan pengguna jalan.

"Prinsipnya, jalur pedestrian ini jalur yang memanusiakan masyarakat. Ketika berjalan kaki, lebih banyak proses untuk memahami sebuah kota dibandingkan menggunakan kendaraan," kata dia.

Sayangnya, masyarakat di Jogja masih nyaman menggunakan kendaraan pribadi, padahal sudah punya kendaraan umum. Hanya saja, memang keberadaan transportasi umum seperti Trans Jogja perlu ditinjau lagi karena belum melayani semua area.

Kepala Dinas Perhubungan DIY Ni Made Dwipanti Indrayanti menuturkan instansinya mendukung pemerintah kabupaten dan kota untuk mewujudkan jalur pedestrian yang nyaman dan fungsional.

Meski begitu, banyak jalur pedestrian yang beralih fungsinya menjadi ruang usaha maupun tempat parkir. Ia pun mengharapkan kesadaran seluruh masyarakat Jogja untuk bisa memanfaatkan pedestrian yang sudah tersedia sebagaimana fungsinya untuk pejalan kaki.

"Program kami pun di Dishub itu untuk lima tahun ke depan berkaitan bagaimana kita pro pejalan kaki, bagaimana kita memberikan fasilitas yang baik dan bagus untuk mereka," kata Ni Made.

Jika keberadaan trotoar dan jalur pedestrian sudah baik, harapan agar masyarakat terbiasa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi pun lebih mudah diwujudkan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Darurat, Kasus Demam Berdarah di Amerika Tembus 5,2 Juta, 1.800 Orang Meninggal

News
| Jum'at, 19 April 2024, 20:27 WIB

Advertisement

alt

Pengunjung Kopi Klotok Membeludak Saat Libur Lebaran, Antrean Mengular sampai 20 Meter

Wisata
| Minggu, 14 April 2024, 18:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement