Advertisement

Promo November

Kisah Agus Bertahan Hidup 25 Tahun di Pasar Kepek Bantul Setelah Pergi dari Rumah karena Takut Disunat

Andreas Yuda Pramono
Senin, 30 Januari 2023 - 06:57 WIB
Bhekti Suryani
Kisah Agus Bertahan Hidup 25 Tahun di Pasar Kepek Bantul Setelah Pergi dari Rumah karena Takut Disunat Keluarga dan warga menyambut kepulangan Ag, warga Kecamatan Polanharjo, Klaten, yang menghilang selama 25 tahun terakhir dan tinggal di Pasar Kepek Bantul, Rabu (25/1/2023) sore. - JIBI/Solopos - Taufiq Sidik Pdakoso

Advertisement

Harianjogja.com, BANTU—Kisah warga Klaten, Jateng bernama Agus yang menghilang selama 25 tahun lantaran takut disunat, dan hidup di sebuah pasar di Bantul belakangan viral. Bagaimana Agus bisa bertahan hidup di pasar selama berpuluh tahun?

Dua puluh lima tahun lalu, tepatnya pada tahun 1998, Pasar Kepek, Timbulharjo, Sewon, Bantul masih berupa kios-kios kecil yang sempit. Para pedagang berhimpitan dengan pedagang lain, begitupun dengan pembeli yang saling berdesakan.

Advertisement

Tepat pada hari Jumat tanpa bulan yang pasti, bocah lelaki umur 10 tahun datang dari arah utara dengan seragam Pramuka. Dalam ingatan salah satu warga Pasar Kepek, bocah tersebut tampak telanjang dengan rambut pendek tak karuan. Tampaknya, seragam cokelat tersebut menyamarkan tubuh Agus sehingga kelihatan telanjang dari kejauhan.

BACA JUGA: Dikira Hilang 25 Tahun karena Takut Disunat, Pria Ini Ternyata Tinggal di Pasar Kepek Bantul

“Saya masih ingat persis. Ketika Agus datang, dia pakai seragam pramuka. Tepat hari Jumat tahun 1998. Tapi lupa bulan apa,” kata Assa’at, seorang pedagang di Pasar Kepek ditemui Harianjogja.com pada Jumat (27/1/2023).

Tidak diketahui pasti dari mana Agus berasal, namun dia mengaku datang dari Klepu, Wonosari, ketika itu. Dia memiliki ingatan yang cukup kuat, kata pedagang lain. Agus masih mengingat nama diri sendiri dan bahkan orang tuanya. Dengan dasar itu, dukuh setempat mengambil inisiatif untuk membawa Agus ke Wonosari.

“Setahu saya, Agus kemudian ditinggal di Wonosari. Harapannya, ada seseorang yang dapat mengenal dia, karena Agus mengaku dari Klepu, Wonosari,” kata pedagang lain bernama Partilah.

Tidak disangka, beberapa hari setelahnya, Agus datang lagi ke Pasar Kepek. Para pedagang pun mengaku kaget. Setelahnya, Agus kemudian menetap di Pasar Kepek, menjadi bagian dari warga pasar.

Agus kecil dikenang sebagai bocah yang tidak terlalu gesit dibanding bocah seusianya. Tidak terlalu suka bicara dan memiliki dunianya sendiri. Truk kayu menjadi sahabatnya sehari-hari. Mainan tersebut dia ikat dengan tali lalu ditarik ke sana kemari di dalam pasar. Bahkan, dia menyeret truk tersebut hingga ke terminal dekat pasar. Begitu lah rutinitasnya sehari-hari tahun itu, ketika situasi jalan belum sepadat dan seramai hari ini.

Dia memang tidak bersama orang tua kandungnya lagi, namun Agus memiliki banyak orang tua baru yang merawatnya hingga berumur 35 tahun sebelum berpisah dengan mereka. Pernyataan tersebut memang tidak berlebihan. Makan, minum, mandi, dan uang jajan, sepenuhnya berasal dari para pedagang di pasar. Kadang, pembeli yang datang juga ikut memberi uang jajan untuk Agus.

“Agus itu kalau dikasih lima ribu tidak mau. Soalnya dia cuma tahu uang yang bergambar pedang [seribu],” kata pedagang lain bernama Ngadiyono.

Ngadiyono Temon menjadi sosok yang turut menemani kehidupan Agus sejak kecil. Dia kerap mengajak Agus ke rumahnya dan memberikan makan termasuk membawa Agus ke Puskesmas ketika sakit.

Orang yang belum mengenal Agus dan melihat pertama kalinya sering menganggap dia Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Hal tersebut dibantah oleh warga pasar. Kendati Agus kesulitan dalam memproses informasi, namun dia tetap paham ketika diajak berbicara maupun menerima nasihat warga pasar.

Menurut seorang pedagang, hal tersebut terjadi karena Agus tidak melanjutkan sekolahnya dan terpisah dari pendidikan. Minimnya pengetahuan tersebut membuatnya kesulitan dalam memproses informasi, termasuk bagaimana cara menjalin relasi dengan orang di luar pasar. Hingga sekarang pun Agus tuna aksara. Tidak ada satu kata pun dapat dia baca alih-alih memahami maknanya.

Terpisahnya Agus dengan pendidikan dan dunia selain pasar membuat dia menjadi orang yang lugu dan penurut. Dia tidak pernah meminta uang dan makan kepada orang yang tidak dia kenal. Dia tahu bagaimana bersikap.

Pembicaraan saya dengan warga pasar masih berlanjut ketika awan yang menutup sinar Matahari menyebabkan pasar sedikit gelap. Saya duduk bersender pada lapak kosong yang tampaknya merupakan sebuah rak, namun diubah peruntukkannya sebagai meja dengan warna cokelat gelap dan kusam.

“Termasuk di situ [meja]. Agus istirahat di situ juga. Dia sering berganti-ganti tempat kalau ingin tidur. Kadang di sisi utara atau selatan pasar. Kadang juga di ruang kosong di bagian belakang,” katanya.

Memang tidak ada tempat yang pasti untuk Agus tidur. Seluruh bagian pasar adalah kamarnya. Dia bisa tidur dimanapun dia suka dan tidak ada pedagang yang menegurnya. Agus memiliki karakter yang dapat menarik perhatian dan membuat orang suka. Kepergiannya dari pasar pun ditangisi banyak pedagang. Dia pulang dengan diantarkan seluruh warga.

Agus pun nyaman tinggal bersama warga pasar. Ketika dia ingin diantarkan mencari rumahnya untuk pulang, dia pun menolak. Seorang warga pasar mengatakan bahwa apabila Agus tidak nyaman tinggal di Pasar Kepek, maka dia sudah pergi dari pasar sejak dulu. Namun, kenyataan berkata sebaliknya.

Sebagaimana layaknya bocah, dia juga menangis ketika merasa tidak nyaman akibat satu dua hal seperti ketika seorang anak mengganggunya atau kemauannya tidak dituruti. Agus kecil sering dimandikan di dekat sumur belakang pasar.  Ketika mandi, Agus selalu ditemani pedagang pasar. Mereka seperti memiliki jadwal dan kesepakatan tak tertulis untuk memandikan Agus.

Warga pasar seolah telah saling tahu dalam merawatnya. Ketika dia sakit, mereka bergantian merawat dan memberikan obat. Tidak satupun warga mengeluh. Bahkan, ketika pandemi Covid-19 melanda, seluruh warga pasar secara berkala datang ke pasar untuk menemui Agus.

“Ketika Corona itu Agus tetap kami openi [rawat]. Dia sudah jadi bagian dari kami, sudah seperti anak sendiri. Anda bisa membayangkan sendiri lah,” ucapnya.

Dia memiliki panggilan khusus di Pasar Kepek. Agus Susut, begitu warga pasar memanggilnya. Panggilan tersebut muncul karena beberapa orang ketika memanggil Agus kadang tidak mengacu pada namanya, namun berdesis seperti meminta orang diam.

Suatu hari di tahun 2023, Agus mendapat luka pada kaki kanannya. Luka tersebut membuat punggung kaki Agus membengkak. Ngadiyono yang tahu bahwa punggung kaki Agus bengkak, kemudian melumurinya dengan bawang merah, lalu membalut itu dengan kain. Setelah tiga hari, kakinya kembali normal.

Kendati demikian, lukanya tidak kunjung sembuh. Luka tersebut malah terlihat tidak wajar. Ngadiyono dan beberapa warga pasar kemudian membawa Agus ke Puskesmas melalui kenalan warga pasar. Ternyata gula darah Agus tinggi dan membuat luka tersebut lama sembuh.

Warga pasar tentu kesulitan untuk membawa Agus ke pusat pengobatan lain. Hal tersebut disebabkan karena Agus tidak memiliki identitas yang jelas seperti KTP. Seorang warga pasar lantas menghubungi channel youtube Sinyo Official dengan harapan Agus mendapat pertolongan.

BACA JUGA: Tren Sejumlah Kadus di Gunungkidul Dipaksa Mundur oleh Warga, Paguyuban Minta Perlindungan

Agus yang kemudian masuk dalam channel Youtube tersebut menjadi viral di jagad maya. Tidak berselang lama, video yang merekam kondisi Agus di Pasar Kepek pun sampai di Polanharjo, Klaten, tempat tinggalnya.

“Dia tidak mau pulang. ‘Aku tidak mau kalau tidak sama Miare’ dia ngomong gitu,” kata pedagang lain bernama Tumiar.

Tumiar mengaku bahwa Agus tidak pernah memanggil namanya dengan ibu atau nama langsung Tumiar. Sebagai gantinya, Agus memanggil dia Miare. Tumiar ini lah yang kerap mengerok punggung Agus ketika dia sakit. Tumiar juga yang ikut memandikan Agus ketika masih kecil.

“Dia tidak mau pulang kalau tidak sama saya. Jadi saya ikut mengantar dia pulang sampai Klaten,” katanya.

Akhirnya, bersama warga pasar termasuk Tumiar, Agus diantar pulang ke rumahnya di Polanharjo, Klaten. Tumiar mengaku seluruh warga pasar merasa kehilangan. Kepulangan Agus disertai isak tangis. 25 tahun. Selama itu, Agus tidak terpisah dengan warga Pasar Kepek.

“Ternyata, Klepu yang dimaksud Agus dulu itu bukan Klepu, Wonosari, namun Klepu, Klaten,” ucapnya.

Agus tahu betul bahwa warga pasar mencintainya dan begitupun sebaliknya. Kendati demikian, Agus tetap harus pulang ke rumah asalnya, tempat orang tuanya berada. Meski bapaknya telah meninggal, namun ibunya masih ada dan menunggu kepulangan Agus. Belakangan, ibu Agus menyebut anaknya pergi dari rumah karena takut disunat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Supriyani, Guru Honorer yang Dituduh Memukul Anak Polisi Divonis Bebas

News
| Senin, 25 November 2024, 13:27 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement