Advertisement

Promo November

Sejarah Serangan Umum 1 Maret di Jogja, 6 Jam Penuh Ketegangan

Tri Indah Lestari (ST22)
Jum'at, 24 Februari 2023 - 14:27 WIB
Bernadheta Dian Saraswati
Sejarah Serangan Umum 1 Maret di Jogja, 6 Jam Penuh Ketegangan Aksi teatrikal dalam rangka memperingati Serangan Umum 1 Maret di Titik Nol Kilometer, Jogja, Minggu (1/3/2020). - Harian Jogja/Gigih M. Hanafi

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Monumen Serangan Umum 1 Maret di Titik Nol Km Yogyakarta kokoh berdiri. Monumen ini seolah menjadi bukti kekokohan Indonesia dalam menegakkan serta menjaga kedaulatan negara.

Sesuai dengan makna penting dari peristiwa Serangan Umum 1 Maret, upaya penegakan dan kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka akhirnya diakui oleh dunia internasional. Hal ini berkat keberhasilan melakukan perlawanan terhadap Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali karena belum mengakui kemerdekaan Indonesia.

Advertisement

Semua bermula ketika Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati, berisi pengakuan Belanda terhadap wilayah kekuasaan Indonesia yakni Sumatera, Jawa, dan Madura, dengan melakukan Agresi Militer Belanda 1 dari tanggal 21 Juli sampai dengan 5 Agustus 1947. Perjanjian lain pun kembali dilakukan kali ini bernama Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 sebagai tanda berakhirnya Agresi Militer Belanda I.

Masih belum terima dengan kedaulatan Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta mendengar kabar akan ada Agresi Militer Belanda II untuk merebut Ibu kota negara Republik Indonesia Yogyakarta. Sidang kabinet pun dilakukan untuk mengantisipasi serangan Belanda dan menyusun skenario demi menyelamatkan Indonesia.

Baca juga: Tak Boleh Menolak Layani Siswa ABK, Guru Diberi Pelatihan

Skenario itu antara lain mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat dan luar negeri, menunjuk Sri Sultan Hamengkubuwono IX saat itu Menteri Pertahanan untuk menangani serta mengatasi masalah keamanan dan ketertiban di Ibu kota negara seandainya Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap, dan memerintahkan Jenderal Soedirman untuk melakukan siasat perang gerilya.

Perang gerilya berlangsung mulai Desember 1948 hingga Februari 1949 yang terus menerus menyerang pos-pos Belanda membuat kekuatan militernya pun terpecah. Akhir Februari 1948 mendengar PBB akan melaksanakan sidang penentuan nasib Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX langsung menyampaikan idenya ke Jenderal Sudirman untuk melakukan serangan di Jogja dari segala penjuru.

Tibalah hari yang ditunggu-tunggu, pasukan dari persatuan berbagai elemen yakni Kepolisian, laskar, dan seluruh masyarakat Indonesia langsung menyerang Jogja dari segala penjuru usai terdengar sirine berakhirnya jam malam berbunyi pada pukul 06.00.

Serangan yang terjadi selama 6 jam itu berhasil memukul mundur Belanda dan meninggalkan pos-pos militernya. Keberhasilan perebutan kembali Ibu kota negara tersebut disiarkan ke seluruh dunia melalui siaran radio.

Mengetahui berita tersebut Dewan PBB mendesak Belanda untuk melakukan perundingan dengan Indonesia, bahkan mengancam menjatuhi sanksi ekonomi terhadap Belanda karena kondisi Indonesia tak kunjung membaik.

Belanda dan Indonesia akhirnya menyepakati gencatan senjata serta mengembalikan pemerintahan Indonesia ke Jogja melalui Perjanjian Roem-Royen pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian mengadakan Konferensi Meja Bundar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemerintah Segera Menyusun Data Tunggal Kemiskinan

News
| Jum'at, 22 November 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement