Advertisement

Pidato Kebudayaan Seno Gumira Ajidarma: Taman Siswa dan Mimpi Pendidikan yang Merdeka

Arief Junianto
Selasa, 02 Mei 2023 - 23:27 WIB
Arief Junianto
Pidato Kebudayaan Seno Gumira Ajidarma: Taman Siswa dan Mimpi Pendidikan yang Merdeka Seno Gumira Ajidarma membacakan pidato kebudayaannya di The Ratan, Selasa (2/5/2023). - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Berbicara soal sistem pendidikan nasional, tak bisa lepas begitu saja dari sejarah panjang pola pedagogi bangsa ini, yang sedikit-banyak menjadi warisan dari sistem pendidikan era kolonial Belanda. Hal itulah yang menjadi sorotan dalam pidato kebudayaan yang dibacakan oleh sastrawan dan budayawan, Seno Gumira Ajidarma dalam rangkaian acara Jogja Art+Books Festival 2023 yang digelar di The Ratan, Panggungharjo, Kapanewon Sewon, Bantul, Selasa (2/5/2023).

Diberlakukannya ordonasi sekolah liar oleh Belanda di era kolonialisme menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan sistem pendidikan saat ini.

Advertisement

Tak dimungkiri, pendidikan merupakan salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang diterapkan di Indonesia sejak awal kedatangannya ke Indonesia.

Pada mulanya mereka hanya berniat untuk berdagang, tetapi ambisi mereka untuk menguasai perdagangan menimbulkan penjajahan terhadap pribumi. Mulai dari perdagangan, budaya, agama, bahkan pendidikan sedikit demi sedikit dikuasai oleh Belanda.

Sistem pendidikan pada masa kolonial, khususnya pendidikan Islam dan pesantren sangat dibatasi ruang geraknya oleh kolonial Belanda.

BACA JUGA: Jogja Art + Books Fest 2023, Ruang Mengingat dan Memandang Diri

Pada masa itu, pendidikan hanya berorientasikan kepada pendidikan pegawai di bawah pengawasan Belanda. Pendidikan pada zaman kolonial Belanda hanya diperuntukkan bagi golongan elite Belanda dan bamgsawan pribumi.

Mengawali pidato kebudayaanya, pengajar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu mengisahkan tentang perjuangan RM Suwardi Suryaningrat yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 3 Februari 1928.

Ordonasi Sekolah Liar

Perjuangan yang dikisahkan oleh Seno adalah perjuangan Suwardi saat melawan sistem Ordonasi Sekolah Liar yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda di era 1932-1933.

Perlu diketahui, berdirinya Ordonasi Sekolah Liar adalah dilatarbelakangi ketidakmampuan pemerintah Hindia Belanda dalam menanggulangi pembiayaan seluruh sekolah yang ada. Kondisi ini membuat pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengurangi sekolah yang ada dan membuat rakyat berhenti sekolah serta banyak anak terlantar pendidikannya hingga kemudian pemerintah Hindia Belanda memberikan izin pendirian lembaga-lembaga pendidikan partikelir (tak dibiyai pemerintah Hindia Belanda).

Seno Gumira Ajidarma membacakan pidato kebudayaannya di The Ratan, Selasa (2/5/2023)

Lembaga inilah yang justru kemudian membuat Hindia Belanda semakin berkembang pesat yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda khawatir akan semakin cerdasnya bangsa Indonesia. Untuk itu pemerintah Hindia Belanda menimalkan ruang gerak sekolah-sekolah dengan menerapkan Ordonasi Sekolah Liar (wilde school ordinate).

Akibat kekhawatiran tersebut pemerintah Hindia Belanda menerapkan sejumlah prinsip politik pendidikan, di antaranya adalah memisahkan pendidikan antara anak Belanda dengan pribumi; merendahkan pendidikan anak pribumi; dan memaksa semua sekolah memakai model pendidikan Belanda, sehingga membuat putera indonesia memiliki pola pikir seperti Belanda.

Kembali ke kisah Suwardi Suryaningrat, ketika Suwardi diasingkan ke Belanda selama enam tahun, kata Seno, saat itulah Suwardi banyak belajar aspek pendidikan, salah satunya adalah pemikiran Rabindranath Tagore.

BACA JUGA: Tingkatkan Literasi Digital DIY, Yayasan Seruang Pertemukan Seni Rupa, Musik, dan Buku

“Dari sinilah terjadi perubahan pola perlawanan Suwardi. Dari gerakan politik ke pendidikan. Bentuk perlawanan yang ia pilih pun bijak. Inilah yang disebut dengan perlawanan diam-diam. Perlawanan inilah yang menjadi prinsip perjuangan Taman Siswa [didirikan oleh Suwardi Suryaningrat 1922] dalam menghadapi Ordonasi Sekolah Liar,” kata Seno.

Menurut Suwardi, kata Seno, Indonesia memiliki sejarah pendidikan yang jauh lebih panjang dari Belanda. “Itulah sebabnya, justru Belanda lah yang harus mendapatkan pencerahan, bukan Indonesia.”

Betapa pun, prinsip asosiasi dan evolusi dalam politik etika tak akan terjadi jika kebudayaan nasional tak dihidupkan lebih dulu. Meniru peradaban barat adalah gaya hidup kaum borjuis, dan tidak lebih dari tiruan asosiasi.

“Kepatuhan pada peradaban barat yang telah mengunci negeri ini dalam kegelapan dianggap serakah dan kosup. Ini bertentangan sekali dengan politik etika bahwa cahaya peradaban barat akan menerangi kegelapan Hindia,” kata Seno.

Dalam tujuh prinsip Taman Siswa yang didirikan Suwardi, ditegaskan bahwa meski di bawah politik etika, pendidikan kolonial tetap menguntungkan kaum kolonialis, dan anehnya diterima kaum priyayi dan menengah.

“Padahal pendidikan itu semata-mata memberikan surat diploma yang memungkinkan mereka menjadi buruh yang tergantung pada peradaban barat,” tegas Seno.

Seno menegaskan, menurut Suwardi, Ordonasi Sekolah Liar hanya menawarkan sistem pendidikan yang didalamnya menempatkan instansi pendidikan sebagai rumah perniagaan pengecer ilmu pengetahuan.

“Sekolahnya hanya menjual ilmu. Gurunya pun tukang dagang intelek. Sekolah pengecer ilmu,” tegas Seno. 

Sekolah Liar

Oleh sebab itu, Seno lantas mengaitkan hal tersebut dengan kondisi sistem pendidikan nasional saat ini dengan melacaknya dengan pembuktian terbalik. “Adakah kiranya, iklim pendidikan hari ini ada cara pembelajaran tanpa subsidi pemerintah yang kehadirannya sebagai rumah pengecer ilmu, tetapi justru sebagai alternatif terhadap formasi diskursif kuasa pendidikan nasional kelas dominan?” kata dia.

Dalam pidatonya, Seno menegaskan persoalan pendidikan nasional hari ini adalah masih terbatasnya kapasitas dan kemampuan sistem itu untuk menangkap denyar-denyar keliaran kreatif yang justru kontekstual dengan zamannya.

Seno Gumira Ajidarma membacakan pidato kebudayaannya di The Ratan, Selasa (2/5/2023)./Istimewa

Untuk itu, dia mencontohkan metode pendidikan bertajuk Seni Rupa Penyadaran yang dianut oleh seorang guru seni rupa asal Tulungagung, Moelyono.

Dikisahkannya, Moelyono mengedepankan aspek pendidikan yang anti-mainstream dengan mengembalikan hakikat di mana setiap orang adalah subjek penggubah kebudayaan, sebab jika setiap orang ditempatkan sebagai subjek pasif, mereka hanya berbuat untuk diri dan kelompoknya sendiri.

“Padahal sebagai subjek, mereka punya potensi berpikir kritis untuk berdialog dan menyampaikan persoalan masyarakat [miskin].

Itulah sebabnya, gagasan-gagasan yang kreatif dan subversif tentunya diperlukan di cabang ilmu pendidikan yang lain. “Mengapa tidak?” serunya.

“Karena itulah, sekolah liar akan selalu ada. Maka, kehadiran saya di sini hanya untuk mengesahkan.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Yordania Tegaskan Larang Wilayah Udaranya Jadi Medan Tempur Iran vs Israel

News
| Sabtu, 20 April 2024, 15:57 WIB

Advertisement

alt

Kota Isfahan Bukan Hanya Pusat Nuklir Iran tetapi juga Situs Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Jum'at, 19 April 2024, 20:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement