Ini Dia Profesor Anggrek asal UGM, Sukses Perpendek Masa Pembungaan
Advertisement
Harianjogja.com, SLEMAN—Selama 36 tahun berkutat dengan anggrek, banyak inovasi yang sudah dilakukan Endang Semiarti. Salah satu yang penting, dia bisa memperpendek waktu pertumbuhan dan pembungaan anggrek yang sebelumnya terkenal lama.
“Saat merawat anggrek, suka saya elus-elus, sambil saya ajak bicara, seperti merawat anak,” kata Profesor Endang Semiarti, Rabu (17/5/2023).
Advertisement
Kalimat itu terucap di ruangan Endang yang penuh dengan hiasan, buku, dan foto-foto tentang anggrek.
Ruang itu bagian dari Laboratorium Bioteknologi UGM yang ia kepalai. Di bagian lain, ada berbagai ruangan yang berisi bibit-bibit anggrek dengan tujuan penelitian masing-masing. Sembari sesekali menunjukan foto anggrek Papua di laptopnya, Endang bercerita apabila dia percaya tumbuhan punya ruh.
Kasih sayang dari manusia dalam merawat, membuatnya tumbuh lebih sempurna. Dalam salah satu penelitian, ada perbandingan dua tanaman padi. Satu dibacakan lantunan Al-Qur’an dua kali sehari, satunya tidak. Pupuk dan perawatan lainnya sama persis.
Hasilnya, padi yang rutin menerima bacaan Al-Qur’an tumbuh lebih gemuk dan bagus. Ada gelombang tertentu yang akan mengaktifkan gen pertumbuhan pada tanaman atas interaksi eksternalnya.
Tidak hanya padi, pola yang sama bisa terjadi pada tanaman lain, termasuk anggrek.
Merawat anggrek dengan sentuhan sampai interaksi verbal yang coba Endang lakukan, salah satunya di laboratorium.
Ada ribuan bahkan jutaan bibit anggrek yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang spesies (termasuk yang langka), ada juga yang hibrida.
BACA JUGA: Meraup Untung dari Hobi Merawat Anggrek
Jenis hibrida merupakan anggrek yang Endang buat sendiri, baik dengan persilangan dua jenis anggrek atau cara lainnya.
Contoh persilangan seperti anggrek vanda tricolor dari Gunung Merapi yang memiliki kemampuan tahan panas, bahkan bisa bertahan dari letusan gunung, disilangkan dengan anggrek bulan. “Anggrek Merapi punya gen spesifik, gen itu bisa dipindahkan ke anggrek yang lain, misal ke anggrek bulan [yang sebelumnya tidak tahan panas], jadi kuat panas, rekayasa genetika,” kata Endang yang kini berusia 61 tahun terebut.
Rekayasa genetika ini baru satu dari sekian banyak usaha Endang mengembangkan anggrek. Semua ini bermula saat dia menjadi dosen di Fakultas Biologi UGM pada 1987.
Endang bekerja di bawah bimbingan Profesor Moeso Suryowinoto yang terkenal dengan sebutan Bapak Anggrek Indonesia.
Prof Moeso merupakan kepala laboratorium kultur jaringan pertama di Indonesia, jabatan yang Endang tempati sekarang. Anggrek menjadi tanaman ikon yang dikembangkan.
Kala itu, Endang sebenarnya belum paham betul tentang anggrek, tetapi Moeso meyakinkan dan siap mengajari.
Rekayasa Genetika
Suatu hari, Endang meminta izin pada Moeso untuk mengadakan rekayasa genetika di laboratorum. Setelah Moesa mengizinkan, Endang mencari beasiswa dan berhasil kuliah S2 dan S3 di Nagoya University, Jepang.
Meski tidak ada fokus pembelajaran tentang anggrek di Nagoya University, tetapi prinsip ilmunya bisa diterapkan di Indonesia sepulangnya pada 2001.
Dengan menggandeng disiplin ilmu lain seperti pertanian sampai kehutanan, pengembangan anggrek semakin luas.
Salah satu hasil rekayasa genetika berupa pertumbuhan anggrek yang bisa dipercepat. “Dulu 2-3 tahun, sekarang sekitar setahun udah bisa berbunga,” kata Ketua Pecinta Anggrek Indonesia DIY (sebelumnya bernama Perhimpunan Anggrek Indonosia) ini.
Untuk mengembangkan anggrek, tidak harus mengambil satu bagian utuh tanamannya, tetapi cukup potongan kecil.
Tumbuhan punya kelebihan, satu sel yang ditumbuhkan dalam medium dan ekologi yang pas, bisa menjadi individu baru yang sama persis. Kemampuan seperti ini tidak terjadi pada hewan.
Metode semacam ini yang membuat Endang, saat sedang berkunjung ke daerah lain, oleh-olehnya bukan makanan atau kerajinan.
Dia meminta bibit atau bagian dari anggrek khas suatu daerah. Kini, jenis anggrek dari mayoritas wilayah di Indonesia ada di laboratoriumnya. Menyimpan jenis anggrek dari daerah lain sebagai usaha konservasi apabila terjadi kepunahan di darah asalnya. “Yang senang anggrek banyak, tapi yang mau nulis, neliti, dan lainnya enggak banyak, karena ribet,” kata Endang.
Semangat menjaga anggrek ini yang coba Endang tularkan pada para mahasiswanya. Mencoba menebarkan kecintaan pada anggrek, seperti yang dia dapatkan dulu dari Moeso. “Dalam merawat anggrek, yang tekun akan lebih berkembang,” katanya. “Perlu juga bekerja dengan hati, itu yang penting, kalau terpaksa biasanya enggak jadi.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Pemerintah Inggris Dukung Program Makan Bergizi Gratis Prabowo-Gibran
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Pilkada Bantul: TPS Rawan Gangguan Saat Pemungutan Suara Mulai Dipetakan
- BPBD Bantul Sebut 2.000 KK Tinggal di Kawasan Rawan Bencana Longsor
- Dua Bus Listrik Trans Jogja Senilai Rp7,4 Miliar Segera Mengaspal
- Akan Dipulangkan ke Filipina, Begini Ungkapan Mary Jane Veloso
- Lima Truk Dam Asal Jogja Buang Sampah ke Saptosari Gunungkidul, Sopir Diamankan Polisi
Advertisement
Advertisement