Advertisement

Dosen Psikologi Jelaskan Perubahan Dinamika Guru Generasi Milenial

Andreas Yuda Pramono
Senin, 05 Februari 2024 - 22:17 WIB
Mediani Dyah Natalia
Dosen Psikologi Jelaskan Perubahan Dinamika Guru Generasi Milenial Ilustrasi Sekolah - Ist/Riauonline

Advertisement

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Dosen Psikologi Universitas Gajah Mada (UGM), Novi Poespita Candra menyampaikan perkembangan zaman menimbulkan perubahan tingkah laku (behavior) guru dan dinamika ruang kelas. Perubahan ini dapat membawa persoalan apabila tidak disikapi dengan tepat.

Di Kapanewon Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, beberapa waktu lalu ada dua guru sekolah dasar (SD) yang kepergok muridnya sedang berhubungan seksual di ruang guru. Guru pria berinisial E berumur 41 tahun dan guru perempuan berinsial N berumur 39 tahun. Dilihat dari umur, keduanya merupakan generasi milenial. Tindakan mereka tersebut memiliki kaitan dengan keberadaan media sosial yang dapat diakses melalui gadget.

Advertisement

“Kalau dilihat karakteristiknya, generasi milenial itu mulai berpikir globalis tapi orientasinya cenderung kepada diri sendiri. Jadi mereka masih peralihan dari generasi X,” kata Novi dihubungi, Minggu (5/2/2024).

Perubahan dan perbedaan intensitas informasi yang mereka terima saat ini seyogianya diimbangi dengan kemampuan kurasi dengan baik. Banyaknya informasi akan membuat kelelahan dan memengaruhi kehidupan sehari-hari. Kelelahan tersebut memaksa mereka untuk mencari hiburan.

“Hiburannya adalah salah satunya melanggar hal-hal tidak semestinya. Pelecehan seksual, misalnya. Seksualiti kan kodrat yang menghasilkan hormon dopamine, kesenangan. Mungkin mereka mencari itu karena kurang,” katanya.

Bukan hanya generasi milenial, generasi lain seperti X dan Z yang terpengaruh dengan gelontoran informasi dapat mengalami hal serupa. Hal tersebut mengandaikan mereka tidak dapat mengelola informasi dan diri sendiri.

Khusus generasi Z, dia mengaku karakter generasi tersebut lebih kreatif. Sebabnya, mereka terbiasa hidup di era digital atau artificial intelligence. Dengan begitu, mereka juga memiliki potensi yang lebih kreatif dalam menyelesaikan masalah.

“Tapi kalau cara berpikir belum benar. Mereka juga akan terjebak hal sama seperti mencari kesenangan instan, pelecehan seksual, pinjol,” ucapnya.

Baca Juga

Berbuat Mesum, Dua Guru SD di Gunungkidul Dinonaktifkan

DIY Kekurangan Guru, Ini Strategi Pemda DIY

Tak Hanya Lecehkan 15 Siswa, Guru SD di Kota Jogja Juga Ajarkan Cara Pesan Pekerja Seks

Persoalan tersebut semakin pelik tatkala menimpa seorang guru. Tegas Novi, guru memiliki peran untuk mengajarkan keterampilan hidup yang relevan dengan zaman sekarang di mana penggunaan teknologi masif.

“Guru paham bahwa teknologi di satu sisi dapat membantu manusia menyelesaikan problem. Di sisi lain bisa juga mereduksi elemen-elemen kemanusiaan dalam diri manusia. Itu kalau pola pikir tidak dibentuk. Padahal pembentukan pola pikir ada di dunia pendidikan,” lanjutnya.

Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan guna menghindarkan guru dari perilaku merugikan atau negatif sebagai dampat dari banyaknya informasi. Pertama, perlu ada fasilitas generasi milenial dan Z di lapisan paling bawah atau akar rumput untuk dapat berdialog.

Salah satu kelemahan generasi milenial dan Z, menurut dia yaitu minim dialog karena karakter instan akibat pengaruh teknologi. Padahal, perlu ada ruang dialog untuk membicarakan hal-hal penting dan signifikan tanpa campur tangan teknologi modern seperti gadget. “Di pendidikan, harus dikembalikan lagi ruang ketiga. Ruang ini merupakan ruang antara pekerjaan dan rumah atau sekolah dengan rumah,” katanya.

Upaya kedua dapat dilihat dari sisi kebijakan. Kebijakan perlu berpihak pada kebutuhan guru seperti ruang dialog yang dimaksud Novi.

Perempuan yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan ini menegaskan guru-guru perlu dihindarkan dari tugas-tugas administratif yang menjauhkan mereka dari ruang tersebut.

“Dalam teori konstruktivisme sosial, manusia akan belajar bukan dengan diberikan materi tapi karena mereka sering berdialog dengan banyak orang. Dengan begitu kemampuan literasi, bicara, dan nalar baik,” jelasnya.

Dia mengaku perlu ada perombakan kebijakan arah pendidikan Indonesia. Pola pikir guru perlu dibentuk tanpa terlalu mengobrak-barik kurikulum. Secara tegas, Novi mengatakan perilaku guru diubah melalui manipulasi oleh kebijakan negara.

Behavioristik. Kalau kami bisa men-submit semua laporan ini, gajimu saya naikkan atau dapat uang. Kalau tidak bisa kamu tidak dapat sertifikasi; atau kalau kamu bisa jadi guru penggerak maka bisa jadi kepala sekolah. Berarti yang bukan guru penggerak tidak bisa jadi kepala sekolah,” katanya.

Dengan itu, dari sisi aksesibilitas peningkatan kualitas, dapat dikatakan negara melakukan diskriminasi. Seharusnya semua guru adalah guru penggerak. Caranya dengan memberi akses belajar dan narasi yang sama untuk semua guru di seluruh Indonesia. “Kurangi administrasi setahun dua tahun awal. Beri mereka keterampilan narasi, semua fokus pada guru. Barulah dari sini negara mengukur kerja negara. Berhasil tidak mereka meningkatkan kualitas guru,” tegasnya.

Kesejahteraan Guru

Membicarakan pengaruh kesejahteraan guru, menurut Novi tidak berbanding lurus dengan kualitas guru yang baik. Seringkali, guru honorer memiliki kualitas baik daripada guru PNS yang mapan. Dengan itu, isu yang pokok yang perlu dibahas adalah mentalitas.

“Pemerintah meski menaikkan berapapun untuk kesejahteraan guru, kalau tidak dibarengi dengan cara atau treatment terhadap peningkatan kualitas guru maka tidak akan ada perubahan,” terangnya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Pendidikan Gunungkidul, Nunuk Setyowati mengatakan kualitas satuan pendidikan seperti tingkat sekolah dasar dipengaruhi oleh kualitas guru. Dengan begitu, apabila ingin meningkatkan kualitas sekolah maka perlu ada peningkatan dan perbaikan kualitas guru.

“Kami mulai dari guru. Bagaimana guru mengajar secara menyenangkan. Muaranya pada anak-anak biar senang dan berkarakter,” kata Nunuk.

Guru juga perlu membentuk kelompok belajar agar dapat mengarahkan pelajar di era digital agar memanfaatkan IT dengan tepat.

Kabupaten Gunungkidul juga telah memiliki menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Gunungkidul Nomor 27 Tahun 2023 tentang Program Merdeka Belajar. Perbup tersebut memiliki beberapa tujuan seperti menguatkan komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah dalam penguatan arah kebijakan dan penganggaran Daerah guna mempercepat proses peningkatan mutu pendidikan melalui program Merdeka Belajar pada setiap jenjang Satuan Pendidikan.

Lalu, membangun ekosistem pendidikan yang lebih kuat yang berfokus pada peningkatan kualitas; menciptakan iklim kolaboratif bagi para pemangku kepentingan di bidang pendidikan baik pada lingkup Satuan Pendidikan, Pemerintah Daerah, maupun pemerintah pusat; dan menjamin pemerataan kualitas pendidikan.

Kemudian, meningkatkan kompetensi Literasi, Numerasi dan Karakter Peserta Didik yang sesuai dengan Profil Pelajar Pancasila; dan meningkatkan kompetensi guru dengan paradigma baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Tiga Ribu Lebih WNI Terjerat Online Scam Sejak 2021

News
| Minggu, 28 April 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Komitmen Bersama Menjaga dan Merawat Warisan Budaya Dunia

Wisata
| Kamis, 25 April 2024, 22:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement