Advertisement

Simposium Internasional Budaya Jawa 2024 Usung Tema Upacara Adat di Kesultanan Yogyakarta

Catur Dwi Janati
Minggu, 10 Maret 2024 - 14:37 WIB
Abdul Hamied Razak
Simposium Internasional Budaya Jawa 2024 Usung Tema Upacara Adat di Kesultanan Yogyakarta Suasana pembukaan Simposium Internasional Budaya Jawa pada Sabtu (9/3/2024) di Royal Ambarukmo. - Harian Jogja // Catur Dwi Janati

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN–Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat kembali menyelengarakan Simposium Internasional Budaya Jawa pada 9-10 Maret 2024.

Agenda simposium tahun ini mengambil momentum ulang tahun kenaikan takhta (Tingalan Jumenengan Dalem) Sri Sultan Hamengku Bawono Ka-10 dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas sebagai Prameswari Dalem yang diperingati setiap tanggal 7 Maret.

Advertisement

Pada edisi ke-6 kali ini, simposium mengusung tajuk "Upacara Adat di Kesultanan Yogyakarta." Bukan tanpa sebab tema ini diambil. Ketua Panitia, GKR Ratu Hayu mengungkapkan tema tersebut dipilih untuk meningkatkan pengetahuan akan pemahaman upacara adat yang berlaku di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. 

BACA JUGA: SINAU KAISTIMEWAAN DIY Mengenal Sosok Ngarso Dalem dari Orang Dekat

Berbagai paparan dari sudut pandang studi kelimuan yang beragam mulai dari antropologi, filologi, sejarah hingga politik menyangkut upacara adat akan dikemukakan dalam forum ini.

Simposium dibuka dengan tari Srimpi Wiraga Pariskara yang merupakan Yasan Dalem pertama dari Sri Sultan Hamengku Bawono Ka-10 yang berbentuk tari Srimpi. Sesuai dengan tema simposium, sumber inspirasi artistik tari srimpi ini adalah upacara adat. Pasalnya Srimpi Wiraga Pariskara adalah transformasi bentuk upacara tetesan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bentuk komposisi tari putri yang dibawakan oleh empat orang penari dan dua anak gadis kecil.

Secara umum, GKR Hayu menuturkan pelaksanaan adat di keraton berlaku secara turun temurun. Mengandung beragam nilai filosofis dan bersumber dari kearifan lokal. Setiap tahapannya menuntun nilai kesadaran dan kebersamaan antara Keraton hingga masyarakat.

"Inilah mengapa upacara adat di keraton juha berlangsung secara komunal dengan semangat golong gilig, bersatu padunya kehendak dan niat dalam karya, cipta dan karsa untuk menuju satu tujuan yang sama," ungkap Hayu di Royal Ambarukmo.

Selama lebih dari 200 tahun Keraton berdiri, dinamika sosial, lompatan masa transisi pra dan pasca-kemerdekaan Indoensia diungkapkan Hayu telah banyak membuat perubahan kebijakan. Perubahan ini turut berdampak pada penyelenggaraan upacara adat di keraton.

"Beragam penyesuaian dan penyederhanaan dilakukan, namun esensi upacara masih terus dijaga hingga kini. Ritual dan hiruk pikuk upacara adat juga perlahan menjadi rujukan wisata," ungkapnya.

BACA JUGA: Jalan Tol Jogja Solo Difungsikan untuk Mudik Lebaran 2024, Exit Tolnya di Ngawen Klaten

Simposium ini diharapkan Hayu dapat membangunkan semangat pembelajaran. Khususnya pada ilmu pengetahuan Jawa.

"Semoga simposium ini dapat kembali membangkitkan semangat pembelajaran budaya dan ilmu pengetahuan Jawa, secara meluas untuk generasi yang akan datang. Juga pengingat akan tradisi adiluhung sebagai bentuk penghargaan leluhur dan sejarah yang turut membangun di belakangnya," tegasnya.

Penghageng Kawedanan Kridhamardawa sekaligus Penghageng Kawedanan Kaprajuritan Keraton Yogyakarta, KPH Notonegoro menuturkan bahwa sebagian masyarakat sebenarnya masih ada yang melestarikan upacara adat. Salah satunya dalam prosesi pernikahan yang kebanyakan masih menggunakan gaya Jawa.

Namun ada juga beberapa upacara adat yang sudah jarang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Notonegoro berkurangnya penyelenggaraan upacara adat di masyarakat tak terlepas dari masa penjajahan.

"Oleh karena itu Keraton juga mencoba untuk mempublikasikan. Kita beberapa kali tetesan wayah dalem itu dipublikasikan ada di Youtube dan sebagainya. Itu digunakan sebagai referensi juga," ungkapnya.

Penghageng KHP Nitya Budaya, GKR Bendara menambahkan beberapa upacara adat memang masih dilaksanakan di lingkungan masyarakat. Namun karena yang melaksanakan upacara tersebut terkadang adalah artis atau pesohor, upacara adat jadi terkesan mahal. Padahal upacara adat dalam penyebarannya tidak selalu mahal.

"Mungkin karena yang melakukan ini adalah kebanyakan artis seperti mitoni dan sebagainya. Sehingga dianggap acara daur hidup itu mahal. Padahal tidak perlu, itu hanya keluarga inti saja sudah cukup," ungkapnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gunung Ibu Pulau Halmahera Meletus, Abu Vulkanik Setinggi 3,5 Kilometer

News
| Minggu, 28 April 2024, 00:37 WIB

Advertisement

alt

Sandiaga Tawarkan Ritual Melukat ke Peserta World Water Forum di Bali

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 19:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement