Warga Sepakat Larang Anak Gunakan Media Sosial
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sebanyak 29 dari 30 negara sepakat untuk melarang penggunaan media sosial untuk anak-anak. Masyarakat Indonesia menjadi kedua tertinggi, yang paling setuju pelarangan tersebut.
Survei tentang indeks persetujuan larangan bermedia sosial berasal dari Ipsos pada Agustus 2024. Hampir semua negara yang disurvei mendukung pelarangan media sosial bagi anak-anak di bawah 14 tahun, di dalam dan luar sekolah. Rata-rata tingkat persetujuan berada di angka 65%.
Advertisement
Prancis menjadi negara yang paling mendukung larangan pemakaian media sosial. Indonesia berada di urutan kedua, dengan 79% respondennya setuju dengan kebijakan ini. Proporsinya bahkan lebih tinggi ketimbang rata-rata global di angka 65%.
Sebaliknya, dari seluruh negara dalam survei, Jerman tercatat memberikan angka dukungan terendah, yakni sebesar 40%, disusul Polandia (51%), Jepang (52%), Swedia (53%), dan Thailand (55%). “Jerman adalah satu-satunya negara dalam survei kami yang mayoritas penduduknya tidak menganggap media sosial harus dilarang bagi kelompok usia ini,” tulis dalam laporan tersebut.
BACA JUGA : PWNU DIY Usulkan Pemerintah Bikin Aturan Melarang Anak di Bawah 16 Tahun Gunakan Medsos
Lebih lanjut, mayoritas gen Z (61%), milenial (68%), gen X (66%), dan boomers (66%) setuju bahwa anak-anak tidak diperbolehkan menggunakan media sosial. “Survei Ipsos tersebut berlangsung secara daring melibatkan 23.754 penduduk dewasa di bawah 75 tahun. Survei di 30 negara itu dalam rentang 21 Juni hingga 5 Juli 2024,” tulisnya.
Regulasi Bermedia Sosial
Di setiap waktu luang, kini sebagian orang akan menghilangkan bosan dengan membuka media sosial. Tidak hanya di Indonesia, banyak anak muda di berbagai negara juga melakukan hal yang sama. Bermain media sosial seakan menjadi afiksi.
Pemerintah Australia telah meresmikan peraturan yang membatasi pemakaian media sosial khususnya untuk anak-anak di bawah usia 16 tahun. Peraturan tersebut akan mulai efektif berlaku di akhir 2025. Media sosial yang dilarah termasuk Instagram, X, dan TikTok.
Langkah ini diambil untuk mengurangi dampak sosial dari media sosial terhadap generasi muda Australia. Para perusahaan teknologi akan dikenai denda mencapai US$32,5 juta jika tidak mematuhi peraturan tersebut.
Aturan baru ini mengundang perpecahan publik. Dikutip dari Reuters, kelompok pendukung hak anak terus menyampaikan oposisinya, mengungkapkan bahwa anak-anak memiliki hak untuk bisa menggunakan media sosial sesuai dengan kebutuhannya. Namun, menurut survei terbaru, sebanyak 77% warga mengaku setuju dengan adanya larangan ini.
Para orang tua juga terbelah dengan adanya aturan baru ini. Sebagian orang tua mendukung rencana peraturan tersebut, karena menilai anak muda belum bisa menggunakan media sosial dengan bijak. Namun tidak sedikit yang khawatir bahwa larangan ini justru akan berdampak negatif pada pertumbuhan mental generasi muda yang tidak bisa lepas dari media sosial. Mereka khawatir generasi muda malah akan berlari ke hal-hal lain yang malah lebih berdampak negatif, seperti narkoba.
Di Indonesia, penggunaan media sosial di kalangan anak-anak juga bisa dibilang cenderung tinggi. Sebanyak 62% anak-anak tercatat mengakses internet untuk menggunakan media sosial. Indonesia juga masuk jajaran negara yang paling mendukung larangan media sosial di kalangan anak-anak.
Penyusunan dan Kajian Mendalam
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring yang salah satunya mengatur pembatasan anak dalam menggunakan media sosial.
"Saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Perpres Perlindungan Anak di Ranah Daring yang mengatur pembatasan bagi anak dalam penggunaan media elektronik yang harus didampingi oleh orang tua atau pengasuhnya," kata Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu, beberapa waktu lalu.
Rancangan Perpres tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring merupakan bentuk kehadiran negara untuk melindungi anak-anak yang sangat rentan menjadi korban kekerasan di ranah daring. Rancangan Perpres ini mencakup tiga strategi perlindungan anak di ranah daring, antara lain strategi pencegahan terjadinya penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi terhadap anak di ranah daring.
Fokus strategi yang digunakan di antaranya melalui pengendalian risiko dengan intervensi kunci antara lain mengidentifikasi, menapis, dan memutus akses berdasarkan risiko dan bahaya, termasuk mempersiapkan kebijakan terkait tata kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE) untuk menerapkan mekanisme perancangan teknologi informasi ramah anak.
Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring disusun agar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah memiliki panduan dalam melaksanakan perlindungan anak di ranah daring. Penyusunan Rancangan Perpres ini melibatkan lebih dari 16 kementerian/lembaga. Regulasi ini diharapkan menjadi acuan bagi para pemangku kebijakan dalam menurunkan angka kekerasan online dan meningkatkan kolaborasi lintas sektor.
Perlu Kajian Mendalam
Pemerintah dan sektor terkait lainnya perlu mengkaji lebih mendalam terkait pelarangan media sosial untuk anak-anak. Anggota Komisi X DPR RI, Puti Guntur, mengatakan aturan larangan bermedia sosial untuk anak-anak, ada sisi positif dan negatif yang berpotensi muncul. Wacana aturan pelarangan media sosial untuk anak-anak sempat muncul dari Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Ahmad Zuhdi Muhdlor. Dia mengusulkan pemerintah membuat aturan melarang anak-anak dan remaja di bawah 16 tahun menggunakan media sosial.
Menurutnya, usulan tersebut sebagaimana beleid yang bakal berlaku di Australia. Undang-Undang (UU) yang disahkan oleh Senat Australia pada Kamis (28/11) itu akan melarang siapapun yang berusia kurang dari 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Instagram, Snapchat, Facebook, Reddit, dan X.
Puti menyoroti penggunaan gawai oleh anak yang juga perlu diperhatikan. Ia menilai gawai dengan media sosial yang bisa diakses di dalamnya seperti pisau bermata dua atau memiliki nilai positif, namun juga diikuti ancaman bahaya. "Perlu diatur bagaimana penggunaan gawai pada anak agar anak tidak gagap teknologi dan ketinggalan informasi, tapi juga harus dipastikan tidak berlebihan dalam penggunaannya," ujar Puti.
Sebelumnya Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese menyebut pelarangan media sosial bagi anak di bawah umur yang mulai berlaku akhir tahun depan tersebut penting "untuk melindungi kesehatan mental dan kemaslahatan" anak-anak muda. UU yang sudah terlebih dahulu disahkan DPR Australia pada Rabu (27/11) tersebut akan menjatuhkan denda sebesar hingga 50 juta dolar Australia (Rp516 miliar) bagi perusahaan pelanggar.
Namun, menurut UU tersebut, pengelola media sosial tak dapat memaksa penggunanya memberikan bukti identitas, seperti KTP digital, untuk memastikan usia mereka. Dalam pemungutan suara di Senat, UU tersebut disetujui oleh 34 senator dan ditolak 19 lainnya. Sementara, 102 anggota DPR Australia menyetujui UU dan hanya 13 yang menolak.
Pendampingan dan Pembatasan Bermedia Sosial
Orang tua dan lingkungan sekitar perlu mendampingi dan membatasi waktu bagi anak menggunakan media sosial.
Plt Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rini Handayani, mengatakan perkembangan teknologi adalah laksana pisau bermata dua karena memiliki sisi positif dan negatif. Pihaknya juga mendorong Kementerian Kominfo dan Digital agar terus menghapus konten-konten yang tidak senonoh di media sosial.
Di sisi lain, Rini Handayani juga menyampaikan pentingnya orang tua sebagai panutan bagi anak. "Anak-anak itu butuh role model. Ibunya melarang anak untuk menggunakan media sosial, tapi ibunya melakukan itu (menggunakan media sosial)," katanya, beberapa waktu lalu.
BACA JUGA : Pemerintah Disarankan Bikin Aturan Bermain Gawai pada Anak
Untuk itu, harus ada penguatan peran perempuan dalam mendidik anak. "Harus menguatkan bagaimana peran perempuan sebagai seorang ibu, sebagai kakak, sebagai tante," katanya.
Hal ini penting karena perempuan sebagai ibu juga harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak untuk berkeluh kesah. "Kadang orang tua mengatakan anaknya anteng, tidak keluar rumah. Padahal di dalam (kamar) tidak tahu kondisinya seperti apa. Bahkan dikunci pintunya," katanya.
Selain itu, hak anak untuk berpartisipasi menyampaikan pandangan juga harus difasilitasi oleh orang tuanya. "Jangan sampai akhirnya anak mencari teman di media sosial untuk curhat," kata Rini Handayani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Libur Natal dan Tahun Baru, Hampir 500 Ribu Kendaraan Telah Keluar dari Jabodetabek
Advertisement
Mulai 1 Januari 2025 Semua Jalur Pendakian Gunung Rinjani Ditutup
Advertisement
Berita Populer
- Amankan Natal dan Tahun Baru, Polresta dan Satpol PP Jogja Kerahkan Ratusan Personel
- DIY Bakal Kedatangan 9,4 Juta Orang, Ribuan Personel Diterjunkan Amankan Libur Akhir Tahun
- Diduga Bekerja ke Kamboja Secara Non Prosedural, Imigrasi Yogyakarta Cegah Keberangkatan 3 WNI
- Sepekan Belum Ditemukan, Pencarian Korban Sungai Mbelik Bantul Dihentikan
- DPRD DIY Gelar Wayang Kulit Duryudana Gugur, Ajak Masyarakat Renungkan Nilai Kepemimpinan
Advertisement
Advertisement