Advertisement
Sosok Minta Harsana: Mengenalkan Kuliner Tradisional Seakar-Akarnya
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Minta Harsana mengenalkan kuliner tradisional melalui jalur akademisi dan praktik di lapangan. Baginya, mayoritas masyarakat suka dengan makanan tradisional, hanya perlu pendapatan yang pas untuk mengenalkan.
Halaman rumah Minta Harsana di Ngemplak, Sleman, tidak terlalu luas. Hanya dua sampai tiga mobil bisa parkir secara bersamaan. Di salah satu sisi rumah, ada satu pintu yang membawa tamu ke ruang pendopo, dengan halaman yang cukup luas.
Advertisement
Di satu waktu, pendopo tersebut untuk kegiatan para Komunitas Kandang Kebo, sekelompok orang yang senang sejarah. Di pojok area pendopo, dulu memang ada kandang kerbau. Saat rumah Minta menjadi awal berkumpulnya komunitas, jadilah namanya Kandang Kebo.
BACA JUGA : Hari Pertama, 2.629 Siswa di Magelang Dapat Makanan Bergizi Gratis
“Di Borobudur ada relief kerbau, jelmaan Budha, jadi kerbau bisa bermakna kebijaksanaan. Di Sunda, Minangkabau, Nusa Tenggara Timur, kerbau menempati ruang yang tinggi. Di Jawa orang mengatakan kerbau [simbol] plonga-plongo, [itu bisa jadi bagian dari] adu domba Belanda,” kata Minta, beberapa waktu lalu.
Tidak hanya untuk kumpul komunitas, Minta sering membawa tamunya, termasuk dari luar negeri, untuk mengeksplorasi pangan tradisional. Dia ingin memberikan pengalaman yang berbeda, bahwa wisata kuliner tidak melulu tentang jajan dan makan. Minta memberikan pengalaman turis mancanegara untuk belajar bumbu-bumbu dan blusukan ke pasar tradisional.
Beberapa wisatawan luar negeri kaget saat melihat pasar bumbu di Jogja. Berbeda dengan bumbu yang sudah siap saji, di Indonesia, termasuk Jogja, penjual bumbu menyediakan bahan baku secara terpisah. Minta mengenalkan berbagai jenis bumbu hingga cara memasaknya.
“Kita selalu ketakutan bule tidak mau makanan kita, siapa bilang, saya buktikan tamu bule dari Bali ke Jogja, terus ke rumah, kami ajari dari membeli bahan sampai masak. Mereka bilang ini bagus sekali. Jogja bisa jadi market kuliner tradisional,” kata Minta. "Saya kenalkan sayur lodeh, masak gereh, tempe garut, dan sebagainya."
Ratusan Jenis Bumbu
Minta merupakan dosen Tata Boga di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan gelar doktor. Dia banyak membuat penelitian dan buku tentang gastronomi (ilmu dan seni yang berkaitan dengan makanan, mulai dari cara menyiapkan, menyajikan, hingga pemaknaannya). Salah satu konsennya tentang gastronomi di Jogja.
Menurutnya, Jogja kaya akan budaya dan sejarah gastronomi. Dalam dunia perbumbuan misalnya, Jogja menjadi wilayah terbanyak ketiga dengan variasi bumbu. Dari 135 jenis bumbu yang ada di Indonesia, Jogja memiliki 119 jenis bumbu. “Ada bumbu yang tidak dimiliki oleh daerah lain, dan hanya ada di Jogja, yaitu peterese dan tempe bosok, jadi ciri khas bumbu di Jogja,” katanya.
Jogja juga menjadi jalur perdagangan rempah-rempah. Sekitar tahun 1912, Pasar Beringharjo memiliki satu lokasi khusus yang menjual rempah-rempah. Kekayaan ini yang perlu semakin digali dan dimaknai oleh masyarakat. Minta, dengan kerja-kerja akademisnya, mencoba mendokumentasikan berbagai jenis kuliner tradisional yang ada di Jogja.
Pengenalan kuliner tradisional juga bisa berupa wisata keluarga, yang seringnya berupa nostalgia. Mungkin saat beberapa orang kuliah di Jogja, dia jarang langganan makanan seperti pecel dan sejenisnya. Namun saat sudah lulus dan liburan ke Jogja, dengan mengajak anak, orang tua mengenalkan makanan tradisional itu ke generasi muda. “Dalam penelitian, ada 68 makanan legend [di Jogja] rata-rata laris semua,” kata Minta.
Anak Muda Juga Suka
Anggapan anak muda yang acuh dengan kuliner tradisional tidak sepenuhnya benar. Sebagian anggapan yang muncul, bahwa anak muda lebih senang dengan kuliner kekinian dan mancanegara. Namun Minta berpendapat anak muda banyak yang tertarik mencoba kuliner tradisional.
Hal tersebut terutama saat mereka melihat di kanal media sosial atau jejaring internet lainnya. Saat YouTuber dengan follower yang besar mengulas makanan, penontonnya juga akan tertarik. “Anak muda ingin tahu dan mencoba [kuliner tradisional], tugas kita mengemas, mengidentifikasi, dan mengenalkan, ada transformasi budaya. Setelah kami jelaskan, satu dua anak muda mengatakan ‘Ternyata ada ya makanan seperti ini, kenapa saya enggak ngerti’,” kata Minta, laki-laki berusia 55 tahun tersebut.
Minta setuju bahwa kuliner tradisional perlu inovasi, baik dari sisi bahan, cara masak, hingga pengemasan. Misalnya makanan yang sebelumnya hanya bertahan fresh beberapa puluh menit, dengan rekayasa cara mengolah, bisa lebih lama daya tahannya. Termasuk dari sisi pengemasan, perlu lebih bersih, menarik, dan ramah untuk oleh-oleh.
Di sisi lain, inovasi juga tidak baik kalau kebablasan. Unsur tradisional tetap harus dipertahankan. Sehingga pengolah kuliner tradisional perlu paham makna dari setiap bahan, cara masak, hingga penyajian makanan tradisional. Ada makna khusus di setiap bagiannya.
Ke depan, Minta berharap setiap daerah di Indonesia bisa mengidentifikasi kuliner tradisionalnya. Setelah itu, bisa didata, dan kemudian didigitalisasikan, agar masyarakat mudah dalam mengakses dan mempelajarinya. “Setelahnya gimana memperkenalkan,” katanya. “Selalu kami ingatkan, untuk menyajikan [kuliner tradisional] di hotel-hotel, untuk mengenalkan [pada masyarakat] agar lebih lestari.”
Mematri Kajian Gastronomi
Selama 18 tahun konsen pada kajian gastronomi, Minta Harsana telah menghasilkan 269 karya tulis yang rilis di jurnal ilmiah. Dia juga telah menyusun 16 buku. Semua bertemakan gastronomi tradisional Nusantara dan aspek-aspek pariwisatanya.
Salah satu buku Minta berjudul Gastronomi Makanan Tradisional: Pengembangan Wisata Kuliner Berbasis Makanan Tradisional Khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Buku terbitan 2022 itu dikembangkan dari disertasinya yang memuat lengkap berbagai kekayaan gastronomi DIY. Dalam hasil penelitian tersebut, wisatawan sangat setuju makanan tradisional di DIY itu unik. Makanan tradisional juga menawarkan berbagai pilihan menu serta memberikan perasaan menyenangkan sewaktu menikmati.
“Berdasar aspek kualitas makanan, wisatawan sangat setuju makanan tradisional mewakili budaya, makanan tradisional memiliki aroma yang enak, tekstur makanan tradisional mudah dikunyah, porsi makanan sudah tepat, dan bergizi,” tulis Minta dalam penelitiannya.
BACA JUGA : Ini Dia Antisipasi Dispar dan Pedagang Kuliner Depok Bantul soal Nuthuk Harga
Dari aspek penyajian dan pengaturan makanan tradisional, kuliner di DIY sudah dianggap baik. Makanan tradisional memiliki warna yang baik, disajikan dengan bersih, menarik perhatian, memberikan selera yang bagus, dan harga yang terjangkau. Berdasarkan aspek kualitas bahan baku, makanan tradisional di DIY terdiri dari bumbu dan bahan utama yang segar, bervariasi, dan hiasan yang dapat dimakan. Untuk aspek metode memasak makanan tradisional di DIY juga sudah higienis.
Dalam penelitiannya, Minta menganggap peran stakeholders yang terdiri dari pemerintah, akademisi dan tenaga ahli, pelaku usaha, komunitas, media, dan pelaku wisata belum maksimal dalam mengembangkan makanan tradisional sebagai daya tarik wisata kuliner di DIY. “Harus ditingkatkan perannya, antara lain sebagai pembuat regulasi dan kebijakan dalam pendidikan dan pelatihan, promosi, penelitian, inovasi produk dan informasi serta terlibat dalam desain strategi dan rencana aksi,” tulisnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Jadwal Perjalanan Haji 2025 Resmi Diterbitkan, Ini Urutan Berangkatnya
Advertisement
Asyiknya Camping di Pantai, Ini 2 Pantai yang Jadi Lokasi Favorit Camping Saat Malam Tahun Baru di Gunungkidul
Advertisement
Berita Populer
- Pelatih PSS Berharap Marcelo Cirino da Silva dan Vico Duarte Bisa Bermain saat Jumpa Persebaya
- Gunungkidul Waspadai Ancaman HMPV, Tingkatkan Surveilans dan Sosialisasi
- PPN 12 Persen, PHRI Sleman Sebut Belum Ada Kenaikan Tarif Sewa Kamar
- Antisipasi Penularan HPMV di Bandara YIA, Balai Karantina Kesehatan Tingkatkan Pengawasan
- 50 KK di Bantul Masuk Daftar Tunggu Diberangkatkan Sebagai Transmigran
Advertisement
Advertisement