Advertisement

Tembus Dinginnya Antartika, Peneliti UGM Ini Bawa Pulang Batu Berumur 2 Miliar Tahun demi Pengetahuan

Catur Dwi Janati
Rabu, 05 Februari 2025 - 19:17 WIB
Arief Junianto
Tembus Dinginnya Antartika, Peneliti UGM Ini Bawa Pulang Batu Berumur 2 Miliar Tahun demi Pengetahuan Nugroho Imam Setiawan, Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM saat menjelajah Antartika. - Istimewa

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN—Menembus dinginnya dataran Antarktika, Nugroho Imam Setiawan, Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM sebongkah demi sebongkah meneliti batuan metamorf Antartika yang tersembunyi dalam es. Tak hanya untuk dirinya sendiri, Nugroho membawa bongkahan metamorf Antarktika berumur miliaran tahun ke Indonesia untuk media pembelajaran.

Perjalanan ekspedisi Antarktika dilakukan Nugroho pada 2016-2017. Selama kurang lebih empat bulan mulai pertengahan November 2016 hingga Maret 2017, Nugroho menjelajah daratan Antartika.

Advertisement

Bersama National Institute of Polar Research dari Jepang dan lembaga Japan Antarctic Research Expedition (JARE), Nugroho berangkat ke Antarktika. "Pada saat itu tujuan kami adalah melakukan penelitian tentang evolusi benua Antarktika dari studi petrologi batuan metamorf," ujar Nugroho, Senin (3/2/2025).

Batuan metamorf di Antarktika, lanjut Nugroho, terbentuk dari evolusi kurang lebih 2,5 miliar sampai 500 juta tahun yang lalu. Bebatuan itulah yang dijumpai dan diteliti Nugroho selama menapaki lantai beku Antarktika. "Umurnya berkisar antara itu dan itu yang kami lakukan penelitian di sana untuk mendetailkan evolusi di petrologi di batuan metamorf di Antarktika, seperti itu," ujarnya.

Di dinginnya udara minus Antarktika, Nugroho setiap hari berjalan berkilo-kilometer menjelajah daratan benua terluas di dunia itu untuk menyingkap batuan-batuan metamorf yang disembunyikan es di sana. "Jadi kami tinggal di dalam tenda, satu orang satu tenda, setelah itu kurang lebih seminggu sampai 10 hari, kami dijemput kemudian dipindah lagi, begitu seterusnya selama kurang lebih dua bulan," jelasnya. 

Berbekal palu geologi digenggamannya, Nugroho mengetuk dinding dan lantai Antarktika, untuk mengorek sampel bebatuan di dalamnya. "Tidak menggali, mengambil sampel, kami geologis itu bawa palu, jadi batunya dipukul, kemudian kita ambil sekepalan tangan, kemudian disimpan," ucap Nugroho.

"Kami mengambil sampel kurang lebih satu sekepalan tangan," imbuhnya.

Setidaknya ada delapan titik survei di Antarktika yang dijelajahi Nugroho. Kedelapan titik itu meliputi Akebono, Akarui, Tenmodai, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Langdove, West Ogul dan Mt. Riiser Larsen.

Sampel bebatuan yang dikumpulkan Nugroho selanjutnya diangkut ke kapal dan diteliti. Jenisnya, umurnya, semua tak lepas dari mata penelitian Nugroho. Aktivitas pengumpulan terus dilakukan Nugroho selama berbulan-bulan. "Kami melakukan studi dengan lebih detail, menghitung suhu dan tekanan batuan terbentuknya, menghitung umur batuan, itu kami lakukan pendetilan di sana," ucap dia.

Antarktika dan Sri Lanka

Dalam ekspedisi Antarktika, Nugroho menemukan banyak batuan metamorf dan granitodis, maupun perpaduan keduanya yakni batuan migmatit. Batuan dengan struktur sarang lebah yang dikenal dengan honeycomb structure juga ditemukan Nugroho dalam ekspedisi Antartika.

Honeycomb structure terbentuk dari gerusan angin secara terus menerus. Nugroho memaparkan jika jenis batuan yang dia temukan ini mirip dengan batuan di Sri Lanka.

Menurut Nugroho, hal ini bisa terjadi lantaran dulunya Antarktika dan Sri Lanka merupakan satu daratan yang sama.

Sebagai peneliti di Antarktika, Nugroho memiliki akses untuk membawa sampel batuan. Hasil penelitian akan batuan Antarktika ini tak hanya dipublikasikan di ada tujuh jurnal internasional, namun Nugroho juga membawa batuan Antarktika berumur 2 miliar tahun untuk wadah pembelajaran di Indonesia.

"Beberapa sampel ini saya hibahkan ke Museum Geologi, jadi untuk civitas academica masyarakat Indonesia sudah bisa untuk belajar, melihat langsung batuan di Antarktika, itu di Museum Geologi sudah saya sumbangkan di sana," ungkapnya.

Nugroho juga membawa sampel batuan untuk materi pembelajaran bagi mahasiswa di Teknik Geologi UGM.

Akan tetapi Nugroho dengan tangan terbuka menerima mahasiswa geologi dari kampus lain di Indonesia yang ingin melihat atau mempelajari batuan di Antarktika bisa berkunjung ke UGM atau ke Museum Geologi di Bandung.

"Itu sampel-sampel itu saya gunakan untuk mahasiswa saya, saya tunjukkan ini sampel yang ada di Antarktika. Suhunya sangat tinggi yang tidak bisa dijumpai di daerah manapun, bahkan di Indonesia. Usianya juga sangat tua, seumur dengan bumi. Itu membuat mereka tertarik untuk belajar petrologi dan itu membuat mereka lebih gembira," imbuhnya. 

Persiapan ke Antarktika

Perjuangan Nugroho membawa material bebatuan untuk pengetahuan tak ia raih dengan jalan pintas. Sebelum berangkat ke Antarktika dia harus melakukan penyesuaian suhu dingin di salah satu gunung di Jepang. 

Nugroho harus menjalani pelatihan bertahan hidup di kondisi ekstrem. Mulai daeipendirian tenda, hingga belajar cara buang air di daratan beku.

Pasalnya feses yang diproduksi manusia di Antartika harus dibawa pulang karena suhu ekstrem membuat bakteri pengurai kotoran tidak dapat hidup di sana. Akibatnya kotoran yang dihasilkan harus dibawa kembali dan dibakar di kapal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

MKMK Pertanyakan Keputusan DPR RI Terkait Tata Tertib hingga Punya Kewenangan Mengevaluasi Hakim Konstitusi

News
| Rabu, 05 Februari 2025, 17:57 WIB

Advertisement

alt

Hindari Macet dengan Liburan Staycation, Ini Tipsnya

Wisata
| Senin, 27 Januari 2025, 18:07 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement