Advertisement

Hutan Ternyata Bisa Jadi Tempat Terapi untuk Memulihkan Kesehatan Fisik dan Mental

Sirojul Khafid
Jum'at, 07 Maret 2025 - 07:47 WIB
Sunartono
Hutan Ternyata Bisa Jadi Tempat Terapi untuk Memulihkan Kesehatan Fisik dan Mental Hutan / Ilustrasi Freepik

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Alam sudah menyediakan semua kebutuhan untuk manusia, termasuk untuk pengobatan. Saat seseorang stres fisik maupun mental, yang bisa berdampak buruk pada kesehatannya, terapi hutan bisa menjadi alternatifnya.

Terapi hutan juga biasa disebut healing forest. Konsep yang sebenarnya sudah lama ada ini semakin populer setelah adanya penelitian yang menjelaskan manfaatnya. Salah satunya penelitian dari Matther P. White, yang dipublikasikan jurnal Scientific Report Volume 9 Edisi 12 Juni 2019. Temuannya menyatakan bahwa pohon, ekosistem hutan, dan alam terbuka bisa memulihkan kesehatan fisik dan mental.

Advertisement

Dalam penelitiannya, White menganalisis kondisi fisik dan kejiwaan hampir 20.000 responden di Inggris. Dia dan tim menyimpulkan bahwa daya tahan tubuh para responden terhadap serangan virus naik setelah mereka berjalan di alam terbuka, di taman, atau pantai selama 120 menit hingga 300 menit.

Temuan ini semakin mengangkat istilah “forest bathing”, yang sebelumnya diserap dari istilah Jepang “shinrin-yoku”. Istilah shinrin-yoku dikenalkan oleh Qing Li, Presiden Kelompok Pengobatan dari Hutan di Tokyo, dalam bukunya dengan judul yang sama Shinrin-Yoku: The Art and Science of Forest Bathing. 

BACA JUGA : Disbud DIY Luncurkan Buku Sejarah dan Dongeng tentang Hutan

Qing berpendapat bahwa berjalan di bawah hutan dan menjumpai kehijauan alam adalah faktor penting dalam memerangi penyakit di tubuh dan pikiran. Di setiap harinya, Qing berjalan-jalan di taman kota di dekat Nippon Medical School di Tokyo. Dalam sebulan Qing menghabiskan tiga hari berjalan di hutan alam Jepang yang sebenarnya. Dalam buku yang terbit pada 2018 itu, Li membuat panduan “mandi hutan”:

“Tinggalkan ponsel dan kamera. Berjalanlah tanpa tujuan dan perlahan. Biarkan tubuhmu yang menuntun arahmu. Dengarkan ke mana ia ingin membawamu. Ikuti hidung dan pancaindramu. Tidak masalah jika kamu tidak berjalan dan hanya diam. Nikmatilah suara, aroma, dan pemandangan alam dan biarkan alam memasukimu dan kamu memasukinya.”

Penerapan di Indonesia

Di Indonesia, beberapa orang menerapkan proses serupa. Salah satunya Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Hikmat Ramdan. Dia sudah mengembangkan “healing forest” dan menelitinya selama bertahun-tahun. 
Alumni Fakultas Kehutanan IPB Angkatan 1990 ini menguji konsep healing forest dalam acara Forest Camp pada para alumni Fakultas Kehutanan IPB pada 27 Oktober 2019 di Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. Dengan aplikasi Smart Pulse, yang dibuat Korea, Hikmat mengukur kondisi stres fisik (physical stress) dan mental (mental stress) enam relawan untuk diuji sebelum dan setelah berjalan di hutan.

Gunung Walat berada di ketinggian 720 meter dari permukaan laut yang dihuni vegetasi pegunungan dataran rendah seperti damar dan agathis. Gunung Walat seluas 359 hektare ini merupakan hutan pendidikan Fakultas Kehutanan IPB. Ada jalur jalan setapak di antara tegakan pohon menuju areal kemping yang berjarak sekitar 2 kilometer dari kantor pengelola.
Sebelum menerapkannya di Gunung Walat, Hikmat telah menguji “healing forest” di Taman Wisata Alam Puncak Bintang KPH Bandung Utara, Jawa Barat. “Ekosistem hutan di sana telah menurunkan stres rata-rata hingga 20 level,” katanya, dikutip dari Forest Digest.

Hikmat mengatakan bahwa stres pada manusia timbul karena tubuh merespons negatif terhadap keadaan sekeliling. Maka dari itu, konsep penyembuhannya dengan memanfaatkan ekosistem hutan agar manusia dan lingkungannya saling terkoneksi. 

Efek Positif Hutan

Ada cara dan syarat tertentu untuk menjalani terapi hutan, terutama apabila ingin membuatnya menjadi sarana penyembuhan.  Dosen Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung, Hikmat Ramdan, mengatakan salah satunya ukuran objek di hutan yang tertangkap oleh panca indra. 

Untuk kenyamanan, suara di sekeliling tidak lebih dari 40 desibel; penglihatan sekeliling tidak tertutup, indah, dan menyejukkan mata; bau tidak menyengat; pengecapan yang normal; rasa yang dipengaruhi suhu sekeliling yang sejuk—tidak terlalu panas dan kering; serta gerak tubuh yang ringan tidak berakibat pada kelelahan.

Dari penelitiannya, Hikmat menemukan bahwa ruang ekosistem yang memberikan rasa nyaman bagi tubuh di antaranya jika suhu maksimal 24 derajat Celsius, kelembapan udara 65-70%, intensitas cahaya 300-500 lux, kerapatan vegetasi 70-100%, kebisingan di bawah 40 desibel, serta kelerengan datar sampai landai. 

“Kalau terlalu terjal juga lutut akan nyorodcod, akan tidak nyaman berjalan,” katanya, dikutip dari Forest Digest. 

Saat tubuh semakin nyaman, maka level stres bisa turun. Hutan bisa memberikan kenyamanan dan menurunkan stres, lanjut Hikmat, lantaran resultante dari ruang hutan yang didominasi warna hijau alamiah, suhu yang sejuk dengan penyinaran matahari yang terfilter tajuk pohon-pohon, kebisingan suara dalam hutan yang minimal dan menenangkan, banyaknya udara bersih yang terhirup masuk ke dalam tubuh serta aktivitas yang rileks yang tidak menimbulkan kelelahan, kehausan dan rasa lapar, serta menciptakan rasa nyaman secara fisik dan mental.

BACA JUGA : Jejak Diduga Macan di Gunungkidul Masih Ditelusuri, Warga Jangan Beraktivitas di Kebun Saat Malam

Kondisi itu memudahkan seseorang untuk terkoneksi dengan ekosistem. Hasilnya, stres bisa turun. Secara sederhana, stres dipicu oleh hal-hal yang tidak nyaman bagi tubuh, baik secara fisik ataupun psikis.

Udara yang segar mengandung banyak phytoncides, bahan kimia alami yang diproduksi tanaman dalam melindungi diri dari serangan hama dan serangga. Dalam beberapa informasi menyatakan, jika seseorang menghirup zat kimia ini, tubuh akan meresponsnya dengan meningkatkan jumlah. Di samping itu, terdapat aktivitas pada jenis sel darah putih yang menjadi sel pembunuh alami. Sel-sel ini berperan membunuh sel-sel yang terinfeksi tumor dan virus dalam tubuh manusia.

Penelitian-penelitian forest bathing, terutama yang dirumuskan Qing Li, menemukan bahwa naiknya aktivitas sel pembunuh kanker terjadi setelah berjalan di hutan tiga hari dua malam dalam kurun 30 hari. Pakar terapi hutan itu salalu menyempatkan diri berjalan-jalan di taman dua jam setiap sore dan masuk hutan tiap akhir pekan untuk mengakumulasikan waktu tempuh “shinrin-yoku”. Para peneliti Jepang tengah meneliti apakah “mandi hutan” bisa menyembuhkan jenis kanker tertentu.

Hikmat mengatakan bahwa healing forest menuntut beberapa syarat. Sebetulnya dalam proses penyembuhan memakai hutan, lanjutnya, ekosistemnya mesti ditentukan lebih dahulu karena ada beberapa syarat lain yang harus dipenuhi. “Tidak
semua kawasan hutan punya spot untuk healing forest,” katanya.

Healing forest menekankan pada kontribusi ruang ekosistem hutan menyediakan “healing services” bagi manusia. Pendekatan ekosistem hutan terhadap kesehatan ini yang difokuskan dalam “healing forest”. 

“Karena dalam healing, tidak saja menyembuhkan yang sakit tapi memperkuat yang sehat, dan sebagai pemulihan setelah sakit,” kata Hikmat. “Sebab kita adalah mahluk ekologis, mahluk yang membutuhkan ekosistem alamiah berikut jasa-jasa ekosistemnya, termasuk jasa untuk kesehatan.”

Laju Deforestasi Hutan Menurun

Saat berbicara tentang terapi hutan, maka unsur pentingnya ya hutan itu sendiri. Sayangnya, perkembangan pembangunan tidak jarang mengorbankan pembukaan hutan yang berdampak pada deforestasi. Meski sedikit kabar baiknya, laju deforestasi hutan menurun secara global. 

Pada periode 1990–2000, deforestasi hutan di dunia sekitar 15,8 juta hektare (ha) per tahun. Sementara pada 2015–2020, deforestasi sekitar 10,2 juta ha per tahunnya. Data ini berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2024. 

Adanya penurunan deforestasi, atau perubahan wilayah hutan menjadi bukan hutan, bisa menjadi kabar baik dalam peringatan Hari Hutan Indonesia yang bertepatan pada 7 Agustus ini. Per tahun 2020, luasan hutan menutupi sekitar 31 persen seluruh permukaan Bumi. Luas hutan kurang lebih 4,1 miliar ha.

Bagian hutan terbesar berada di daerah tropis, kemudian daerah boreal, hutan beriklim sedang, dan iklim subtropis. Lebih dari setengah (54 persen) hutan dunia hanya berada di lima negara, yaitu Rusia, Brazil, Kanada, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Sementara dua pertiga hutan di dunia berada di 10 negara, termasuk di dalamnya Australia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Peru, dan India.

Selama periode 1990 dan 2020, diperkirakan 420 juta ha hutan dikonversi menjadi penggunaan lahan lain. Namun penurunan laju deforestasi terlihat pada periode 2015 hingga 2020. Dari yang sebelumnya deforestasi sekitar 15,8 juta ha per tahun, menjadi 10,2 juta ha. Dari jumlah tersebut, deforestasi di Afrika sekitar 4,41 juta ha, Amerika Selatan sebesar 2,95 juta ha, dan Asia sekitar 2,24 juta ha. 

“Dalam Survei Penginderaan Jauh (RSS) tahun 2020, mengkonfirmasi adanya tren penurunan deforestasi global. Adapun perubahan kawasan hutan dari waktu ke waktu disebabkan oleh dua hal faktor, yaitu deforestasi, dan perluasan hutan di kawasan yang sebelumnya merupakan lahan penggunaan lain,” tulis dalam laporan tersebut.

Meski hutan masih banyak yang hilang dengan berbagai kepentingan, penurunan deforestasi ini apabila dihitung dengan adanya perluasan pembentukan hutan. Sehingga perhitungannya berupa perluasan hutan dikurangi dengan deforestasi. Perhitungan ini yang menjadikan laju deforestasi terhitung menurun dibandingkan sebelumnya.

Laju Deforestasi di Indonesia

Laju deforestasi di Indonesia pada tahun 2021–2022 menurun sekitar 8,4 persen, apabila dibandingkan dengan tahun 2020–2021. Tingkat deforestasi ini tercatat menjadi yang terendah sejak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mulai melacak data hutan pada 1990.

“Dibandingkan data pada tahun 1990, penurunan [deforestasi] total mencapai 90 persen,” tulis dalam laporan. “Sementara Brazil mencapai prestasi yang luar biasa. Pengurangan deforestasi sebesar 50 persen pada tahun 2023, dibandingkan dengan tahun 2022 di Hutan Legal Amazon.”

Hutan Amazon menempati sekitar 60 persen dari total luas negara Samba tersebut. Penurunan laju deforestasi juga terjadi di Afrika. Sebagai catatan, data-data yang masuk juga berasal dari laporan setiap negara, sehingga ada potensi ketidakakuratan atau faktor lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Warga Bekasi Mengaku Terharu Saat Didatangi Presiden Prabowo di Tengah Banjir

News
| Minggu, 09 Maret 2025, 03:07 WIB

Advertisement

alt

Ramadan, The Phoenix Hotel, Grand Mercure & Ibis Yogyakarta Adisucipto Siapkan Menu Spesial

Wisata
| Jum'at, 28 Februari 2025, 11:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement