Advertisement
NAYANTAKA DIY: Pamong Harus Welas Asih, Ngemong Tanpa Pamrih

Advertisement
Gubernur DIY, Sri Sultan HB X, mengukuhkan pengurus Paguyuban Lurah dan Pamong Kalurahan Nayantaka, di Kepatihan, Senin (24/3). Ngarsa Dalem berharap lurah mampu adaptif namun tetap berakar pada tradisi.
Dalam pengukuhan ini, Lurah Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Sleman, Gandang Hardjanata, kembali dilantik menjadi Ketua Nayantaka. Selain Gandang, empat lurah lain juga dikukuhkan menjadi ketua pengurus di empat kabupaten di DIY.
Sri Sultan HB X menjelaskan, Nayantaka merupakan cerminan dari nilai yang hidup dalam denyut nadi masyarakat. “Nilai itu adalah Kêrta Winengku Among-Praja, bahwa kesejahteraan sejati, bukan hanya dibangun dengan kebijakan, tetapi harus dijaga dengan pengabdian,” tutur Ngarso Dalem.
Advertisement
Di tangan para pamong yang menghayati dharmanya, rakyat merasa ditemani, didengarkan, dan dilindungi. Maka, menjadi pamong bukan sekadar menjalankan tugas, tetapi menyatu dalam laku, dan dalam diam, lurah harus selalu hadir. “Dalam tindakan, pamong wajib menuntun. Dalam kepemimpinan, lurah tidak menjulang, namun memayungi,” katanya.
Para lurah diharapkan selayaknya Ki Semar dalam jagad pewayangan, meski sederhana dan bersahaja, namun justru menjadi simbol kepemimpinan sejati. Lurah harus menuntun dengan welas asih, dan ngemong tanpa pamrih demi tercapainya cita-cita besar reformasi kalurahan.
“Dalam konteks penguatan kalurahan, filosofi ini menjadi penting sebagai dasar dalam membangun sistem pemerintahan desa yang adaptif, namun berakar. Kita sedang membentuk kepemerintahan yang adaptif, dengan tetap menjunjung nilai tradisi sebagai kompas moral,” ungkap Sultan.
Nayantaka diharapkan hadir sebagai ruang aktualisasi nilai kepamongprajaan, yang menyeimbangkan antara ketaatan pada kerangka regulasi, dan keluwesan dalam memahami realitas sosial di masyarakat. “Para pamong adalah aktor terdepan dalam pelayanan publik, yang berperan bukan sebagai pengendali, namun sebagai pelayan sejati,” tutur Sultan.
Nayantaka juga perlu menegaskan perubahan paradigma, dari memerintah dan mengontrol, menuju pendekatan pemberdayaan masyarakat. “Rakyat bukan objek kebijakan, tapi subjek perubahan. Maka, seorang pamong sebagaimana Ki Semar, adalah pemimpin yang ngemong, bukan memerintah; yang mengarahkan, bukan memaksa; yang melayani, bukan dilayani,” ujarnya.
Ketua Nayantaka, Gandang Hardjanata, menuturkan ini merupakan periode dirinya menjadi Ketua Nayantaka. “Di periode kedua ini semua komunikasi sudah berjalan lancar Kulonprogo, Bantul, Gunungkidul, Sleman, semuanya nyawiji,” ujarnya.
Ke depan, tugas Nayantaka adalah menjembatani antara Pemda DIY dengan kalurahan. “Komunikasinya yang dulu jauh, sekarang dekat. Misalnya bagaimana untuk mengakses dana keistimewaan, bagaimana kebijakan kalurahan diberi berbagai masukan,” katanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Tiga Anggota TNI Diperiksa Terkait Dugaan Penjualan Senjata Api ke KKB
Advertisement

Taman Wisata Candi Siapkan Atraksi Menarik Selama Liburan Lebaran 2025, Catat Tanggalnya
Advertisement
Berita Populer
- Bukit Gersang di Perbatasan Gunungkidul Disulap Jadi Kompleks Permakaman Elit, Harga Satu Kavling Bisa Rp300 Juta
- Top Ten News Harianjogja.com, Selasa 25 Maret 2025, Kondisi Lalu Lintas Exit Tol Purwomartani, Mafia Tanah Kas Desa, Jembatan Pandansimo
- Segini Harga Tiket Gembira Loka Selama Libur Lebaran 2025 dan Jam Bukanya
- BPJS Ketenagakerjaan Kulonprogo Salurkan Bantuan ke Panti Asuhan
- Selama Libur Lebaran 2025, Walhi Yogyakarta Prediksi Potensi 550 Ton Sampah Per Hari
Advertisement
Advertisement