Advertisement

Kisah Inspiratif Triyono Membangun Difa Bike, Ojek Penyandang Disabilitas di Jogja

Sirojul Khafid
Minggu, 20 April 2025 - 10:37 WIB
Sunartono
Kisah Inspiratif Triyono Membangun Difa Bike, Ojek Penyandang Disabilitas di Jogja Triyono dengan motor yang sudah dia modif untuk Difa Bike. - Harian Jogja/Sirojul Khafid.

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Kondisi tubuh yang khusus membuat difabel kadang kala susah untuk mobilitas, baik sebagai penumpang maupun pengemudi. Difa Bike mengisi ruang ini, mencoba melipat jarak untuk para difabel.

Di jalanan Jogja, ragam kendaraan umum terhampar di sepanjang pandangan mata. Meski jumlahnya tidak banyak, namun ada satu jenis kendaraan umum yang unik. Jumlah di Jogja hanya sekitar 40 driver.

Advertisement

Bentuknya sepeda motor dengan modifikasi kursi penumpang di sebelah kiri. Warnanya kombinasi biru, merah, dan kuning. Di bagian belakang, terpasang sticker Difa Bike. Biasanya pengendara maupun Difa Bike merupakan difabel. Semangat untuk memutus keterbatasan mobilitas para difabel ini lah yang menjadi awal kemunculan Difa Bike pada 2015.

Namanya Triyono. Orang yang menjadi inisiator Difa Bike, atau ojek dengan pengendara difabel. Triyono merupakan tuna daksa sejak kecil. Penyakit polio membuat tubuhnya perlu penyangga tongkat saat hendak berjalan.

Namun Triyono mendapat pendidikan dari sekolah dasar hingga kuliah di sekolah umum. Orang tuanya memfasilitasi biaya sampai kendaraan untuk mobilitas. Lingkungan dan kemampuan ini membuat Triyono tidak merasa sebagai difabel. Barulah beberapa tahun kemudian, dia bertemu komunitas difabel lain, yang ternyata tidak seberuntung dia.

BACA JUGA: Pemda DIY Segera Bentuk Tim untuk Mengkaji Aspirasi Pengemudi Ojek Online

"[Akses dan mobilitas] bukan hal besar bagiku, karena sudah melewati itu, ternyata di sisi lain ngeri, rata-rata [difabel] baru sekolah dasar terus keluar," kata Triyono, beberapa waktu lalu. "Terus tertarik, orang-orang seperti aku di luar tidak gampang menjalani hidup dan tidak banyak peluang."

Ternyata Tidak Sama

Triyono lulus kuliah dari Prodi Peternakan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2007. Sempat membuka usaha di bidang konveksi, akhirnya dia kembali bergelut di bidang peternakan. Usahanya bangun dan jatuh.

Tahun 2007, Triyono pernah membuka peternakan sapi dengan kapasitas 1.000 ekor. Sayangnya usaha itu mesti jatuh, terdampak dari murahnya sapi impor. Dia beralih ke ternak ayam dengan kapasitas 80.000 ekor pada 2011. Lagi-lagi usaha itu ambruk, dampak dari pasar yang dikuasai beberapa perusahaan besar.

Memasuki 2013, dia membuka cafe di Jogja dengan olahan utama susu. Di situlah Triyono bertemu dengan komunitas difabel setahun setelahnya. Suatu hari, komunitas difabel itu kebetulan mampir di cafenya. “Pada main dan makan di café, kok seperti aku, insting alam mungkin, aku lihat dari monitor di kantor, ada yang pakai kursi roda, tongkat, dan lainnya. Terus [aku ikut nimbrung] dan cerita A, B, C, D,” kata Triyono, yang saat ini berusia 41 tahun.

Dari cerita itu, Triyono menangkap keresahan para difabel yang kesusahan mendapat pekerjaan, mobilitas, aksesibilitas, sampai sekolah. Mulai lah muncul ketertarikan Triyono pada isu-isu inklusivitas dengan bergabung pada beberapa pertemuan dan komunitas. Singkat ceritanya, dia terpikir mengumpulkan uang untuk membeli dan memodifikasi motor untuk difabel.

Masalah masih belum terselesaikan. Banyak difabel tidak bisa menyetir. Sempat ada pelatihan, namun progresnya sangat minim. Bukannya jadi mahir mengendarai motor, difabel yang belajar motor malah trauma karena sering menabrak.

“Dari [adanya temen yang] trauma itu muncul ide, kenapa enggak buat sistem biar yang nganterin orang lain aja. Kasus-kasus seperti ini hampir sama, enggak bisa naik motor, nunggu tetangga untuk nganter. Jadinya buat sistem yang 24 jam ready untuk nganterin,” katanya.

Sepuluh Tahun

Bermodal motor operasional cafe yang dimodifikasi, Triyono membuat sistem. Dia menggandeng difabel yang belum punya pekerjaan, untuk menjadi pengantar penumpang. Dari satu difabel, kemudian beberapa lainnya datang dan meminta pekerjaan yang sama. Alhasil, saat secara resmi Difa Bike Indonesia launching pada 2015, Triyono sudah memiliki sepuluh motor dengan semua driver-nya difabel.

Awal-awal berdiri, semua murni kegiatan sosial, belum ada orientasi uang. Driver juga masih mendapat gaji yang diambil dari keuntungan café, semacam subsidi silang. Difa Bike mulai menjadi social enterprise sejak 2017, usaha sosial yang juga mengelola keuangannya agar bisa mandiri. Tidak hanya mengantar orang, Difa Bike juga melayani paket wisata sampai cargo.

BACA JUGA: Ojol Jogja Demo Minta Pemerintah Sesuaikan Tarif Layanan

Kini, Difa Bike sudah punya puluhan mitra pengemudi. Triyono juga fokus mengembangkan usahanya tersebut, dengan berupaya memutar uang agar tidak rugi. Difa Bike sudah berjalan sekitar sepuluh tahun. Konsep ini, lanjut Triyono, mungkin satu-satunya di Indonesia, atau bahkan dunia.

Ke depan, Triyono berharap bisa mengembangkan Difa Bike menjadi platform universal. Dia ingin memiliki Difa Mart, ruang para difabel bisa berjualan karya-karyanya. "Ada juga edukasi disabilitas, misal ada kasus-kasus difabel baru karena penyakit, mereka knowledge enggak ada, dan butuh edukasi, maka bisa konsultasi di Difa Bike. Misal kaki diamputasi, beli [kaki palsunya] di mana, modelnya seperti apa, dan lainnya," kata pria asal Sukoharjo tersebut.

Ubah Pola Pikir

Mengajak difabel untuk menjadi mitra Difa Bike memiliki tantangan tersendiri. Sebelum memulai bekerja, dan juga selama proses menjadi mitra, Triyono berupaya mengubah pola pikir difabel. Dia ingin para mitra Difa Bike menjadi orang yang profesional.

Sebelumnya, banyak difabel yang hanya menerima program atau bantuan dari pemerintah atau instansi lain. Sementara di Difa Bike, mereka mandiri. "Ngubah mindset itu nomor satu, baru penataan karakter. Kamu sekarang profesional, enggak semua orang bisa. Akhirnya mereka mulai menjiwai, itu duniamu, kalau bisa jangan merangkap pekerjaan lain," kata Triyono.

Menurut Triyono, menjadi mitra Difa Bike berpotensi menyenangkan. Sejauh ini juga banyak yang berminat bergabung. Mitra Difa Bike sudah terima beres. Sistem sudah mencarikan penumpang. Motor juga terfasilitasi. "Tugasmu ngegas dan ngerem sampai tempat, profesi menyenangkan," katanya.

BACA JUGA: Pemda DIY Sepakat Bahas Kajian Tarif dan Regulasi Layanan Bareng Pengemudi Ojol

Namun kembali lagi, yang menjadi tantangan adalah proses mengubah pola pikir. Untuk mitra yang lulusan sekolah dasar, tidak cukup pengubahan pola pikir dalam sehari dua hari, tapi beberapa bulan. Sejauh ini mereka sudah terbiasa dengan program yang tidak aplikatif. Ilmu hanya berada di ruang workshop, namun di rumah susah diterapkan. "Sekarang anak-anak kalau ada undangan [untuk hadir di pelatihan atau workshop], mereka konsultasi dulu," kata Triyono.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terkait

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Bertemu Mendag AS, Menko Airlangga Sampaikan Proposal Negoisasi Tarif Trump

News
| Minggu, 20 April 2025, 12:37 WIB

Advertisement

alt

Hidup dalam Dunia Kartun Ala Ibarbo Fun Town

Wisata
| Sabtu, 12 April 2025, 10:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement