Advertisement
Pembahasan Raperda Pertambangan Belum Libatkan Masyarakat

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah peneliti dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Jaga Banyu Yogyakarta menyoroti draf Raperda Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan, yang belum melibatkan masyarakat dalam penyusunannya.
Perwakilan Koalisi Jaga Banyu, Jaya Darmawan, menjelaskan setelah audiensi pertama dengan Komisi C DPRD DIY akhir Mei 2025, sampai saat ini belum ada tindak lanjut pembahasan raperda ini dengan melibatkan masyarakat. “Belum ada tindak lanjut,” ujarnya, Selasa (17/6/2025).
Advertisement
Berdasarkan draf yang didapat dari pansus pada 30 Mei 2025, pihaknya memberikan beberapa catatan besar yang menjadi masukan. Pertama, belum diutamakannya perlindungan masyarakat dan lingkungan, tapi hanya fokus pada eksploitasi yang merusak. Poin ini dianggap penting mengingat tata kelola pertambangan di DIY mengusung konsep memayu hayuning bawana.
“Kedua, tidak ada pengaturan yang jelas terkait dengan keterbukaan data dan informasi bagi publik pada penyelenggaraan pertambangan di DIY. Ketiga, minimnya peran serta masyarakat terutama masyarakat terdampak dan tidak adanya peran serta masyarakat dalam pengawasan, terutama masyarakat yang terdampak dilokasi pertambangan,” katanya.
BACA JUGA: Tren Kejadian Kebakaran di Sleman Meningkat dalam 5 Tahun Terakhir
Keempat, tidak ada pengaturan yang memadai terkait dengan reklamasi yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Kelima, minimnya pengaturan tentang peningkatan nilai tambah dari pertambangan bagi daerah, tidak sebanding dengan risiko yang harus ditanggung oleh masyarakat terdampak, seperti kerusakan lingkungan, risiko bencana, kerusakan infrastruktur, gangguan kesehatan, ancaman keselamatan dan keamanan berkendara di jalan raya yang juga digunakan oleh angkutan truk material tambang.
Anggota Koalisi Jaga Banyu lainnya, Toto Sudiro, menuturkan temuan di lapangan yang menjadi fokus Koalisi Jaga Banyu seperti di Daerah Aliran Sungai (DAS) Progo, DAS Opak dan Perbukitan Menoreh.
“Di daerah lain seperti di Gunungkidul yang menjadi lokasi tambang, beberapa lokasi statusnya rusak berat. Kami menganggap skornya 26, 28 sampai 34. Secara status rusak berat. Jadi penting untuk dimasukkan dalam raperda ini, sehingga pengawasannya lebih optimal,” ungkapnya.
Harian Jogja mencoba mengonfirmasi Nur Subiyantoro, anggota Pansus Raperda Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam, Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu, dan Batuan, namun belum mendapatkan jawaban.
Meski demikian, dalam kurun Mei-Juni ini, pansus melakukan kunjungan ke beberapa lokasi pertambangan. Salah satunya di kawasan Kali Gendol, Sleman, pada akhir Mei. Kunjungan ini bertujuan memastikan keberadaan pertambangan berjalan sesuai aturan dan tidak mengorbankan kelestarian lingkungan serta kepentingan masyarakat sekitar. “Kegiatan ini untuk menambah perbendaharaan wawasan agar regulasi yang akan kami sahkan bersama Gubernur benar-benar visibel,” kata Ketua Pansus BA 7, Aslam Ridlo, melalui keterangan tertulis.
Dalam kunjungan tersebut, tim pansus menemui sejumlah pemangku kepentingan, termasuk lurah, kepala dukuh, pengusaha tambang, serta perwakilan OPD dan aparat penegak hukum. Lokasi yang ditinjau mencakup enam unit tambang, empat di antaranya masih aktif dan telah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) yang sah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Jadwal KRL Solo-Jogja, Paling Pagi dari Stasiun Palur Pukul 05.00 WIB
Advertisement

Pemkab Boyolali Bangun Pedestrian Mirip Kawasan Malioboro Jogja
Advertisement
Berita Populer
- PSIM Jogja Resmikan 30 Pemain EPA U-16, Utamakan Talenta Lokal DIY
- Dispar Gunungkidul Kejar Target PAD yang Dibebankan Tahun Ini
- Hari Ini, Sedayu dan Kota Jogja Kena Giliran Mati Listrik
- Anggaran MBG dari APBD Kulonprogo Dialihkan untuk Sektor Lain
- Jadwal KRL Jogja-Solo, dari Stasiun Tugu Hingga Palur Hari Ini
Advertisement
Advertisement