Advertisement

Omah Demamit, Jejak Kolonial yang Masih Tegak di Pundong Bantul

Kiki Luqman
Rabu, 15 Oktober 2025 - 10:07 WIB
Ujang Hasanudin
Omah Demamit, Jejak Kolonial yang Masih Tegak di Pundong Bantul

Advertisement

Harianjogja.com, BANTUL — Ada yang berbeda di pekarangan rumah Agus Subiyanto, 65, warga sebuah dusun sunyi di selatan Bantul. Di antara kebun kecil dan rumah-rumah sederhana, berdiri sebuah bangunan bata tua yang unik.

Bangunan itu tidak lazim. Atapnya melengkung seperti perahu, berdiri di atas dinding bata tebal yang telah menahan waktu selama puluhan tahun. Warga mengenalnya sebagai Omah Demamit, satu-satunya peninggalan kolonial Belanda yang masih tegak di kawasan Pundong.

Advertisement

“Ini peninggalan orang Belanda. Kata orang tua saya, dulu di sini ada loji besar, rumahnya orang Belanda. Omah Demamit ini dulu tempat menyimpan bahan peledak, mungkin dinamit,” tutur Agus Subiyanto, Minggu (12/10).

Cerita itu diwariskan turun-temurun. Kata “dinamit” yang sulit diucapkan lidah Jawa berubah menjadi “demamit”, dan seiring waktu, istilah itu melekat hingga kini.

Menurut Agus, Omah Demamit merupakan bagian kecil dari kompleks bangunan besar yang dulu berdiri megah di lahan itu. Sisa fondasi loji Belanda masih bisa ditemukan sekitar sepuluh meter di sebelah timur bangunan. Bata-bata kuno berukuran 27x13x5 sentimeter tersusun rapi di tanah dengan ketebalan dinding sekitar 30 sentimeter.

“Fondasinya masih kelihatan di bawah rumah ini. Lojinya sudah tidak ada, mungkin dirusak saat masa kemerdekaan, karena dulu semua yang berbau Belanda dihancurkan,” ujarnya.

Bangunan Omah Demamit berukuran mungil, hanya 2,88 meter persegi dengan tinggi dinding 2,3 meter dan tebal 33 sentimeter. Meski kecil, detail arsitekturnya rumit. Di bagian dalam, empat sudut ruangan memiliki profil tiga susun berbentuk piramida terbalik. Atapnya tersusun dari bata melengkung tanpa rangka kayu, sementara pilar-pilar bermotif kotak menyatu dengan kaki bangunan.

Di sisi depan dan belakang terdapat hiasan berbentuk piramida terbalik yang mempertegas gaya arsitektur kolonial.

“Pintunya kecil, tapi dulu dilapisi besi supaya kuat. Sekarang sudah rapuh,” kata Agus sambil menunjuk bekas kusen pintu yang lebarnya hanya 58 sentimeter.

Agus masih mengingat masa kecilnya, ketika bangunan itu menjadi tempat bermain anak-anak kampung.

“Waktu saya SD, pagar di sini masih batang kayu. Jalannya buntu, cuma menuju rumah kami. Anak-anak sering main di depan Demamit itu,” kenangnya sambil tersenyum.

Ketika gempa besar mengguncang Bantul pada 2006, rumah utama keluarganya roboh, namun Omah Demamit tetap berdiri kokoh. Sejak saat itu, Agus meyakini bangunan tersebut bukan sembarang rumah tua. Ia mulai merawatnya dengan sepenuh hati.

“Kalau ada retak, saya tambal. Waktu itu saya dapat bantuan dari Pemkab Bantul sekitar Rp5 juta, saya pakai untuk memperkuat bagian pinggir dengan pond block supaya tidak cepat rusak,” ujarnya.

Merawat bangunan tua bukan hal mudah. Agus kerap kesulitan mencari tukang yang mau bekerja dengan teknik lama.

“Tukang sekarang banyak yang tidak mau pakai bata merah kuno. Katanya rapuh, padahal dulu kuat. Orang tua dulu bilang, plesternya dicampur putih telur supaya tahan lama,” ucapnya.

Ditapkan Sebagai Cagar Budaya

Kini, Omah Demamit telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kabupaten Bantul berdasarkan SK Bupati Bantul Nomor 688 Tahun 2020.

Menurut Elfi Wachid Nur Rahman, Kepala Seksi Warisan Budaya Benda Dinas Kebudayaan Bantul, bangunan tersebut tergolong unik dan langka di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Omah Demamit satu-satunya bangunan kolonial dengan atap melengkung dari bata di Bantul. Di DIY pun hanya ada di situ, di Pundong,” jelasnya.

Elfi menambahkan, konstruksi bangunan ini menunjukkan kecanggihan teknik arsitektur masa lalu.

“Atapnya melengkung tapi tidak runtuh, karena disusun dari bata yang direkat dengan spesi bligon, campuran tanah liat, kapur, dan bahan organik. Itu menunjukkan kemampuan teknik lokal yang maju pada zamannya,” tuturnya.

Fungsi detail arsitektur di dalam ruangan, terutama profil tiga susun di tiap sudut, masih menjadi misteri.

“Bentuknya seperti piramida terbalik. Bisa jadi ornamen, bisa juga bagian struktur,” kata Elfi.

Sejak ditetapkan sebagai cagar budaya, Agus menjadi penjaga sekaligus perawat tunggal bangunan tersebut. Ia rutin membersihkan lumut di dinding dan atap, terutama saat musim hujan.

“Kalau dibiarkan, cepat rusak. Saya bersihkan seminggu sekali,” ujarnya.

Ia melakukan semua itu tanpa pamrih, hanya agar jejak masa lalu tak hilang. Sesekali petugas Dinas Kebudayaan datang memantau, kadang tiga bulan sekali, kadang setahun sekali. Meski belum banyak peneliti atau wisatawan yang berkunjung, Agus tetap sabar menjaga.

“Belum ramai. Tapi kalau ada yang mau belajar, silakan. Saya malah senang kalau orang tahu sejarah tempat ini,” katanya.

Dari arsip peta kolonial Belanda tahun 1920-an, lokasi bangunan itu tercatat sebagai rumah pengawas lahan tebu Belanda.

“Jadi dulu orang Belanda di sini ditugaskan untuk mengurus perkebunan tebu. Mereka tinggal di loji, dan mungkin bahan peledaknya disimpan di bangunan ini,” tutur Agus.

Kini, di tengah perubahan zaman, Omah Demamit tetap berdiri tenang di pekarangan rumah Agus—sederhana, namun sarat makna.

Bagi sebagian orang, mungkin hanya bangunan tua tanpa jendela. Namun bagi Agus, itu adalah kenangan, sejarah, dan pengingat bahwa masa lalu tak sepenuhnya hilang, selama masih ada yang setia menjaga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Pilihan

Advertisement

Penyelundupan 10 Kilogram Sabu Digagalkan TNI AL di Tanjung Priok

Penyelundupan 10 Kilogram Sabu Digagalkan TNI AL di Tanjung Priok

News
| Rabu, 15 Oktober 2025, 13:27 WIB

Advertisement

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Thai AirAsia Sambung Kembali Penerbangan Internasional di GBIA

Wisata
| Senin, 13 Oktober 2025, 10:37 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement