Advertisement
Bencana Banjir Sumatera Memburuk, Pakar Desak Evaluasi Total
Kondisi banjir di Desa Pasi Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Hingga Jumat (28/11/2025), sebanyak 3.866 jiwa atau 2.652 kepala keluarga (KK) yang tersebar di delapan kecamatan di kabupaten setempat terdampak banjir dengan ketinggian air berkisar antara 1 meter hingga 1,5 meter. ANTARA - ist/BPBD Aceh Barat\\r\\n\\r\\n
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sebanyak 867 orang meninggal dunia akibat banjir yang terjadi di Sumatera dan menimbulkan kerusakan infrastruktur yang parah. Pakar menyarankan sejumlah upaya penanganan dan pencegahan terhadap potensi bencana alam serupa. Di antaranya mempersiapkan infrastruktur seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga mencegah kerusakan lingkungan.
Dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Jazaul Ikhsan menyatakan banjir yang terjadi nyaris serentak ini disebabkan oleh cuaca ekstrem dan campur tangan manusia melalui tata ruang yang tidak adaptif. Curah hujan tinggi memang menjadi pemicu awal, akan tetapi kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS), sistem drainase yang tidak memadai, serta alih fungsi lahan memperparah dampaknya banjir tersebut.
Advertisement
"Beberapa indikator teknis menunjukkan infrastruktur pengendali banjir tidak lagi relevan dengan kondisi iklim saat ini. Banyak sistem drainase memiliki kapasitas aliran yang jauh lebih kecil dibandingkan curah hujan aktual. Sedimentasi, penumpukan sampah, serta desain infrastruktur yang masih mengacu pada data historis membuat air meluap dan menggenangi permukiman," katanya dikutip Sabtu (6/12/2025).
Selain faktor teknis, lanjutnya, kerusakan lingkungan menjadi variabel paling mengkhawatirkan. Konversi hutan menjadi permukiman dan perkebunan menyebabkan hilangnya area resapan air alami. Penebangan hutan mengurangi kemampuan tanah menyerap air. Akibatnya aliran permukaan meningkat cepat menuju hilir dan memicu banjir serta longsor.
BACA JUGA
Jika pola ini terus berulang setiap musim hujan, dampaknya diprediksi semakin serius. Secara ekologis, banjir berulang dapat merusak ekosistem, menurunkan kualitas tanah, serta mencemari air sungai maupun tanah akibat limpasan limbah dan bahan kimia.
"Dari sisi sosial, bencana yang terjadi terus-menerus dapat menimbulkan migrasi penduduk, trauma psikologis, hingga ketegangan sosial akibat perebutan sumber daya pascabencana. Sedangkan secara ekonomi, kerugian diperkirakan meningkat tajam karena kerusakan infrastruktur dan kebutuhan biaya pemulihan yang semakin besar. Ketika banjir menjadi siklus tahunan, pembangunan akan terhambat dan kemiskinan semakin mengakar,” ujarnya.
Ikhsan menegaskan rentetan banjir di Sumatera merupakan sinyal alarm keras perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan tata ruang, sekaligus adaptasi desain infrastruktur agar selaras dengan perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi.
Pendekatan Penanganan
Ia menyarankan pemerintah dinilai perlu mengubah pendekatan penanganan bencana dari response based menuju prevention based. Pasalnya mitigasi banjir tidak lagi bisa bergantung pada penyaluran logistik, evakuasi, atau pembangunan tanggul sementara.
“Kita membutuhkan perencanaan tata ruang berbasis risiko bencana, manajemen Daerah Aliran Sungai [DAS] yang berkelanjutan, serta penyelarasan kebijakan pembangunan dengan mitigasi lingkungan,” ucapnya.
Strategi mitigasi harus dijalankan dalam dua fase, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Pada jangka pendek, pemerintah perlu memperbesar kapasitas drainase, membangun kolam retensi, membersihkan sedimentasi sungai, serta mengimplementasikan sistem peringatan dini berbasis sensor.
Adapun jangka panjang, meliputi restorasi ekosistem, pembangunan infrastruktur hijau, reboisasi kawasan rawan banjir, serta pemodelan komputer untuk memproyeksikan risiko banjir di masa depan. Ia menegaskan tidak bisa mengandalkan desain berdasarkan data masa lalu karena perubahan iklim sudah mengubah pola hujan dan debit air.
"Pengelolaan DAS dan zonasi ruang berbasis peta risiko harus menjadi instrumen hukum yang mengikat. Kemudian pembatasan pembangunan di zona merah serta keberanian pemerintah dalam menegakkan aturan tata ruang. Tanpa kepatuhan terhadap regulasi, upaya mitigasi tidak akan berjalan optimal," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
KA Panoramic Kian Diminati, Jalur Selatan Jadi Primadona
Advertisement
Berita Populer
- Pemkot Jogja Fokus Pelestarian, 18 Objek Direkomendasikan Cagar Budaya
- Bupati Pimpin Bersih Kali Pancuran, Ingatkan Mitigasi Bencana
- Warung Kelontong di Bantul Hangus, Satu Pegawai Luka Bakar
- Sleman, Jogja, Gunungkidul Waspada Cuaca Ekstrem hingga Februari
- Gunungkidul Catat Produksi Perikanan Stabil, Lele Teratas
Advertisement
Advertisement




