Advertisement

Promo November

Sampah Pantai, Barier di Pesisir yang Menjengkelkan

Uli Febriarni
Sabtu, 05 Januari 2019 - 13:25 WIB
Budi Cahyana
Sampah Pantai, Barier di Pesisir yang Menjengkelkan Sampah menumpuk di Pantai Trisik, Kulonprogo, beberapa waktu lalu./Harian Jogja - Uli Febriarni

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Sampah di pantai yang ada di Kulonprogo sangat mengganggu wisatawan dan mengancam habitat satwa. Berikut laporan wartawan Harianjogja.com Uli Febriarni

Di pelupuk mata Yulius, pantai di Kulonprogo begitu spesial dibandingkan dengan pantai lainnya. Pasirnya hitam berkilau, ombaknya besar dengan suara deburan laut yang menenangkan. Belum lagi bila kecantikannya diabadikan kamera, terlebih saat senja. Isi album foto miliknya akan mirip dengan koleksi yang dimiliki kebanyakan penikmat sore. Langit oranye bersemu merah, sisa-sisa lembayung yang mulai menggelap, ditambah siluet Matahari terbenam dengan cakrawala garis pantai yang lurus panjang.

Advertisement

Di saat bersamaan, Yulius, warga Salatiga, juga harus menahan sedih. Ia melihat begitu banyak botol bekas dan sisa bungkus makanan. Sampah-sampah itu dia lihat di Pantai Trisik, Desa Banaran, Kecamatan Galur, yang dia nikmati belum lama ini.

Di Pantai Congot, ia menemukan tumpukan plastik bekas bungkus minyak goreng, tas rusak, hingga kasur.

“Kalau berwisata tetapi banyak sampah, rasanya tidak nyaman. Mau belanja makanan dan minuman juga takut, takut kotor,” kata lelaki 40 tahun itu.

Ketika air kotor karena sampah, bukan tidak mungkin ekosistem setempat juga tercemar. Ribuan jenis ikan, penyu, dan binatang laut lainnya sangat bergantung pada air yang menjadi habitat mereka. Racun dalam air yang masuk dalam tubuh binatang akan menjadi residu dan berbahaya pula bila dikonsumsi manusia.

Pada awal 2018, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kulonprogo pernah memperkirakan jumlah potensi sampah sepanjang titik objek wisata pantai di Kulonprogo. Caranya dengan menjumlah wisatawan yang datang ke pantai, dikali dengan potensi sampah sekitar 0,3 atau 0,4 kilogram per orang per satu kali kunjungan. Jumlah tersebut, masih ditambah dengan sampah yang berasal dari hulu sungai. Hasilnya adalah angka-angka yang bila diterjemahkan, menjadi kenyataan yang sangat menjengkelkan banyak orang.

Di Pantai Glagah, nelayan bisa jadi terbiasa melihat sampah-sampah itu. Namun, hati mereka tetap getun. Ini dirasakan Ngudiwaluyo. Dari daratan, laut terlihat begitu biru dan menyenangkan mata.

Namun di tengah perairan, ia kerap mendapati adanya lendir residu sampah-sampah, menempel di kaki, tangan, dan tubuhnya.

“Kotornya melebihi yang Anda lihat, suatu ketika saya turun melaut seperti macul di sawah, kotor sekali. Kami sering kehabisan jaring untuk berburu ikan, musuhnya sampah-sampah itu,” ungkap dia.

Menurut Mantoyo, Pengurus Kelompok Sadar Wisata Pantai Glagah, sampah-sampah berserakan karena banyak pelancong yang suka membuang sampah sembarangan. Sementara, tempat sampah dan pengelolaan sampah di destinasi wisata belum terlalu diperhatikan pemerintah layaknya sampah di permukiman.

Mengganggu Penyu

Beberapa waktu lalu saat nekropsi alias membedah bangkai penyu lekang yang ditemukan di Pantai Trisik, Kepala Museum Biologi UGM Donan Satria Yudha mengatakan kondisi Pantai Selatan di Kulonprogo sangat memprihatinkan. Sampah organik dan sampah plastik menumpuk serupa barier di pesisir. Menurut dia, kondisi itu tidak terlepas dari keberadaan dua muara kali besar yang mengapit pantai di Kulonprogo: Sungai Progo dan Bogowonto.

Sampah organik tidak begitu bermasalah karena mudah terurai. Namun, sampah plastik harus ditangani lebih serius karena baru bisa terurai dalam kurun satu abad.

Plastik-plastik serta kayu yang sudah dibuang sangat menganggu ruang gerak penyu yang ramai bertelur di Pantai Trisik. Kalau kondisi itu dibiarkan, bisa jadi tidak ada lagi penyu yang mendarat di pantai selatan Kulonprogo.

“Hewan yang kerap disalahartikan sebagai kura-kura itu akan  mencari tempat yang lebih nyaman untuk bertelur,” ujar Donan.

Sekarang, musuh tim konservasi dalam menjaga telur penyu adalah sampah, bukan lagi satwa predator seperti musang, burung, kucing.

Dalam pandangan pengelola Lokasi Konservasi Penyu Abadi Pantai Trisik, Dwi Surya Putra, membuang sampah sekenanya sudah jadi kebiasaan umum.

“Tidak perlu muluk-muluk untuk cinta dengan alam, cukup membuang sampah pada tempatnya. Apalagi kalau mau memisahkan sampah organik dan anorganik sebelum dibawa ke tempat pembuangan akhir.”

Jaka Samudra, Ketua Konservasi Penyu Abadi Trisik, mengatakan bukan hanya penyu yang merasakan dampak buruk sampah. Beragam penghuni lautan terancam mati karena ekosistem pantai sangat buruk.

“Kami berharap warga bisa lebih sadar dengan lingkungan. Jangan membuang sampah di sungai, sungai bukan tempat sampah,” ucapnya.

“Kami tidak pernah bosan menjaga garis pantai dari sampah. Namun upaya itu sia-sia, ketika kiriman sampah terus datang dari hulu. Saya rasa untuk menangani pencemaran ini, perlu koordinasi yang masif, tidak hanya dengan warga Kulonprogo saja, tetapi juga lintas provinsi,” kata dia.

Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kulonprogo Arif Prastowo, masyarakat perlu disadarkan untuk peduli terhadap lingkungan sungai.

“Masyarakat harus risau dengan kondisi sungai demi anak cucu mereka, sampah harus dikelola dan menjadi urusan bersama, bukan hanya tugas pemerintah.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Pemerintah Segera Menyusun Data Tunggal Kemiskinan

News
| Jum'at, 22 November 2024, 23:07 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement