Advertisement

Promo November

Unik! di Pondok Pesantren ini, Santri Mengaji Pakai Bahasa Isyarat

Lajeng Padmaratri
Sabtu, 13 Agustus 2022 - 04:27 WIB
Arief Junianto
Unik! di Pondok Pesantren ini, Santri Mengaji Pakai Bahasa Isyarat Uztaz Abu Kahfi berkomunikasi dengan santrinya menggunakan bahasa isyarat. - Harian Jogja/Lajeng Padmaratri

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN — Sejak 2019, Ustaz Abu Kahfi mendirikan sebuah rumah tahfiz khusus tunarungu di Bantul. Namanya Darul Ashom, yang artinya Rumah Tuli. Sejak 2021, pondok itu pindah ke Condongcatur, Sleman karena mendapatkan banyak santri sehingga mencari ruang yang lebih luas.

Kepedulian Abu terhadap tunarungu muncul belasan tahun yang lalu kala ia masih tinggal di Bandung. Meski belum mendirikan pesantren, tetapi dia sudah sering membuka taklim atau pengajian untuk  tunarungu.

Advertisement

“Saya risau melihat mereka enggak tahu agama. Saya merasa kita paling berdosa kalau enggak mengarahkan mereka buat tahu agama,” tuturnya ketika ditemui Harianjogja.com di pondoknya, Selasa (2/8/2022) lalu.

BACA JUGA: Ada Perbaikan Saluran Irigasi, Selokan Mataram Bakal Dikeringkan Hingga Oktober

Abu berkata, bahwa setiap orang memiliki hak untuk mempelajari agamanya, termasuk para penyandang disabilitas. Namun, bagi tunarungu, hal ini bisa dibilang lebih sulit dan menantang.

Bagi penyandang disabilitas netra, mempelajari Agama Islam bisa jadi lebih mudah. Sejak lama, banyak pemerhati yang sudah mengembangkan Al-Qur’an dengan huruf Braille. Jika tidak bisa membaca Braille, penyandang tunanetra pun masih bisa mendengarkan ceramah di masjid dan memutar rekaman pengajian lewat berbagai media.

Namun, bagi tunarungu hal ini lebih sulit karena umumnya mereka tidak bisa mendengar serta kesulitan berbicara. Perantara bahasa yang bisa digunakan salah satunya lewat bahasa isyarat.

Kendati demikian, di Indonesia, belum banyak ustaz yang bisa menyampaikan materi agama dengan bahasa isyarat. Pengajian-pengajian di masjid juga belum banyak yang didampingi penerjemah bahasa isyarat.

Belum lagi, sistem di sekolah luar biasa (SLB) juga belum menyentuh pembelajaran agama secara mendalam, melainkan lebih mengedepankan ke capaian kemampuan vokasi. Apalagi, jika bicara soal agama, berarti membahas keyakinan terhadap hal-hal yang umumnya tidak terlihat, seperti surga, neraka, malaikat, dan sebagainya.

Jika hanya sekadar memperlihatkan gambar atau foto, hal ini tetap sulit dipahami. “Pelajaran agama di SLB bukan tidak ada. Mereka juga bukannya tidak melihat orang tuanya salat, bukan tidak ada suasana agama di rumah. Itu semua tetap ada, tetapi tidak tersampaikan dengan bahasa yang mereka pahami,” tutur Abu.

Untuk memasuki dunia mereka, Abu pun belajar bahasa isyarat. Rupanya, dia dimudahkan sehingga bisa cepat berinteraksi dengan mereka. Di Bandung, Abu membuka pengajian untuk tunarungu.

Pada 2019, dia lantas pergi ke Jogja untuk mewujudkan visinya membangun pondok pesantren. Dibantu keluarganya, kini dia mengelola Darul Ashom yang telah memiliki 118 santri, terdiri dari 80-an santriwan dan 30-an santriwati.

Santrinya tak hanya berasal dari Jogja, bahkan kebanyakan santri berdatangan dari wilayah Jabodetabek. Dari luar Pulau Jawa, santri banyak yang berasal dari Lampung dan Bali.

Setiap Huruf

Jauh sebelum mulai mendampingi tunarungu, Abu sempat bolak-balik Arab Saudi untuk membimbing jamaah yang umrah. Di sana, dia bertemu tunarungu yang basisnya berbahasa Arab sehingga dia mulai

termotivasi untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada tunarungu.

Di Darul Ashom, seluruh santri tunarungu pun diajarkan berbahasa isyarat. Sebab, tidak semua penyandang disabilitas sudah bisa memahami bahasa isyarat. Untuk mempelajari Al-Qur’an pun

menggunakan bahasa isyarat.

Setiap huruf hijaiah dilafalkan dengan diisyaratkan menggunakan jari. “Santri di sini terbagi sesuai kemampuan, bukan umur. Jadi kalau sudah bisa, ya naik tingkat. Kalau belum, ya tunggu dulu,

belajar lagi,” ujar dia.

Sementara soal kurikulum, Abu menjelaskan bahwa ia menyamakannya dengan pondok pesantren salafiyah. Hanya saja, bahasa perantaranya menggunakan bahasa isyarat. Sejauh ini, sudah ada santri yang mampu menghafal 11 juz Al-Qur’an.

Para santri yang tadinya belum menemukan cita-cita, kini mulai bermimpi untuk turut menjadi hafiz dan hafizah atau penghafal Al-Qur’an bahkan menjadi ustaz seperti Abu.  

“Tetapi kami sampaikan ke orang tuanya agar jangan bikin target tahun atau waktu. Targetnya si anak paham, dewasa, nanti bisa jadi ustaz di kota tempat tinggalnya,” ujar Abu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Berita Lainnya

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Bareskrim Polri Pulangkan DPO Judi Online Situs W88 dari Filipina

News
| Jum'at, 22 November 2024, 07:57 WIB

Advertisement

alt

Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism

Wisata
| Selasa, 19 November 2024, 08:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement