Advertisement

TBY Gelar Sarasehan untuk Mewadahi Sastrawan

Media Digital
Rabu, 12 April 2023 - 21:27 WIB
Maya Herawati
TBY Gelar Sarasehan untuk Mewadahi Sastrawan Dari kiri, Rendra Agusta, Arsanti Wulandari, dan Muhammad Bagus Febriyanto, dalam Sarasehan Sastra bertajuk Sarirasastra Mataraman: Menilik Naskah-Naskah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (12/4 - 2023).

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA–Sastra yang berkembang di Jogja dipengaruhi oleh sejumlah keraton maupun kadipaten yang ada. Untuk mewadahi sastrawan dalam menyelisik sastra yang berkembang di Jogja, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) menyelenggarakan Sarasehan Sastra bertajuk Sarirasastra Mataraman: Menilik Naskah-Naskah Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman di Taman Budaya Yogyakarta, Rabu (12/4/2023). 

Kepala Taman Budaya Yogyakarta, Purwiati menyampaikan sastra yang berkembang di Jogja dipengaruhi oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kadipaten Pakualaman dan Kadipaten Mangkunegaran. Sehingga, dia menilai sastra yang berasal dari kraton serta kadipaten tersebut penting untuk ditelisik. 

Advertisement

"Sejak jaman dulu sastra yang berkembang di keraton sudah sangat bagus, dokumen sastra yang disimpan di masing-masing kraton dan kadipaten banyak, sehingga ini menjadi sangat istimewa apabila ini menjadi bahan diskusi terkait keunikan tradisi dari kraton dan kasunanan tersebut,” katanya.

Dia pun menilai pitutur yang terkandung dalam sastra dari keraton serta kadipaten hingga kini masih tetap dapat dimaknai dan diteladani. Makna filosofi yang mendalam dalam pitutur tersebut, menurut Purwiati masih relevan hingga saat ini. 

Dia pun berharap sarasehan tersebut dapat mewadahi sastrawan di Jogja dalam mempelajari sastra keraton serta kadipaten. “Ini memberikan ruang diskusi, komunikasi untuk sastrawan. Kita mengakomodir penggiat sastra untuk bisa berdiskusi, sharing terkait perkembangan sastra di DIY,” ucapnya. 

Purwiati pun berharap sarasehan tersebut pun dapat menjadi sarana edukasi untuk memperdalam pengetahuan mengenai perkembangan sastra di Jogja. “Semoga paparan perkembangan sastra nusantara terutama sastra yang berkembang di Jogja dan Solo yang disajikan dalam sarasehan ini dapat menjadi sarana edukasi bagi sastrawan di Jogja,” katanya. 

Kepala Seksi Dokumentasi dan Informasi Seni Budaya TBY Dyah Wahyu Aprilina menilai tradisi kesusastraan keraton dan kadipaten di Jogja serta Solo hingga kini tetap ada bahkan mengalami perkembangan. Di Jogja misalnya, menurutnya karya sastra yang awalnya tumbuh di dalam benteng keraton, lalu merambah ke perkampungan hingga kini pun telah dipelajari hingga perkuliahan.  “Dengan kata lain, tradisi kesusastraan di  Jogja terus ada, berkembang lintas jaman dari generasi ke generasi,” katanya. 

Dyah pun mengapresiasi perkembangan kesusastraan dengan menghadirkan program studi sastra di sejumlah universitas.  “Keberadaan perguruan tinggi di Jogja dengan program studi sastra menjadi potensi keberlanjutan peristiwa dan karya sastra di Jogja memiliki peminatnya,” katanya. 

Menurutnya selain melalui pendidikan formal di perguruan tinggi, peminat sastra juga perlu diwadahi melalui ajang diskusi di luar kelas.  “Untuk itu, ruang diskusi sastra di luar kelas, antara lain melalui komunitas sastra dan lembaga kebudayaan swasta maupun pemerintah dinilai penting dalam rangka mendukung dan memfasilitasi kesastraan di Jogja agar tetap lestari,” katanya. 

Dia pun berharap melalui sarasehan tersebut peminat sastra dapat saling bertukar pikiran seputar dinamika sastra di Jogja. 

Arsanti Wulandari, Dosen Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan suatu karya sastra dapat menggambarkan banyak makna. Dia menyebut tampilan fisik dari naskah tersebut dapat menggambarkan kondisi perekonomian masa naskah tersebut diproduksi, serta karakteristik penulisnya. 

Dia mencontohkan naskah yang diproduksi pada masa Hamengkubuwono V dengan masa Hamengkubuwono VII. Dalam naskah tersebut, terdapat perbedaan dimana naskah yang ditulis pada masa Hamengkubuwono V tidak memiliki cap, sedangkan pada masa Hamengkubuwono VII memiliki cap. "Ini menunjukkan kalau kita melihat visual, ini diproduksi pada masa yang berbeda,” katanya. 

Selain itu, dia menyampaikan pada masa Hamengkubuwono V, belum ada mesin cetak yang dapat memproduksi cap untuk naskah keraton, sehingga naskah yang diproduksi masa itu pun belum diberikan cap atau stempel kerajaan. 

Dia menyampaikan zaman dulu penulisan catatan pada teks pun telah dilakukan, misalnya dalam teks ditulis inisial G pada pinggir teks, sebagai penanda ucapan tersebut dari gubernur.  Penyajian naskah tersebut, menurut Arsanti dapat menggambarkan posisi, serta kepandaian penulisnya. 

Meskipun Arsanti mengatakan tidak semua karya sastra menulis seluruh penulisnya. "Naskah tidak diproduksi oleh satu orang saja, dalam suatu naskah melibatkan banyak orang, atau tim penyusun sebuah naskah. Tapi tidak semua naskah mencantumkan secara detail peristiwa itu,” katanya. 

Muhammad Bagus Febriyanto, Dosen Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyampaikan naskah yang berasal dari Kadipaten Pakualaman memiliki kekhasan yang berbeda dengan kadipaten atau keraton di Jogja dan Solo lainnya. Dia mencontohkan, masa Paku Alam IV karya sastra yang ditinggalkan berupa naskah mengenai seni pertunjukan.  "Kecenderungan Paku Alam IV menciptakan dokumentasi seni pertunjukan menunjukkan keseriusan beliau terhadap seni pertunjukan,” katanya. 

Menurutnya, naskah tersebut hanya dijumpai pada masa tersebut, sehingga apabila ingin mempelajari mengenai seni pertunjukan, terkhusus tarian khas Pakualaman, naskah tersebut menjadi rujukan utamanya. 

Selanjutnya Rendra Agusta, Penggiat Komunitas Sraddha Sala menyampaikan untuk menelisik karya sastra di wilayah Solo dapat merujuk pada naskah yang diproduksi Keraton Solo serta Pura Mangkunegaran. Dia menyampaikan naskah produksi Keraton Solo melalui Perpustakaan Sana Pustaka ada 625 naskah atau sekitar 1.450 judul, sedangkan di Pura Mangkunegaran melalui Perpustakaan Reksa Pustaka memiliki 727 naskah atau 2.200 judul. 

Dari naskah tersebut, Rendra menyampaikan peminat sastra dapat mempelajari karya sastra dari Keraton Solo dan Pura Mangkunegaran. Rendra menyampaikan meski sempat terjadi kebakaran di Keraton Solo yang mengakibatkan terbakarnya Sana Pustaka, namun peminat sastra masih dapat mengaksesnya. 

"Sana pustaka tidak dapat diakses, namun di Perpusnas dan perpustakaan Cornell University, sedangkan Reksa Pustaka bisa diakses di operasional jamnya,” katanya. (BC)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Gempa Magnitudo 5,3 Guncang Gorontalo

News
| Kamis, 25 April 2024, 04:07 WIB

Advertisement

alt

Rekomendasi Menyantap Lezatnya Sup Kacang Merah di Jogja

Wisata
| Sabtu, 20 April 2024, 07:47 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement