Advertisement
Rifka Anissa Catat Prevalensi Kekerasan Berbasis Gender Masih Tinggi
Pengurus Rifka Annisa WCC memaparkan kajian yang dikakukan dalam sesi workshop Ending Inter-generational Gender Based Violence Refleksi 30 tahun Rifka Annisa, Sabtu (26/8/2023). - Harian Jogja/Yosef Leon Pinsker
Advertisement
JOGJA—Rifka Annisa Women's Crisis Center (WCC) mencatat insiden kekerasan berbasis gender online mengalami peningkatan selama beberapa waktu terakhir dengan menyasar remaja dan anak. Sejak 2019, akumulasi kasus rata-rata mengalami kenaikan dan pada 2023 ini sampai Agustus ada 67 kasus dan 440 aduan lewat saluran hotline.
Plt. Direktur Rifka Annisa WCC Indiah Wahyu Andari mengatakan, pravelensi kekerasan berbasis gender masih cukup tinggi di Indonesia. Padahal sudah banyak program dan penanganan yang dilakukan baik itu oleh lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan elemen lainnya. Hanya saja di era digital sekarang, risiko kekerasan berbasis gender cenderung meningkat.
Advertisement
"Perubahan dan kemajuan teknologi jadi sebab risiko keamanan digital itu sangat tinggi, kemudian pendampingan orang tua yang minim serta belum tahu secara komprehensif tentang cara antisipasi turut menjadi faktor lain," katanya dalam perayaan ke-30 berdirinya Rifka Annisa, Sabtu (26/8/2023).
"Bentuknya bisa macam-macam mulai dari relasi kuasa antara pacar laki-laki dengan perempuan. Kemudian penyebaran konten seksual, balas dendam dengan pornografi dan sebagainya," lanjut dia.
Baca juga: Wow! 10.000 Penari Montro di Parangkusumo Pecahkan Rekor Muri
Indiah menyatakan di usia ke 30 Rifka Anissa pihaknya telah melakukan refleksi dan evaluasi sejauh mana perkembangan program dan kerja-kerja penghapusan kekerasan berbasis gender di Indonesia. Upaya itu dilakukan dengan meninjau 23 laporan, enam riset, empat kegiatan lembaga serta dokumen pendukung lainnya dari media massa yang berkaitan dengan kekerasan berbasis gender.
"Itu kami lakukan selama Juli sampai Agustus 2023 dengan wilayah meliputi Sumatra, Jawa, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Hasilnya kami melihat bahwa pravelensi kekerasan berbasis gender masih cukup tinggi," ujarnya.
Menurut dia, masih tingginya pravelensi kekerasan berbasis gender di Indonesia disebabkan oleh sejumlah faktor. Pertama soal program intervensi yang kurang memadai dari segi cakupan wilayah dan anggaran sehingga ketika anggaran belum jadi prioritas berakibat pada cakupan wilayah intervensi yang juga lebih minim.
"Kami juga melihat bahwa akar kekerasan berbasis gender itu punya banyak pengaruh dari faktor lain misalnya lingkungan, keluarga, negara atau ekonomi. Sementara penanganannya belum menyentuh aspek lain dari penyebab kekerasan berbasis gender itu," imbuhnya.
Selanjutnya di sebagian tempat, budaya masyarakat yang masih berlaku kerap pula jadi penghalang bagi upaya menghapus kekerasan berbasis gender. Salah satu contohnya, kata Indiah yakni soal pemahaman kesehatan reproduksi yang hanya diberikan kepada kaum perempuan. Seharusnya laki-laki juga turut diberikan pemahaman. "Rekomendasi yang diharapkan yakni strategi yang lebih kolaboratif dan dari program apa intervensi yang lebih tepat untuk merumuskan kebijakan penghapusan kekerasan berbasis gender yang lebih optimal," katanya. (BC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Menteri LH: Kasus Longsor TPA Cipeucang Masuk Tahap Penyidikan
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Astindo: Tiket Pesawat Mahal dan Visa Masih Jadi Ujian Pariwisata 2026
- Pemkab Kulonprogo Harus Bayar Listrik Jembatan Kabanaran Mulai 2026
- Aktivitas Merapi Gugurkan Material 2 Km, BPPTKG Pastikan Kondisi Aman
- Banyak Kendaraan Lolos, TPR Parangtritis Bantul Perlu Lajur Baru
- Kasus Pemasungan ODGJ di DIY Naik Jadi 32, Begini Respons Dinkes
Advertisement
Advertisement




