Advertisement
Laki-Laki Bisa Jadi Korban KDRT
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak hanya menimpa perempuan. KDRT juga bisa menimpa laki-laki, justru dengan dampak yang bisa jadi lebih kompleks.
Pertengahan Januari 2025 ini, viral seorang pria berinisial C, yang mukanya babak belur. Dia diduga mengalami KDRT dari istrinya di Bandung, Jawa Barat. Korban yang awalnya membuat laporan polisi kemudian mencabut laporan tersebut.
Advertisement
Kasus tersebut ramai sejak adanya unggahan salah satu akun di Instagram. Akun yang diduga keluarga dari korban mengunggah foto wajah korban yang babak belur dengan lebam hingga mata bengkak. Dalam keterangan di unggahan, korban yang merupakan seorang ASN di Bandung Barat, dianiaya oleh istrinya.
Peristiwa KDRT tersebut terjadi di kediaman pasangan suami istri di Ciparay, Bandung. "Iya betul sudah ada bikin laporan, jadi Rabu (15/1/2025) menerima kedatangan keluarga korban beserta korban si ASN itu cuma perlu digarisbawahi korban tidak mau laporan, dorongan dan desakan pihak keluarga akhirnya bikin laporan," kata Kapolsek Ciparay, Iptu Ilmansyah, saat dikonfirmasi, Senin (20/1/2025).
BACA JUGA : Jumlah KDRT di Bantul Masih Tinggi Hingga Pertengahan Tahun Ini, Cek Datanya
Terduga korban juga sudah divisum. Berdasarkan visum dan laporan, polisi menyelidiki dan berencana memanggil istri korban pada Sabtu (18/1) lalu. "Sebelum kedatangan istri korban, si korban datang ke Polsek jam 08.00 pagi. Dengan tujuan untuk mencabut laporan. Kami tidak janjian tidak ada komunikasi sama sekali korban atau keluarga," katanya.
Alasan korban mencabut laporan, menurut Ilmansyah, lantaran pria tersebut mengaku telah melakukan kesalahan kepada istrinya. Hal tersebut yang membuat istri melakukan dugaan tindakan KDRT kepada korban. "Atas permasalahan tersebut, istrinya langsung melakukan KDRT kepada korban yang mengakibatkan luka lebam di wajahnya," kata Ilmansyah.
Korban KDRT Laki-Laki
Terlepas dari akhir kasus di atas dan kebenarannya, hal tersebut mengingatkan bahwa korban KDRT juga bisa menimpa laki-laki. Dalam penelitiannya, akademisi dari Universitas Airlangga, Siti Mas’udah, menyimpulkan bahwa dalam keluarga profesional, terdapat berbagai bentuk kekerasan yang dialami laki-laki. Bentuknya bisa berupa kekerasan verbal atau psikologis, fisik, ekonomi, dan seksual.
“Berbagai pemicu perempuan melakukan kekerasan terhadap laki-laki dapat diabstraksikan dalam konsep sosiologis berikut, yaitu rasa tidak aman, kecemburuan, dan ketimpangan status sosial ekonomi. Reaksi suami terhadap kekerasan yang dilakukan istrinya berupa perlawanan laten, perlawanan nyata, dan keterasingan,” tulis dalam laporan penelitiannya.
Mas’udah menambahkan, laki-laki tertekan oleh patriarki, yang menempatkan mereka pada posisi superior. Banyak peran yang dimainkan, yang mengharuskan laki-laki mengambil alih kekuasaan atas perempuan. Laki-laki harus selalu menang dan tidak boleh kalah dari perempuan. Laki-laki sebagai pemimpin keluarga tidak boleh dipandang lemah di hadapan perempuan.
“Maskulinitas membuat laki-laki korban kekerasan mengalami tiga kali penindasan. Ketika laki-laki menjadi korban kekerasan, mereka malu dengan stigma negatif yang diberikan kepada mereka,” tulisnya.
Laki-laki dianggap ‘tidak normal’ karena masyarakat menganggap mereka gagal menjalankan perannya sebagai penguasa dalam keluarga. Laki-laki menjadi objek gosip di berbagai lingkungan sosial, termasuk lingkungan kerja, persahabatan, dan keluarga. “Maskulinitas memaksa laki-laki untuk memilih diam, merahasiakan, dan pasif dalam bereaksi terhadap kekerasan yang dialaminya,” tulis Mas’udah.
Data Kekerasan pada Laki-Laki yang Diabaikan
Data kekerasan pada laki-laki tidak bisa dibilang sedikit, salah satunya dalam konteks kekerasan seksual. Dalam esainya di Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Bestha Inatsan Ashila dan Naomi Rehulina Barus menuliskan bahwa memang korban kekerasan seksual didominasi oleh perempuan dan mayoritas pelaku adalah laki-laki.
Akan tetapi fakta tersebut tidak dapat menafikan bahwa kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki, khususnya anak laki-laki. Kekerasan seksual terhadap laki-laki seringkali tidak dianggap sebagai suatu hal yang serius. Berdasarkan Laporan Studi Kuantitatif Barometer Kesetaraan Gender yang diluncurkan IJRS dan INFID Tahun 2020, ada 33% laki-laki yang mengalami kekerasan, khususnya dalam bentuk pelecehan seksual.
Berdasarkan survei dari Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) yang melibatkan 62.224 responden, 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik. “Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memperlihatkan bahwa korban kekerasan seksual di tahun 2018 lebih banyak dialami oleh anak laki-laki, di mana ada 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual,” katanya.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2017, untuk kelompok umur 13-17 tahun prevalensi kekerasan seksual terlihat lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebesar 8,3% atau dua kali lipat dari prevalensi kekerasan seksual pada perempuan yang mencapai 4,1%.
Temuan-temuan ini menjadi menarik karena laki-laki jarang dianggap sebagai korban kekerasan seksual. Walaupun laki-laki memiliki peluang yang lebih kecil untuk mengalami kekerasan seksual, banyak sekali kasus yang tidak terungkap ke permukaan. Sebuah studi dari satu dari enam orang menyimpulkan bahwa permasalahan terkait kekerasan seksual terhadap laki-laki kurang dilaporkan, kurang diakui, dan kurang ditangani.
“Data yang menunjukkan terjadinya kekerasan seksual pada laki-laki seringkali diacuhkan karena laki-laki yang memiliki pengalaman menjadi korban cenderung untuk tidak melaporkannya,” katanya.
Sedikitnya Layanan Pemulihan
Illinois Criminal Justice Information Authority (ICJIA) menemukan bahwa laki-laki mungkin lebih kecil untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan daripada perempuan. Laki-laki juga menerima lebih sedikit layanan konseling dan dukungan emosional daripada korban perempuan. Hal ini berpotensi memengaruhi kemampuan laki-laki untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan.
“Diperlukan lebih banyak penelitian untuk lebih memahami hubungan antara dukungan emosional dan kemampuan dan/atau keputusan korban untuk meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan,” tulis dalam laporan ICJIA.
Selain itu, diperlukan upaya yang lebih besar untuk menghilangkan stigma konseling dan mempromosikan penggunaannya bagi korban KDRT laki-laki. Kelompok pendukung khusus laki-laki untuk korban KDRT dapat mengurangi stigma yang terkait dengan konseling dan terapi. Bukti menunjukkan laki-laki lebih menyukai terapi kelompok daripada perempuan.
Tantangan potensial untuk membangun kelompok pendukung khusus laki-laki bagi korban KDRT adalah sedikit laki-laki yang mencari layanan, atau hanya 8% dari semua klien yang ada.
BACA JUGA : Perempuan di Solo Meninggal Dunia Diduga Korban KDRT
Namun pandemi Covid-19 telah memperluas penggunaan layanan virtual oleh penyedia layanan, yang memungkinkan kelompok pendukung diadakan di wilayah geografis yang lebih luas dan meningkatkan kehadiran. “Selain itu, penelitian di masa mendatang harus memeriksa preferensi konseling korban KDRT laki-laki, termasuk preferensi untuk konselor laki-laki atau perempuan,” tulisnya.
Keluar dari Hubungan Tidak Sehat
Potensi munculnya kekerasan dalam berbagai bentuk bisa terjadi di hubungan yang toxic atau tidak sehat. Perlu langkah tertentu untuk bisa keluar dari hubungan tidak sehat tersebut.
Psikolog, Ayu Kartika, mengatakan bahwa definisi hubungan toxic yang sebenarnya sangat beragam. Beberapa karakteristik hubungan tidak sehat seperti memaksakan kehendak, suka berbohong, bersikap terlalu curiga, hingga merendahkan pasangan.
Di samping itu, kata Ayu, hubungan terkategori toxic apabila melibatkan kekerasan baik secara fisik, emosional, seksual, finansial, atau penelantaran. Dia menyebut, keinginan untuk selalu bergantung (kodependensi) pada orang lain dan narsistik juga menjadi tanda seseorang menjalin hubungan tidak sehat.
“Jadi sebenarnya toxic relationship hanya istilah umum yang sering kita gunakan. Sebab ada banyak jenis hubungan tidak sehat dalam relationship spectrum,” kata Ayu, beberapa waktu lalu.
Ayu menjelaskan penyebab seseorang terjebak dalam hubungan toxic, yakni adanya siklus trauma. Kejadian di masa lampau yang tidak menyenangkan ternyata dapat mempengaruhi otak. Sehingga saat dewasa, tuturnya, orang cenderung menjalin hubungan yang serupa dengan pengalaman hidupnya.
“Sebagai ilustrasi, anak yang sering mendapatkan perlakuan kekerasan dari orang tua, maka ketika dewasa akan rentan terjebak dalam toxic relationship. Alasannya, karena mereka sudah familiar dengan situasi tersebut dan inilah yang dinamakan cycle of abuse,” katanya.
Berani Memutus Hubungan Toxic
Psikolog klinis tersebut mengungkap dampak akibat hubungan yang tidak sehat diantaranya gangguan sosial, ketidakmampuan emosional, bahkan perkembangan saraf terganggu. Oleh karenanya, Ayu menyarankan bagi seseorang yang berada dalam hubungan toxic untuk berani keluar dari ikatan tersebut.
“Cari akar permasalahan yang menyebabkan kalian merasa mengalami hubungan tidak sehat, misalnya perasaan tidak dicintai, cemas, penolakan, dan lain-lain. Kemudian, jangan ragu untuk memutus lingkaran toksik,” kata Ayu.
Ayu mengatakan bahwa tahap pemulihan pasca perpisahan merupakan momen yang menyakitkan. Sehingga tidak heran, banyak orang memilih bertahan dalam hubungan tidak sehat.
Setelah melewati tahap perpisahan, lanjut Ayu, penting bagi seseorang meluangkan waktu untuk menyadari bahwa proses tersebut tidak mudah. Di samping itu, menilai kualitas hubungan sebelumnya dan mengenali kembali batasan personal.
“Jangan terburu-buru untuk bersikap reaktif, kita akui kalau tahap move on memang membutuhkan waktu. Dari sini, kita bisa menjadikannya sebagai pelajaran saat menjalin hubungan ke depan,” kata Ayu, yang juga co-founder Seven Sense Learning Support Center itu.
Refleksi diri dapat dilakukan dengan menerapkan teknik mindfulness. Selain itu, mengenali strategi coping yang sehat seperti olahraga, latihan relaksasi, validasi emosi, dan journaling. Proses ini dapat mempermudah seseorang pulih secara emosional.
Terakhir, definisikan kembali makna cinta yang ingin dibangun dalam relasi baru. Ayu berpesan kepada pasangan yang pernah terjebak dalam hubungan toxic agar menyembuhkan diri terlebih dahulu. Dengan begitu, maka mencegahnya agar tidak menjadi pelaku dari lingkaran toxic.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Populer
- Anggota Polresta Jogja Yang Dilaporkan Ke Polda Jateng Dibebas Tugaskan
- Ketua DPC PDIP Kota Jogja: Kemenangan Hasto Wardoyo & Wawan Harmawan Kado Ulang Tahun Ibu Megawati Soekarnoputri
- PHRI Sebut Okupansi Hotel di Bantul Capai 80 Persen di Libur Panjang Isra Mikraj dan Imlek 2025
- Kanwil Kemenkum DIY Lakukan Pemetaan Potensi Kekayaan Intelektual
- Perda Sampah Terbaru Akan Atur Tipping Fee Sampah
Advertisement
Advertisement