Advertisement
Cara Jogokariyan Kuatkan Ekonomi Warga dan Kenalkan Bregodo

Advertisement
JOGJA—Mendengar Jogokariyan, maka terlintas pula suasana berbuka puasa dengan segala penjual dadakannya. Saat Ramadan, kawasan Masjid Jogokariyan memang ramai. Tidak hanya menyediakan sekitar 3.000 porsi makanan berbuka puasa, panitia juga memberikan kesempatan warga untuk menjajakan dagangannya.
Ada ratusan usaha kecil menengah (UKM) yang menjual berbagai macam olahan makanan dan minuman di Kampung Ramadan Jogokariyan.
Advertisement
Ketua Rukun Kampung Jogokariyan, Muhammad Jazir, mengatakan setiap momen Ramadan, perputaran uang bisa mencapai Rp7,5 miliar. “Kami mengutamakan UKM dari warga sekitar untuk berjualan, sisanya baru warga dari luar,” katanya.
Letak Jogokariyan yang berada di tengah kota juga membuat banyak orang datang berkunjung. Ribuan orang dari berbagai penjuru DIY datang dan berbuka bersama. Banyak pula yang datang sengaja untuk menjelajahi makanan di sepanjang jalan tersebut. Kampung Ramadan Jogokariyan menjelma menjadi agenda yang rasa-rasanya wajib dikunjungi setahun sekali itu.
Melihat potensi masjid yang selalu ramai dengan jemaah, warga sekitar juga memanfaatkannya untuk menyebarkan budaya, salah satunya bregodo. “Untuk Sabtu dan Ahad, [bregodo] melayani tamu masjid, mengenalkan kalau ini prajurit Jogokariyan, isinya anak-anak muda, untuk melestarikan,” katanya.
Di hari-hari yang lain, masyarakat juga bisa melihat para bregodo dalam berlatih untuk persiapan berbagai momen upacara. Anggota bregodo perlu memiliki skill masing-masing, seperti musik, gerakan, dan lainnya. Ini cara masyarakat sekitar mengenalkan bregodo, terutama untuk generasi penerus di kampung tersebut.
Dengan tahu, maka harapannya masyarakat bisa memahami literasi sampai filosofi bregodo. Termasuk pakaian bregodo yang memiliki unsur batik, saat masyarakat membeli batik, tidak hanya terkesan membeli kain. “Kalau hanya jual kainnya, [masyarakat] akan milih kain lain. Kalau kain punya narasi, orang membeli nilai, bukan sekadar membeli barang,” kata Jazir.
Apabila melihat ke belakang, Jogokariyan memang memiliki sejarah tersendiri. Jogokariyan merupakan nama bregodo prajurit, yang menjadi bagian dari prajurit Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jogo berarti menjaga, kariyo berarti pekerjaan atau tugas. Secara umum, Jogokariyan berarti wilayah yang pekerjaan warganya sebagai penjaga atau prajurit Kraton.
BACA JUGA: Berkunjung ke Jogokariyan, Kampung dengan 750 Prajurit Kraton
Bermula dari sekitar abad ke-18, para prajurit penjaga keamanan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat masih tinggal di area dalam benteng. Ketua Rukun Kampung Jogokariyan, Muhammad Jazir, bercerita apabila kala itu prajurit terbagi dalam beberapa jenis, termasuk altileri (prajurit pembawa meriam), infanteri (prajurit yang berjalan kaki) dan kavaleri (prajurit berkuda).
“Semasa fungsionalnya, ada sekitar 750 prajurit. Semula markasnya ada di dalam benteng Kraton, tetapi ketika penghuni di dalam benteng sudah padat, pada masa Sri Sultan HB IV, memindahkan abdi dalem prajurit keluar dari benteng,” kata Jazir.
Keberadaan prajurit yang berada di luar semakin memaksimalkan perannya untuk menjaga Kraton. Para prajurit dan keluarganya membuat permukiman di sisi paling Selatan Kraton, yang berbatasan dengan hutan tempat Raja berburu. Kawasan itu dahulu bernama Hutan Krapyak.
Memasuki tahun 1822, bagian Utara dari Hutan Krapyak dibabat untuk dijadikan hunian prajurit Jokokaryo dan keluarganya. Dari situlah, kampung hunian prajurit bernama Jogokariyan. Di sebelah Utara, Kampung Jokokariyan berbatasan dengan Kampung Mantrijeron, sebelah Timur berbatasan dengan Jalan Parangtritis, di arah Selatan berbatasan dengan Kampung Krapyak, serta sebelah Barat berbatasan dengan Jalan Panjaitan.
Untuk seragam, pakaian prajurit Jogokariyan disebut papasan. Dalam beberapa sumber, papasan berasal dari kata dasar papas, menjadi amapas, yang berarti menghancurkan. Arti umumnya adalah pasukan pemberani yang menghancurkan musuh. Papasan berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar merah, serta di tengahnya terdapat lingkaran warna hijau. Adapun senjata prajurit Jogokariyan berupa tombak dan senapan. Tombak pusakanya bernama Kanjeng Kiai Trisula.
“Memasuki masa Sri Sultan HB VIII, prajurit ini tidak lagi fungsional menjadi prajurit tempur, karena sudah dilucuti [tentara] Belanda dengan membangun Benteng Vredeburg di Utara Kraton. [Seiring berjalannya waktu] tinggal jadi prajurit untuk upacara, anggotanya [dari 750 menjadi] sekitar 75 orang untuk upcara adat,” katanya. (BC)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan Sambangi Bareskrim Polri untuk Tuntut Keadilan
Advertisement

Tiket Gratis Masuk Ancol, Berlaku Bagi Pengunjung Tak Bawa Kendaraan Bermotor
Advertisement
Berita Populer
- Taman Pintar Bangun Wahana Nglaras Budaya
- Pemkot Jogja Salurkan Bantuan Beras untuk 1.036 Keluarga di Danurejan
- Jadwal Kereta Bandara YIA Reguler Rabu 27 September 2023 dan Cara Pesan Tiket
- Jadwal KRL Jogja Solo Rabu 27 September 2023, Berangkat dari Lempuyangan
- Satpol PP DIY Ajak Jaga Warga Maksimalkan Potensi Pertanian
Advertisement
Advertisement