Menilik Between Two Gates di Kampung Alun-alun, Purbayan, Kotagede
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Kasus akses jalan ditembok oleh tetangga kerap kita dengar dewasa ini. Konflik semacam ini bakal termentahkan jika berkunjung ke Between Two Gates di Kampung Alun-alun, Purbayan, Kotagede.
Sembilan rumah yang berada di dalam satu gang, justru saling merelakan sebagian lahannya untuk akses jalan. Kerukunan semacam ini sudah terjalin sejak 1830-an selepas Perang Diponegoro.
Advertisement
Berlokasi di Selatan Pasar Kotagede Between Two Gates menyimbolkan kerukunan masyarakat di Kotagede. Sebuah gang berisi sembilan rumah berada di antara dua gerbang, bagian depan dan belakang. Rumah-rumah di sini memiliki dua bangunan, rumah utama atau ndalem dan pendopo di depannya.
Halaman atau longkang di antara dua bangunan ini menjadi akses jalan umum yang bisa dilalui tetangga. Kerelaan membagi sebagian lahannya untuk akses, menjadikan jalan ini juga disebut jalan rukun. Sebuah simbol kerukunan yang terjaga hampir dua abad lamanya. Tidak ada yang berubah, bangunan di Between Two Gates merupakan bangunan lawas.
BACA JUGA: Mencicipi Roti Kembang Waru, Kuliner Khas Kotagede Peninggalan Kerajaan Mataram Islam
Semua rumah utama di sini menghadap ke Selatan. Bagi kendaraan yang akan melalui gang ini mesti dituntun. Ini menjadi kearifan lokal bentuk penghormatan yang terus dijaga. Rumah-rumah di sini masih dihuni, salah satunya oleh Joko Nugroho. Ia merupakan keturunan ke-6 yang mewarisi salah satu rumah di sini.
"Saya keturunan ke-6. Simbah cerita sambil menunjuk satu peristiwa, biasanya akurat meski tahun tepatnya tidak. Setelah Perang Diponegoro. Kalau Perang Diponegoro kan 1825-1830, berarti 1830 ke atas [dibangun]," ucap Joko ditemui di teras rumahnya, Selasa (10/10/2023).
Dia bercerita, rumah Jawa itu punya pakem, salah satunya menghadap Selatan. Terdiri dari rumah utama yang memiliki emperan, kemudian halaman atau longkang, dan pendopo. Halaman ini dijadikan akses jalan umum tidak hanya bagi yang tinggal di situ.
"Jadi sudah kami relakan untuk siapapun lewat, makanya disebut rukunan. Kami bisa hidup rukun dengan tetangga silaturahmi. Dinamakan Kampung Alun-alun karena dulu bekas Alun-alun keraton Mataram. Di sini Abad 18 jadi kawasan hunian," ucap laki-laki 59 tahun ini.
BACA JUGA: Pembongkaran Pohon Hampir Rampung, Konstruksi Tol Jogja-YIA Dimulai November
Menurutnya nama Between Two Gates baru muncul pada 1986. Di mana saat itu ada penelitian dari Jurusan Arsitektur UGM bekerjasama dengan salah satu universitas di Amerika Serikat (AS) meneliti tentang rumah tradisional Jawa. Sebab di sini ada dua gerbang maka diberi nama Between Two Gates.
Di era media sosial seperti saat ini nama Between Two Gates jadi lebih terkenal daripada jalan rukunan. Arsitektur di Between Two Gates juga beda-beda ada yang rumah dan pendoponya joglo, ada yang limasan dan joglo, dan lain-lain. "Masing-masing beda, prinsipnya rumah Jawa menghadap ke Selatan."
Hingga saat ini belum ada referensi yang pasti alasan dari rumah Jawa selalu menghadap ke Selatan. Namun berdasarkan diskusi yang dilakukan rumah Jawa menghadap ke Selatan karena sinar matahari dari Timur dan angin muson dari Tenggara. Sirkulasi udara yang paling pas adalah menghadap Selatan.
Dari sisi mitos menghadap ke Selatan sebagai penghormatan ke Pantai Selatan. Dulu pernah ada kepercayaan semacam itu. Namun seiring berjalannya waktu, kata Joko, ada hal yang lebih rasional.
Bangunan Rumah Tak Pernah Berubah
Bangunan yang ada di Between Two Gates tidak pernah diubah sejak awal dibangun. Artinya bangunan ini sama seperti 200-an tahun lalu saat awal di bangun. Menandakan kejayaan masyarakat Kotagede kala itu. Luas rumah dan pendopo yang dihuni Joko sekitar 500 meter. Ukuran yang cukup luas untuk ukuran rumah zaman sekarang.
"Dulu kan zaman jaya-jayanya orang Kotagede, ada perak, batik dan sukses. Peninggalan mereka masih kelihatan. Artinya saat ini dibangun ada uang yang cukup. Sekarang joglo semacam ini harganya sudah mahal," ucapnya.
Rumah-rumah di sini tercatat sebagai warisan budaya berdasarkan Keputusan Walikota Jogja tahun 2018. Dari Dinas Kebudayaan beberapa kali memberikan sosialisasi jika mau merubah bangunan sebaiknya dikonsultasikan. Meski tidak ada aturan yang mengikat karena ini merupakan kepemilikan pribadi.
"Secara prinsip boleh [rubah bangunan] karena milik pribadi, tapi mereka menghimbau, kalau masih warisan budaya gak masalah. Ini [rumahnya] tidak berubah, fasad rumah gak berubah, kayunya kayu jati."
Kendala dalam pelestarian saat ini menurutnya adalah terkait waris. Sebab ini rumah pribadi. Untuk mempertahankan diperlukan kesadaran. Ada yang rusak, tidak bisa merawat. Kemudian juga tidak semua ahli waris punya kemampuan yang sama.
BACA JUGA: Kotabaru Jadi Kawasan Wisata Premium Jogja, Kotagede Wisata Budaya dan Kuliner
Bisa saja di generasi selanjutnya kondisi ekonominya sedang turun dan punya rumah besar yang harus dirawat. Jika tidak ada biaya bisa saja dijual. Langkah terakhir yang coba dia lakukan, sebagai salah satu yang dituakan adalah mengarahkan agar menjual rumahnya ke pembeli yang mau merawat. Syukur-syukur mau mempertahankan dan mengembangkan.
"Saya sendiri ada komitmen [menjaga], ada komunitas Lawang Pethuk, ada kegiatan ngobrol-ngobrol di Pendopo saya. Ada gerakan edukasi. Ide ini muncul saat gempa 2006 banyak rumah seperti ini yang rusak, pemilik gak bisa bangun kembali karena butuh biaya banyak, dan beberapa rumah masalah ahli waris," tuturnya.
Menurutnya akan lebih mudah jika ahli waris ada yang mau dan mampu. Seperti dia yang punya satu adik, istilahnya nyusuki sebab dia yang akan mewarisi rumah tersebut.
Saat lebaran keluarga besarnya akan datang ke rumah yang telah diwarisinya dan masih atas nama orang tuanya. Adiknya kini tinggal di Tangerang dan sudah punya rumah di sana.
Mempertahankan rumah semacam ini menurutnya tergantung keluarga tersebut dalam menyiapkan generasi berikutnya. Ia sendiri telah menyiapkan anaknya untuk berkenan menjaga warisan budaya ini.
Konsep Rumah yang Umum di Kotagede
Pemandu Wisata Lokal Kotagede, Erwito Wibowo mengatakan semua rumah di Kotagede dulu tata letaknya seperti ini. Namun terjadi pergeseran zaman dan berkaitan dengan ahli waris. Between Two Gates masih mempertahankan dan melestarikan.
Rumah-rumah yang menghadap ke Selatan ini punya dua pintu gerbang di Timur dan Barat. Jalan di antara dua gerbang ini disebut jalan rukunan. Dulu menurutnya sebagian orang di Kotagede menandai pembangunan rumah dengan tahun. Seperti salah satu rumah di sini yang ditandai dengan 1840. Artinya rumah dibangun pada tahun tersebut.
"Dulu ada arsitek yang pernah [melihat] dari udara ke Barat dari citra udara bentuknya memang tata ruang dulu seperti itu," ucapnya Sabtu (7/10/2023).
Kawasan ini tidak hanya menjadi tujuan wisata, namun juga jadi spot foto para fotografer dan peneliti arsitektur. Suasana keseharian di sini cukup sepi, sehingga jika ada wisatawan yang datang diharapkan tidak terlalu hingar bingar.
Rukun disini berarti saat salah satu rumah punya gawe atau hajatan maka kawasan ini akan ditutup. Biasanya saat ada hajatan akan menggunakan sebagian kawasan rumah tetangganya baik untuk merebus air, memasak, dan lainnya.
"Karena jalan rukunan ini sudah berlangsung lama, untuk keamanan ada pintunya. Ketika terjadi pergeseran zaman ada bagi waris dibeli orang sehingga banyak berubah nah ini kawasan yang masih terlestarikan di sini."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
BMKG Imbau Masyarakat Waspadai Potensi Cuaca Ekstrem Periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Pilkada 2024, KPU Kulonprogo Tetapkan 775 Daftar Pemilih Tambahan
- Polres Gunungkidul Bakal Terjunkan Ratusan Personel Pengamanan Pilkada 2024
- Aliansi Muda Muhammadiyah Janji Menangkan Kustini-Sukamto di Pilkada Sleman
- Kantongi Izin TRL, Teknologi Pemusnah Sampah Dodika Incinerator Mampu Beroperasi 24 Jam
- Korban Apartemen Malioboro City Syukuri Penyerahan Unit, Minta Kasus Tuntas
Advertisement
Advertisement