Kisah Sugeng Temukan Segala Kebaikan dalam Madu Klanceng Gunungkidul
Advertisement
Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Budidaya madu klanceng setidaknya punya tiga keuntungan. Khasiat madu baik untuk tubuh, penjualannya bagus untuk perekonomian, dan pakannya bisa menghijaukan lingkungan.
Halaman rumah Sugeng Apriyanto di Ngrandu, Katongan, Nglipar, Gunungkidul bisa menampung sekitar lima mobil. Meski hari itu tidak ada mobil yang terparkir di depan rumah dengan ruang tamu yang lebar. Hanya ada hamparan gabah yang sedang dijemur.
Advertisement
Di bangunan semi terbuka di samping halaman parkir, deretan kendi berjajar dengan rapi. Kendi-kendi seakan menjadi tembok seni. Tinggi tembok yang berbentuk batu bata hanya setinggi pinggang manusia. Bagian atasnya melompong, hanya tiang-tiang sebagai penyangganya. Ganti dari tembok, kendi-kendi tersusun rapi. Jumlahnya ratusan.
Bukan kendi berisi air, namun ada puluhan ribu lebah klanceng yang menjadi ‘sahabat’ Sugeng sejak puluhan tahun belakangan. Dari satu kendi ke kendi lain, Sugeng membuka dan mengecek kondisi lebah dan sarangnya. Beberapa sudah dipanen, lainnya masih dalam tahap produksi madu.
“Ini lebah klanceng, bentuknya mirip lalat, dan enggak nyengat. Beda sama misalnya lebah serena yang nyengat,” kata Sugeng, saat ditemui di rumahnya, Gunungkidul, Kamis (4/4/2024).
Sugeng sudah cukup lama mengenal lebah, bahkan sejak dia masih duduk di tingkat sekolah menengah pertama. Perkenalan pertama Sugeng dengan lebah adalah lebah serena, yang sering bersarang di sekitar rumah. Dalam beberapa waktu, dia sering mengambil madunya, untuk konsumsi pribadi.
Pola yang sama terjadi meski sudah lulus sekolah lanjutan tingkat atas dan bekerja di Jakarta. Saat pulang kampung, Sugeng mengambil madu dari sarang lebah di sekitar rumah. Hasil madu yang baik untuk kesehatan badan itu dia bawa ke Jakarta.
Sayangnya, kebiasaan itu harus terhenti pada 2004. Sugeng tidak bisa lagi membawa madu ke ibukota. Pabrik memutuskan hubungan kerja (PHK) dengan Sugeng. Selama masa ‘menganggur’, Sugeng mengembangkan usaha ternak lele, jualan tempe, sampai mengolah sawah milik keluarga. Dalam kegiatan ini, dia masih sering melihat sarang lebah di sekitar rumah. Salah satunya di pintu triplek rumahnya, yang sering dia lalui setiap harinya.
Suatu hari, Sugeng kembali mengambil madu dari lebah itu, sama seperti sebelum-sebelumnya. Bedanya, saat itu dia belum lama di-PHK. “Terus mikir, madu dari lebah klanceng ini bagus buat kesehatan. Terus saya perbanyak, dari satu dikembangkan menjadi lima koloni. Caranya autodidak dan percobaan sendiri,” kata laki-laki berusia 57 tahun ini.
Penambahan koloni bisa dibilang berhasil, namun juga gagal. Berhasil karena dari lima koloni yang coba dikembangkan, tiga koloni bisa bertahan. Dibilang gagal lantaran perkembangannya tidak signifikan atau maksimal.
Panen pertama dari tiga koloni menghasilkan 150 mililiter. Sugeng bagi dua hasil panen pertama itu dalam dua botol kecil. Dia jual secara door to door ke dinas-dinas pemerintah di Gunungkidul. Ternyata peminatnya ada. Harga per botol hanya Rp20.000. Kala itu, Sugeng belum tahu harga pasaran madu lebah. Kemudian hari, dia sadar bahwa harga itu terlalu murah.
Namun bukan itu yang penting. Lebih dari itu, Sugeng melihat besarnya peluang penjualan madu lebah klanceng. “Madu ini bermanfaat untuk orang, enggak ada salahnya untuk dibudidaya, bisa nambah penghasilan juga, jagakke (berjaga-jaga) karena di pertanian, tiga bulan baru panen. Madu juga sama, tapi nilai ekonomisnya lebih tinggi,” katanya.
Menemukan Ratu Lebah
Satu batang pohon bambu bisa menjadi beberapa stup atau rumah lebah. Bambu dipotong-potong di setiap ruasnya. Satu ruas menjadi satu stup. Di awal memperbanyak koloni dari satu menjadi lima, Sugeng masih menggunakan stup dari media bambu.
Hasilnya kurang maksimal. Dari lima, hanya bertahan tiga stup. Itupun lebah berkembang biak kurang maksimal. Dalam analisis Sugeng, kurang berkembangnya koloni lantaran tidak adanya ratu di setiap stup. Dalam perkembangan uji cobanya, Sugeng semakin paham jenis lebah yang menjadi ratu, atau telur yang akan menetaskan calon ratu dari koloni lebah.
Ratu dari lebah klanceng bentuknya lebih besar dari lebah pekerja. Sayapnya lebih pendek dan tidak bisa terbang. Bentuknya mirip laron. “Dalam satu stup bisa ada beberapa ratu kalau koloni udah mapan. Ratu itu yang bisa menjadi koloni baru. Semua ilmu ini autodidak, coba-coba, setelah sekian tahun berjalan, sambil buka-buka internet, kami sambung-sambungkan,” kata Sugeng.
Untuk semakin mempercepat perkembangbiakan lebah, Sugeng mengganti stup berbahan bambu dengan kendi. Ide menggunakan kendi berawal dari wadah air wudhu di belakang rumah. Setelah iseng mencoba, ternyata perkembangannya lumayan bagus. Akhirnya mayoritas bahan stup diganti kendi.
Semakin banyak kendi lebah klanceng, semakin banyak juga produksi madunya. Dalam masa percobaan, Sugeng mengembangkan lebah klanceng asli Gunungkidul berjenis trigona levi dan trigona itama. Kemudian dia mendatangkan jenis lebah klanceng lain dari luar daerah. Sekarang, ada enam lebah klanceng di rumah Sugeng seperti tetragonula drescheri, trigona levi, trigona itama, trigona biroi, trigona levido, dan sawarakensis. Sementara untuk total jenis lebah klanceng di Indonesia mencapai 72 jenis, dan di dunia lebih dari 400 jenis.
Produksi semakin tinggi, pemasaran pun semakin konsisten. Pemasaran ke dinas-dinas di lingkungan Kabupaten Gunungkidul terus berjalan. Penawaran terutama di tanggal muda, saat para pegawai gajian.
Besarnya potensi lebah yang Sugeng kembangkan kemudian memikat para warga sekitar. “Saya yang memulai budidaya madu lebah klanceng di sini, lainnya belum, kemudian para tetangga juga mulai budidaya. Hasil produksi mereka disetorkan ke sini,” katanya.
Untuk mempermudah pemasaran, para petani madu lebah klanceng ini membentuk kelompok bernama Kelompok Tani Hutan (KTH) Madu Sari. Beranggotakan 30 orang, mereka saling berbagi ilmu dalam mengembangkan madu.
Pada dasarnya, semua orang bisa menernakkan dan mengambil madu dari lebah klanceng. Apalagi jenis lebah ini tidak menyengat, sehingga lebih aman. Secara biaya juga rendah. Hanya perlu membuat stup dan membeli koloni lebah. Nantinya, lebah juga akan cari makan dan pulang ke stup sendiri. Berbeda dengan memelihara ternak seperti kambing, yang pemiliknya harus mencari rumput dan sebagainya.
Meski biaya perawatan murah, namun butuh ketelatenan dalam merawatnya, terutama di bagian pakan. Pakan dari pohon atau bunga perlu terus ada. Maka para anggota kelompok menanam pohon dan bunga di sekitar rumahnya.
Tantangan merawat lebah klanceng akan semakin berat memasuki musim kemarau panjang. Bunga belum tentu memunculkan mahkotanya. Daun di pohon juga bisa kering. “Dalam kondisi seperti itu, kami beri suplemen ke lebah, bukan agar bisa panen, tapi sebagai makanan lebah, agar mereka tetap hidup dan berkembang biak,” kata Sugeng yang juga Ketua KTH Madu Sari.
Untuk merekayasa makanan lebah, Sugeng biasanya membeli madu dari lebah serana. Madu itu dicampur dengan air matang, disemprotkan ke daun di pagi hari sebelum ada cahaya matahari. Nantinya lebah akan menghisap madu dari daun-daun tersebut.
Namun lagi-lagi, itu hanya cara agar para lebah bertahan, bukan untuk mengharapkan panen madu seperti dalam kondisi normal. Misalpun para lebah masih menghasilkan madu, itu poin plusnya. “Bahkan saya pernah tidak panen [saat musim kemarau], sampai sebulan dua bulan,” katanya.
Untuk menanggulangi kasus semakin parah saat musim kemarau panjang, KTH Madu Sari menanam jenis pohon dan bunga yang bisa berbunga di sepanjang tahun. Contohnya bunga air mata pengantin merah dan putih, bunga santos, bunga kaliandra, pohon sengon laut, pohon palem, dan pohon kelapa.
Menghijaukan Halaman Rumah
Sugeng menyebut rimbunnya halaman di sekitar rumahnya sebagai hutan rakyat. Pohon keras besar di Dusun Ngrandu seperti akasia, sengon laut (jeungjing), dan jati sudah ada sejak puluhan tahun sebelumnya. Sementara pohon yang masih kecil baru ditanam beberapa tahun lalu. Sugeng juga menanam berbagai jenis bunga di halaman rumah, sebagai cadangan pakan lebah klanceng.
Sistem yang sama, penanaman pohon dan bunga seperti yang Sugeng lakukan, juga diikuti warga sekitar. Mereka menanam di lahannya masing-masing. Maka jadilah itu sebagai hutan rakyat, hutan milik rakyat. Bukan hutan yang merupakan milik negara atau perusahaan swasta.
Rimbunnya hutan sekitar membuka potensi wisata di Ngrandu, Katongan, Nglipar, Gunungkidul. Hutan rakyat dipadukan dengan potensi madu lebah klanceng. “Kami paketkan dengan destinasi wisata lain, seperti terapi sengat lebah, sedot madu, ada juga di dusun sebelah budidaya lidah buaya, homestay udah ada, kegiatan budaya ada, wisata religi, pesona lembah Sungai Oyo ada, sudah lengkap,” kata Sugeng.
Pengembangan lebah memang sudah sejak 2004, namun untuk paket wisata baru dikembangkan beberapa tahun belakangan. Sehingga masih seperti babat alas, atau membuka dari awal. Sugeng mengatakan masih perlu ekstra tenaga dan biaya dalam mengembangkan wisata. Masih banyak pekerjaan rumah, termasuk dari kesiapan sumber daya manusianya.
“Harus kuat, harus mau sukarela, kalau yang awal mengembangkan sudah biasa berkorban dulu, kalau udah ramai baru semua ikut,” katanya. “Sudah terlatih, perjuangan dari awal luar biasa, merintis pertama, suka dukanya luar biasa, harus punya daya tahan, apalagi mengembangkan wisata.”
Apabila wisata semakin berkembang, Sugeng berharap perekonomian warga bisa semakin meningkat. Saat ada wisatawan datang, maka ada potensi transaksi, termasuk dalam membeli produk usaha mikro kecil menengah (UMKM). Upaya membangun wisata untuk meningkatkan perekonomian ini mendapat perhatian dari banyak pihak, salah satunya Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Melalui program corporate social responsibility (CSR), BRI memberikan bantuan bibit pohon untuk penghijauan. Program BRI Menanam semakin menghijaukan Ngrandu, Katongan, Nglipar, Gunungkidul. Bantuan juga berupa mesin pengolah madu seperti propolis dan venom. Nilai mesin sekitar Rp100 juta.
Di samping bantuan secara kelompok, para anggota juga mengakses Kredit Usaha Rakyat (KUR) BRI untuk pengembangan usahanya. Termasuk Sugeng, sejak 2017, dia mengakses KUR BRI secara bertahap. Dari yang awalnya meminjam uang sebesar Rp150 juta, kemudian Rp300 juta, dan terakhir Rp500 juta. Pinjaman ini Sugeng gunakan untuk pengembangan usaha madu lebah klanceng, dan juga di sektor wisatanya.
Regional Chief Executive Officer (RCEO) BRI Jogja, John Sarjono, mengatakan BRI sebagai mitra pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan KUR. Pada 2023, BRI Regional Office (RO) Jogja yang mencakup wilayah DIY dan sebagian Jawa Tengah telah menyalurkan KUR sebanyak Rp18,45 triliun dengan total 432.452 debitur. Di samping itu, ada pula penyaluran KUR Mikro sebanyak Rp16,46 triliun dengan total 424.919 debitur serta KUR Kecil sebanyak Rp1,98 triliun dengan total 7.533 debitur.
Dari total KUR di BRI RO Jogja 2023, penyaluran di sektor perdagangan sebanyak 42,2%. Sementara di sektor jasa sebanyak 23,6%, sektor pertanian 21,0%, sektor industri pengolahan 11,7%, dan sektor perikanan 1,6%. “UKM yang mendapat kredit KUR cenderung semakin maju dengan kesempatan nasabah untuk bisa naik kelas, dari kredit KUR Supermikro ke Kredit KUR Mikro, dan Kredit KUR Mikro bisa naik kelas ke Kredit KUR Kecil. Sehingga nasabah dapat terus membangun usahanya untuk berkembang lebih maju. Dan BRI senantiasa siap untuk mendukung pertumbuhan nasabah UKM,” kata Sarjono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (21/3/2024).
Kepala Otoritas Jasa Keuangan DIY, Parjiman, mengatakan kredit perbankan di DIY yang menyalurkan dana pada UKM cukup tinggi. Sebagai gambaran pada bulan Oktober sampai Desember 2023, secara berturut-turut persentase kredit dari perbankan untuk UKM sebesar 48,34%; 48,10%; dan 48%. “Apabila dibandingkan dengan target yang dicanangkan pemerintah pada akhir 2024, kredit UKM sebesar 30%, di DIY sudah memenuhi, bahkan lebih dari target,” kata Parjiman dalam acara Pemaparan Kinerja Keuangan Industri Jasa Keuangan DIY, di Hotel Alana, Sleman, Sabtu (23/3/2024).
Melatih Sampai Berhasil
Sugeng memulai pengembangbiakan lebah klanceng dari satu stup. Kemudian bertambah menjadi tiga. Akan bertambah terus dalam hari-hari ke depannya. Sekarang, Sugeng memiliki 1.500 stup. Semuanya tersebar di tiga tempat, salah satunya di Ngrandu, Katongan, Nglipar, Gunungkidul.
Produksi madu terbesar bisa mencapai 120 liter sebulan. Harga madu lebah klanceng saat ini sekitar Rp500.000 per liter. Sugeng melayani pasar madu untuk lokal dan internasional. Penjualan ke luar negeri masih skala individu, belum ekspor dalam skala besar. Beberapa konsumen luar negeri seperti dari Turki, Malaysia, Hong Kong, Jepang, sampai Norwegia.
“Permintaan madu cukup besar. Justru pasokan yang seringnya terbatas. Apalagi saat pandemi Covid-19, permintaan madu sangat tinggi,” kata Sugeng.
Melihat potensi penjualan madu yang besar, Sugeng mengajak masyarakat untuk juga terjun dalam dunia ini. Semua orang bisa belajar budidaya lebah klanceng. Sugeng menyediakan paket dari yang dasar sampai lengkap.
Paket dasar seharga Rp200.000 hingga Rp450.000. Dengan harga itu, konsumen bisa mendapat satu kendi serta satu koloni lebah. Sejak awal budidaya, normalnya sebulan dua bulan ke depannya sudah bisa panen madu.
Ada pula paket lengkap seharga Rp4,5 juta. Harga ini sudah termasuk 10 kendi dengan 10 koloni lebah, bibit tanaman bunga sebagai pakan, serta edukasi budidaya. Edukasi serta juga pelatihan mencakup semua hal, dari hulu ke hilir. Ada pendampingan selama enam bulan. “Mudah-mudahan dengan fasilitas itu bisa jadi budidayanya,” katanya.
Semisal belum berminat budidaya lebah madu tapi sekadar ingin tahu, maka bisa mengambil paket wisata edukasinya saja. Dalam kunjungan itu, masyarakat bisa melihat, belajar, serta mencicipi madu di Ngrandu, Katongan, Nglipar, Gunungkidul. Sejauh ini, kunjungan cukup rutin. Dalam sebulan, Sugeng bisa menerima lima kunjungan wisata edukasi.
Dengan segala rangkaian ini, Sugeng berharap masyarakat semakin tahu manfaat madu. Menurutnya, belum semua orang tahu manfaat madu. “Bahkan ada yang seumur hidup belum pernah makan madu sekalipun. Ada juga yang minum madu pas sakit aja,” kata Sugeng. “Ini sumber daya kesehatan yang ada di sekitar kita, baik untuk kesehatan. Saya jarang sakit yang parah, sebatas ngelu aja. Jaga kesehatan dengan madu.”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Gunung Ibu di Halmahera Erupsi, Keluarkan Api Setinggi 350 Meter
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Korban Apartemen Malioboro City Syukuri Penyerahan Unit, Minta Kasus Tuntas
- Tak Gelar Kampanye Akbar Pilkada Sleman, Tim Paslon Harda-Danang Bikin Kegiatan Bermanfaat di 17 Kapanewon
- Kembali Aktif Setelah Cuti Kampanye, Ini Pesan KPU Kepada Bupati Halim dan Wabup Joko Purnomo
- Semarak, Ratusan Atlet E-Sport Sleman Bertarung di Final Round E-Sport Competition Harda-Danang
- Tahun Ini Hanya Digelar Sekali, STTKD Mewisuda 691 Lulusan
Advertisement
Advertisement