Advertisement
Aktivis Jogja Gelar Aksi Peringati 26 Tahun Reformasi dan Tolak RUU Penyiaran

Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Forum Cik Di Tiro dan Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD) menggelar aksi peringatan 26 tahun reformasi di Museum TNI AD Dharma Wiratama Jogja, Selasa (21/5/2024). Aksi ini sekaligus menyuarakan penolakan RUU Penyiaran.
Aksi diawali dengan diskusi di UII kampus Cik Di Tiro, yang kemudian dilanjutkan long march mendatangi Museum TNI AD Dharma Wiratama di Kotabaru. Salah satu penggagas Forum Cik Di Tiro, Masduki, menjelaskan reformasi 1998 merupakan pergantian rezim yang sangat monumental, dari rezim otoriter menjadi demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia.
Advertisement
“Masalah muncul setelah 26 tahun, ada perubahan signifikan. Jadi demokrasi itu ada dua tahap. Pertama masa transisinya, harusnya 10 tahun selesai, 1998 sampai 2008. Lalu ada masa konsolidasi 2008 sampai 2018. Tapi kita lihat 2018 sampai sekarang yang terjadi sebaliknya, mengalami kemunduran,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Komunikasi UII ini melihat saat ini demokrasi sedang sakit, bahkan amanat reformasi 1998 tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Itu sebagai penanda bahwa kita punya masalah besar di negara ini,” ungkapnya.
Baca Juga
Jurnalis dan Pegiat Media Jogja Tolak RUU Penyiaran
KPID DIY Sebut RUU Penyiaran Tak Batasi Kemerdekaan Pers
Draf RUU Penyiaran Larang penyiaran Jurnalisme Investiagsi: Mahfud: Harus Kita Protes
Terkait dengan RUU Penyiaran, menurutnya merupakan upaya negara mengambil alih kontrol dari lembaga independen seperti Dewan Pers, untuk konten jurnalistik. Hal ini menurutnya bertentangan dengan semangat kebebasan pers yang juga digaungkan dalam reformasi.
“Kalau kita bicara pers freedom, itu intinya pers mengatur dirinya sendiri. Jurnalis ada asosiasi, ada Dewan Pers, itu sudah cukup. Kalau ada problem-problem etika di lapangan, harus bisa diselesaikan oleh komunitas pers sendiri. Itu norma umum baik di demokrasi liberal Eropa maupun Amerika,” katanya.
Koordinator FPMD, Elanto Wijoyono, dalam pernyataan sikap FPMD mengatakan secara administratif DPR-RI periode 2019-2024 sudah tidak memiliki legalitas kewenangan untuk membuat peraturan perundangan baru mengingat masa kerja mereka kurang dari enam bulan lagi, sehingga tidak efektif untuk membahas RUU atau mengesahkan UU sesuai etika hukum.
Proses penyusunan RUU Penyiaran juga dinilai tidak transparan karena tidak melibatkan masyarakat dalam prosesnya. “Kalaupun sebagian masyarakat memperoleh draft RUU Penyiaran, itu bukan karena adanya transparansi dari pihak DPR RI, tapi atas perjuangan kelompok masyarakat sipil,” katanya.
Secara substansi, RUU Penyiaran dinilai melegitimasi praktik-praktik bisnis penyiaran yang toxic, tidak sehat, baik secara bisnis maupun sosio-kultural. “Men-downgrade eksistensi lembaga KPI menjadi lembaha yang hanya mengawasi isi siaran. Men-downgrade lembaga penyiaran publik menjadi lembaga penyiaran negara,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement

Korban Meninggal Akibat Pohon Tumbang di Lokasi Salat Id Bertambah
Advertisement

Taman Wisata Candi Siapkan Atraksi Menarik Selama Liburan Lebaran 2025, Catat Tanggalnya
Advertisement
Berita Populer
- Lebaran, Hasto Minta Pengawasan Ketat terhadap Pembuangan Sampah Sembarangan
- Garebeg Sawal, Abdi Dalem Palawija Tampil Lagi
- Wisatawan Asal Palembang Senang Peroleh Uba Rampe Gunungan
- Hari H Idulfitri, Exit Tol Tamanmartani Diterapkan Sistem Buka Tutup
- Kisah Perantau Salat Id di Masjid Mataram Kotagede
Advertisement
Advertisement