Advertisement

LSJ FH UGM Nilai Kasus Meila Nurul Fajriah Tak Layak Dilanjutkan

Catur Dwi Janati
Sabtu, 03 Agustus 2024 - 00:47 WIB
Ujang Hasanudin
LSJ FH UGM Nilai Kasus Meila Nurul Fajriah Tak Layak Dilanjutkan Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ)Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman ditemui di FH UGM pada Jumat (2/8/2024). - Harian Jogja // Catur Dwi Janati

Advertisement

Harianjogja.com, SLEMAN -- Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) menyampaikan sejumlah pandangan hukumnya sekaligus rekomendasi terhadap penanganan kasus hukum yang menimpa advokat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah.

Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman mengungkapkan ada 10 poin pandangan hukum yang disampaikan LSJ FH UGM berkaitan dengan kasus pencemaran nama baik yang disangkakan kepada Meila. Herlambang menyebut kasus yang disangkakan kepada pendamping korban tindak pidana kekerasan seksual ini tak layak diteruskan.

Advertisement

"Saya kira kasus ini enggak layak ya diteruskan dalam proses hukum ya. Diargumen ini ada 10 landasan tentang mengapa tidak layak kasus itu diteruskan," tegas Herlambang pada Jumat (2/8/2024).

Dalam salah satu poinnya, penetapan tersangka kepada pendamping korban seksual sangat potensial menjadi pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan. Padahal hal tersebut adalah hak bagi setiap orang, tanpa diskriminasi untuk mengajukan permohonan pengaduan dan laporan dalam perkara pidana untuk memperoleh putusan adil dan benar. 

Penetapan tersangka terhadap pendamping korban kekerasan seksual lanjut Hermawan akan merintangi upaya korban untuk memperoleh keadilan, sehingga korban pun kian sulit mendapatkan pemulihan yang efektif atau effective remedy.

Pada poin lainnya, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM menilai penetapan Meila sebagai tersangka tersebut juga menunjukkan adanya itikad buruk (malicious intention) kepada pendamping korban dengan tujuan untuk mengganggu aktivitasnya sebagai pembela HAM. Sementara jika merujuk dalam paragraf 139 huruf i. Standar Norma Pengaturan (SNP) No. 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia oleh Komnas HAM RI (2021) menggariskan bahwa pembela HAM harus terbebas dari intrik-intrik malicious intention, seperti intimidasi atau pembalasan dari aktivitasnya.

Bagi pembela HAM dan masyarakat luas, penetapan tersangka kepada Meila jutsru dinilai Hermawan dapat memberi efek ketakutan dan jera (chilling effect) dalam memberi kritik dan mengadvokasi kepentingan publik.

BACA JUGA: Pendamping Korban Jadi Tersangka Jadi Preseden Buruk Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual

Hermawan pun mengomentari soal Meila yang disebut tak memiliki surat kuasa dalam pendampingan korban. "Itu cara pandang formal ya, mestinya dia harus belajar lebih soal apa itu makna pembela hak asasi manusia, saya pembela hak asasi manusia ketika saya bicara di ruang publik soal pembelaan asasi manusia, seorang mahasiswa yang membantu korban kasus penggusuran juga pembela asasi manusia, tidak selalu dengan soal surat kuasa hukum seperti itu," terangnya. 

"Bantuan hukum itu jangan dikira soal formal kuasa hukum saja tidak. Jadi tidak seperti itu apalagi konsep yang dikembangkan oleh lembaga bantuan hukum itukan advokasi bantuan hukum struktural yang selama ini dikenal dengan strategi pemberdayaan. Tidak selalu bermuara ke proses litigasi," lanjutnya. 

Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi soal UU ITE (UU No.19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya dalam pasal pencemaran nama baik, secara hukum memberikan syarat yang demikian ketat nan terbatas, dituangkan dalam SKB/Surat Keputusan Bersama implementasi UU ITE.

Dalam SKB dinyatakan, bahwa ketika orang menyampaikan fakta terlebih berkaitan dengan kepentingan umum, terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Terlebih, apa yang dilakukan Meila dinilai Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM legitimate sebagai kuasa hukum atau pendamping hukum korban yang dilindungi Undang-Undang Bantuan Hukum.

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM menambahkan kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Pengacara LBH Yogyakarta adalah fakta hukum. Dasar ini terkait Surat Keputusan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) No. 327/SK-REK/DPK/V/2020 tertanggal 12 Mei 2020 tentang Pencabutan Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Islam Indonesia Tahun 2015 atas nama Ibrahim Malik dan Putusan Perkara No. 17/G/2020/PTUN.YK yang telah berkekuatan hukum tetap.

Selain itu berdasarkan Putusan MK Nomor: 50/PUU-VI/2008 tahun 2008, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Kriminalisasi terhadap pendamping korban disebut Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM menjadi bentuk serangan nyata terhadap korban dan pendampingnya bila dikaitkan dengan perkembangan hukum yang merujuk pada Pasal 28 jo Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mengatur tegas. Bila dipahami cermat, ketentuan tersebut mengatur bahwa terdapat hak pendamping korban untuk mendapatkan perlindungan hukum selama mendampingi korban dan saksi di setiap tingkat pemeriksaan. 

Pendamping (hukum) yang sedang melakukan penanganan terhadap korban tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas pendampingan atau pelayanannya, kecuali jika pendampingan atau pelayanannya diberikan tidak dengan itikad baik.

"Soal Pembela HAM dan itu sudah diatur secara rigid bahkan oleh Komnas HAM melalui standar norma dan pengaturan," imbuhnya. 

BACA JUGA: Kriminalisasi Advokat LBH Yogyakarta: Kuasa Hukum IM Sebut Tersangka Tak Bisa Pakai Hak Imunitas

Upaya pemidanaan atau kriminalisasi terhadap pendamping hukum bagi korban kekerasan seksual, yang pula merupakan pengacara publik pada LBH Yogyakarta dianggap Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM telah menjadi serangan terhadap independensi advokat sebagai penegak hukum yang dijamin imunitasnya (vidé: Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat).  Bila kasus ini diteruskan masa sama halnya dengan upaya mengancam bagi organisasi bantuan hukum sebagai pemberi bantuan hukum yang dijamin hak imunitasnya. 

"Karena kriminalisasi itu akan lebih memiliki dampak pembungkaman terhadap upaya-upaya pembelaan secara kritis dari para-para lawyer atau pendamping hukum kasus korban kekerasan seksual ataupun kasus pembela asasi manusia yang lain," ujarnya. 

Berdasarkan pandangan-pandangan yang di atas, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM merekomendasikan agar tim penyidik yang menangani kasus ini segera menghentikan proses penyidikan kasus yang disangkakan terhadap pembela HAM dan pendamping korban, Meila Nurul Fajriah. Hal ini kata Hermawan sejalan dengan landasan hukum, baik UU HAM, UU Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Doktrin Pembatasan terkait Kepentingan Umum dalam Siracusa Principles, UU TPKS, UU Advokat, UU Bantuan Hukum, Perkapolri No. 15 Tahun 2006, Perkapolri No. 8 Tahun 2009, dan SNP No. 6 Tentang Pembela Hak Asasi Manusia yang disusun oleh Komnas HAM RI. 

Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM pun telah menyerahkan surat pandangan hukum dan rekomendasi ini kepada Polda DIY.

"Intinya kita menyerahkan pandangan hukum berkaitan dengan kasus yang menimpa advokat Meila yang mendampingi korban kekerasan seksual. Kita juga memberikan rekomendasi untuk Polda DIY menghentikan kasus itu karena begitu banyak masalah-masalah yang akan terjadi terutama sebenarnya apa yang dilakukan oleh Meila itu dilindungi melalui Undang-undang Bantuan Hukum. Jadi legitimate sebenarnya," ujarnya.

Sebaliknya, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM mendorong proses hukum yang seharusnya berjalan, terutama bagi pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana kasus kekerasan seksual.

"Saya kira tidak perlu ragu ya kalau memang polisi bisa mendorong itu untuk mengungkap tentu sudah ada Undang-undang PPKS yang itu bisa diproses," tegasnya. 

Namun jika kasus ini terus dilanjutkan, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM akan tetap bersikap kritis terhadap proses hukum yang tidak adil di ruang publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

SPS Gelar Dialog Media: Refleksi 25 Tahun Pasca Perpres Publisher Rights dan HUT SPS ke-78

News
| Jum'at, 20 September 2024, 10:27 WIB

Advertisement

alt

Menikmati Keindahan Alam dan Sungai di Desa Wisata Srikemenut Bantul

Wisata
| Rabu, 18 September 2024, 10:27 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement