Advertisement

Pendamping Korban Jadi Tersangka Jadi Preseden Buruk Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual

Lugas Subarkah
Kamis, 25 Juli 2024 - 20:27 WIB
Arief Junianto
Pendamping Korban Jadi Tersangka Jadi Preseden Buruk Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, memberi keterangan dalam konferensi pers Kriminalisasi Pendamping Korban Kekerasan Seksual, yang disiarkan melalui youtube YLBHI, Kamis (25/7/2024). - Youtube YLBHI

Advertisement

Harianjogja.com, JOGJA—Meila Nur Fajriah, pendamping hukum dari LBH Yogyakarta dalam kasus kekerasan seksual dengan pelaku IM, dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hal ini dinilai sebagai preseden buruk dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Direktur LBH Yogyakarta, Julian Dwi Prasetya, menjelaskan Meila merupakan salah satu pengabdi LBH Yogyakarta yang fokus pada penanganan kasus terutama kekerasan seksual dan kekerasan pada perempuan. Hal ini membuat LBH Yogyakarta kian dekat pada isu-isu perlindungan hak hak perempuan.

Advertisement

“Meila salah satu advokat yang concern membela, mewakili, bahkan memberi pemberdayaan secara internal dan eksternal. Kami juga didekatkan pada isu ini. Kerja-kerja Meila di LBH Yogyakarta memang fokus pada isu perlindungan hak perempuan,” ujarnya dalam konferensi pers Kriminalisasi Pendamping Korban Kekerasan Seksual yang disiarkan melalui Youtube YLBHI, Kamis (25/7/2024).

Dia menceritakan pendampingan kasus kekerasan seksual dengan pelaku IM ini berlangsung pada 2020 ketika UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum terbit. “Akan tetapi waktu itu Meila dan LBH Yogyakarta maju untuk memberi akses keadilan bagi korban,” ungkapnya.

Dari korban maupun jaringan advokasi, LBH Yogyakarta menemukan total ada 30 orang yang menjadi korban kekerasan seksual oleh IM. Mereka pun merilis nama terang pelaku untuk tidak memberi ruang kepada pelaku di institusi manapun, mengingat pelaku merupakan akademisi, alumni berprestasi dari salah satu kampus swasta di Jogja.

“Kemudian pelaku melapor ke Polda DIY atas dugaan pencemaran nama baik. Yang dilaporkan Meila, Linda Dwi Rahayu dan saya sendiri, yang waktu konferensi pers menyampaikan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang waktu itu negara belum sadar,” katanya.

Dia mengakui sampai saat ini memang belum memberikan data-data korban kepada Polda DIY karena untuk menjaga kerahasiaan dan butuh persetujuan para korban. Akan tetapi dia memastikan sudah memberikan bukti-bukti yang memperlihatkan adanya tindakan kekerasan seksual oleh IM.

Adapun dari rekaman konferensi pers yang menjadi objek laporan IM dalam tuduhan pencemaran nama baik, dia menegaskan Meila hanya membacakan siaran pers yang diterbitkan LBH Yogyakarta. Hanya saja, ketika itu, Meila memang bertindak sebagai penanggungjawab.

“Di salah satu konten Youtube konferensi pers tentang update penanganan kasus, Meila hanya membacakan surat siaran pers yang dikeluarkan oleh LBH Yogyakarta. Artinya penetapan tersangka kepada Meila bukan serangan kepada Meila pribadi, tetapi kami sebagai lembaga yang concern pada hak perempuan,” ungkapnya.

Aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, Ika Ayu, mengutuk keras atas dijatuhkannya status terasangka kepada Meila. Menurutnya, dengan kriminalisasi ini menunjukkan perspektif yang keliru dari penegak hukum Polda DIY. “Meila sebagai pendamping korban justru dikriminalisasi, menunjukkan apa yang selama ini dianggap kekerasan seksual ditiadakan pengalamannya. Dengan asumsi tidak dilaporkannya kasus sehingga pelaku dengan mudah melaporkan balik korban atau pendamping dengan pasal lain, ini pencideraan pengalaman korban,” kata dia.

Dia melihat dalam kasus kekerasan seksual, tidak semua korban bersedia melapor kepada polisi. “Tidak semua korban mau berkehendak melaporkan. Tetapi mereka [polisi] acuannya ketika ada laporan baru diproses. Sudah dilaporakan saja tidak menjamin kasus selesai,” ujar dia.

Kriminalisasi ini menjadi preseden buruk bagi penanganan kasus kekerasan seksual. “Kalau kasus Meila dilanjutkan, akan menjadi ancaman untuk pendamping yang lain. Pendamping hukum saja bisa dikriminalisasi, apalagi pendamping yang berbasis masyarakat,” katanya.

Hal ini juga menjadi preseden buruk untuk implementasi UU TPKS. Apa yang diperjuangkan dalam UU TPKS menjadi sia-sia. “Hal ini mencederai pendamping dan korban yang tidak mendapat akses keadilan, tetapi justru mengalami trauma berikutnya,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Advertisement

Harian Jogja

Video Terbaru

Advertisement

Harian Jogja

Berita Terbaru

Advertisement

Rekomendasi Roti Sisir Enak di Jogja

Rekomendasi Roti Sisir Enak di Jogja

Jogjapolitan | 9 hours ago

Advertisement

Harian Jogja

Advertisement

Berita Pilihan

Advertisement

alt

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan dan Tim Meninjau Keberlanjutan Pembangunan IKN

News
| Minggu, 08 September 2024, 06:17 WIB

Advertisement

alt

Resor Ski Indoor Terbesar di Dunia di Shanghai China, Berukuran 350 Ribu Meter Persegi

Wisata
| Sabtu, 07 September 2024, 12:57 WIB

Advertisement

Advertisement

Advertisement