Ruang Melamun Bisa Jadi Rekomendasi Toko Buku Lawas di Jogja
Advertisement
Harianjogja.com, JOGJA—Buku lawas setidaknya punya dua cerita. Pertama isi bukunya, kedua perjalanan bukunya. Di Ruang Melamun, koleksi buku lawas bertemu dengan orang-orang yang menghidupinya.
Mila Deandra suka dua jenis bau. Pertama bau uang, kedua bau buku. Perkara bau buku, tidak perlu yang baru saja keluar dari plastiknya. “Bau buku lawas juga khas, dan sama-sama menyenangkan,” kata Mila saat berkunjung ke Toko Buku Ruang Melamun, Kota Jogja, Sabtu (12/10/2024).
Advertisement
Ini sepetak surga tempat Mila bisa berlama-lama di dalamnya. Ada buku yang umurnya sudah puluhan hingga ratusan tahun. Nyaris semua koleksi di Ruang Melamun merupakan buku lawas.
Tempat sekarang merupakan pindahan, dari toko sebelumnya yang berada di sekitar Universitas Negeri Yogyakarta, Sleman. Dahulu, Ruang Melamun menempati ruko di pinggir jalan persis. Meski memang menjadi ruang yang tepat untuk melamun dan melihat lalu lalang kendaraan, namun pemilik merasa tempatnya kurang luas.
Pemilik Ruang Melamun, Bagas Setia Wicaksana, mengatakan dengan tempat yang lebih luas, koleksi buku lawas bisa semakin ‘hidup’. Misalnya dari arsip yang ada, dibuat tema tertentu, untuk kemudian dibuat acara.
“Misal bulan ini temanya pangan. Berangkat dari arsip yang udah aku digitalkan, kami bahas bareng, aktivasi bareng, [dari arsip pangan itu, menjadi kegiatan] masak bareng atau karya tulis bareng,” kata Bagas.
Memang Ruang Melamun bukan sekadar toko buku. Meski jualannya buku, namun tempat ini menjadi arena berbagi cerita, dan melamun ide sampai gagasan bersama. Ini tidak jauh dari bibit kemunculan Ruang Melamun.
Bertemu Buku Lawas
Bagas merantau ke Jogja untuk kuliah pada 2012. Tidak hanya ruang belajar baru, dia juga mendapatkan kebiasaan baru berupa hobi membaca. Sebelumnya, lingkungan Bagas bukan para penggemar buku. Salah satu buku yang membuka jalan baru ini adalah karya-karya Pramoedya Ananta Toer.
Hobi baru Bagas membawanya berkenalan dengan buku lawas. “Nemu [buku Pramoedya] di pasar pagi-pagi, pasar yang menggunakan hari-hari Jawa kaya paing dan lainnya,” kata laki-laki berusia 30 tahun ini. “Awal baca buku buat hiburan, yang beda dengan jurusan kuliah. Suka baca buku sejarah, waktu itu dapet buku Pramoedya, baca itu kok bagus.”
Kebiasaan membeli buku lawas semakin rutin. Sebagian besar uang sakunya untuk membeli buku. Hingga pada suatu waktu, dia membutuhkan uang. Bagas menjual sebagian bukunya. Penjualan awal pada teman kuliah atau teman ngopi. Belum terpikirkan untuk membuat usaha penjualan buku. Semuanya masih untuk senang-senang. Sampai 2014, Bagas memutuskan serius berdagang buku secara online.
Melamun dan Berbagi Cerita
Penjualan buku lawas milik Bagas cukup menguntungkan, dengan segala dinamikanya. Hingga saat pandemi Covid-19 masuk Indonesia, dia tidak punya banyak kegiatan. Bagas kemudian membuka toko buku offline, dengan nama Ruang Melamun.
Penjualan utamanya masih secara daring. Ruang Melamun offline lebih banyak menjadi ruang bercerita dan bersosialisasi. “Niat awal cari temen lebih, kalau di online interaksi terbatas. Pengen nambah temen, buku cuma wujudnya aja,” katanya.
Di toko buku Ruang Melamun, pengunjung bisa mendapatkan buku terbitan tahun mulai tahun 1800-an. Beberapa buku berbahasa Belanda, baik yang bercerita tentang Indonesia atau luar negeri. Ada pula koleksi majalah, poster, hingga kaset musik. Harga buku di sini mulai dari Rp10.000-an sampai Rp3 juta.
Pada dasarnya, Bagas membeli buku lawas berdasarkan isi atau tema tulisannya. Kondisi buku juga menjadi pertimbangan menentukan harga. Hakikat buku pada dasarnya untuk dibaca. Meski ada kondisi tertentu yang membuat buku rusak dan susah dibaca pun tetap dia beli, untuk kemudian dijual kembali.
“Ada yang beli untuk menikmati sampulnya. Ada juga buku yang mahal karena saking susahnya nyari buku itu, jadi kondisi apapun tetap dibeli,” kata Bagas. “Nama Ruang Melamun udah ada sejak dulu. Emang suka melamun, itu hobinya, enggak ada pilihan lain, bisanya cuma itu.”
Berburu Harta Karun
Saat merintis jual-beli buku lawas, Bagas masih punya banyak sumber daya. Prinsipnya berupa keuntungan koneksi penjual buku, dan pasar yang melimpah. Keuntungan itu terutama saat awal Ruang Melamun berdiri, penjualan online masih sedikit.
Sementara saat ini, penjualan online semakin marak. Sehingga tidak jarang, tempat kulakan buku lawas Bagas menjualnya langsung ke konsumen. Semakin banyak pencari buku lawas, semakin meningkat pula harganya.
“Banjir banget [penjualan buku lawas di] online, semua orang punya hak menjual langsung di online ke siapapun. [Mendapatkan buku lawas saat ini] lebih susah, yang cari lebih banyak,” kata Bagas.
Meski hidup dari penjualan buku secara online, Bagas sadar ada ‘lubang’ besar di dalamnya. Penjualan online minim interaksi yang berkualitas. Pembeli kadang kala menempatkan diri sebagai raja. Di beberapa waktu dan kondisi, transaksi online terasa kurang manusiawi.
Maka dari itu, perlu lah Ruang Melamun hadir dalam bentuk offline. Agar interaksi tetap terjaga, buku tetap hidup seperti seharusnya, dan merawat melamun agar lebih berkualitas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Berita Lainnya
Berita Pilihan
Advertisement
Musim Hujan Tiba, Masyarakat Diminta Waspada Ancaman Demam Berdarah
Advertisement
Ini Lima Desa Wisata Paling Mudah Diakses Wisatawan Menurut UN Tourism
Advertisement
Berita Populer
- Tutup Tahun Kian Dekat, Pemkot Jogja Kebut Pembangunan di Sejumlah Titik Ini
- 6 Bulan, Penduduk Sleman Bertambah Ribuan Jiwa
- 2 Motor Adu Banteng, Remaja asal Gunungkidul Alami Luka-Luka
- Oplos Gas Melon Jadi Gas 12 Kg, Dua Pria di Gamping Ditangkap Polisi
- Progres Pembangunan Jogja Planning Gallery, Pemda Sebut Masih Lakukan Kajian HIA
Advertisement
Advertisement